Seorang wanita membuka matanya perlahan. Ia memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Lalu ia menoleh ke arah kanan. Seketika matanya membulat. Mereka kesiangan. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Elsye tak sempat mengingat kejadian semalam. Ia terburu-buru turun dari atas kasur, tetapi baru saja menurunkan satu kaki dirinya merasa sakit pada bagian bawahnya. Ia segera menatap ke arah pria yang masih terlelap. Elsye menggigit bibir, mencoba menahan tangis. Ia merutuki keganasan suaminya tadi malam.
"Bang, bangun! Udah jam enam, Abang katanya mau kerja!" ucap Elsye sambil menggoyangkan lengan Ezra yang semalaman tak memakai pakaian atasnya.
Ezra menggeliat kecil. Ia tersenyum kecil mendapati wajah cemberut istrinya di pagi ini. Tak memedulikan waktu yang terus berjalan, ia justru menyangga kepala menggunakan satu tangan dan memandangi wajah Elsye yang bersemu merah.
"Abang harus tanggung jawab. Elsye ngerasa sakit," cicit Elsye seraya memalingkan wajahnya.
"Bagaimana caranya aku bertanggungjawab? Apa dengan melakukan hal itu lagi? Aku, sih, tidak keberatan," goda Ezra yang langsung mendapat lemparan bantal dari istrinya.
Suara dering ponsel membuat tuan muda kedua Evander beranjak dari atas kasur. Ia berdiri membelakangi Elsye yang termenung. Wanita itu merasa malu untuk menampakkan diri di depan orangtuanya. Seharusnya, mereka melakukan hubungan di rumah sendiri saja. Namun karena kesalahannya, ia terpaksa mengiyakan permintaan sang suami.
"Meeting hari ini diundur. Kita tidur lagi aja, Sye!" ajak Ezra tersenyum jahil.
Ia mengambil kaos yang tergeletak di kasur, lalu memakainya. Tak mungkin jika dirinya keluar kamar dalam kondisi bertelanjang dada. Hal tersebut hanya akan membuat mertuanya berpikir kemana-mana. Meski, pemikiran mereka itu benar.
"Maunya, Abang itu mah!" pekik Elsye yang kini sudah tak merasa canggung lagi.
Tawa Ezra menggelegar. Pria itu mengacak rambut sang istri, kemudian mendudukkan diri di sisinya. "Aku lapar, Sye. Apa kau lapar juga?"
"Pikir sendirilah!" jawab Elsye ketus.
Di menit berikutnya, Ezra melangkah keluar kamar untuk membersihkan diri. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Khawatir jika ayah atau ibu mertuanya muncul tiba-tiba. Namun, melihat kondisi rumah yang sepi, ia menduga jika Zuardi sudah pergi. Tanpa membuang banyak waktu, ia segera melesat menuju kamar mandi.
"Sye, mau aku mandikan?" tawar Ezra yang muncul dari balik pintu dengan berpakaian lengkap.
Elsye menggelengkan kepala melihat rambut suaminya yang basah hingga banyak tetesan air yang membasahi kaos yang dikenakan. Ia menyuruhnya untuk mendekat. Ezra menurut. Ia mengangkat sebelah alis saat Elsye mengambil handuk yang masih terlipat di sisinya.
"Elsye lupa kasih Abang handuk. Sini, Elsye keringkan rambutnya."
Hal yang membuat Ezra mudah membuka hati untuk wanita yang dinikahi karena sebuah insiden adalah karena ketulusannya. Walaupun, diawal pertemuan mereka selalu saja bercekcok. Akan tetapi, setelah menikah Elsye berubah. Wanita itu selalu menunjukkan sisi kelembutan dan mencoba menjadi sosok istri yang baik untuknya.
"Mau aku bantu ke kamar mandi?" tawar Ezra dibalas gelengan oleh sang istri.
"Elsye bisa sendiri kok, Bang." Elsye berjalan tertatih-tatih sembari menahan rasa sakit. Ia berpegangan pada dinding dan menghentikan langkahnya sejenak. Ia memekik saat tubuhnya tiba-tiba melayang. Ezra menggendongnya karena merasa geram melihat gerakan lambat Elsye.
Sambil menunggu sang istri membersihkan diri, Ezra memesan makanan secara online. Ia tak mau menyusahkan Elsye jika harus memasak. Pergerakan wanitanya menjadi terbatas. Mengingat kejadian semalam membuatnya tak henti mengembangkan senyum. Ia tak menyangka jika Elsye merasa tak keberatan saat dirinya berniat bercanda—meminta hak kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Bermata Elang [END]
Teen FictionPangeran bermata tajam bak elang itu mendapati kabar yang sangat memilukan hati. Kabar perjodohan tersebar membuat Edzard terpukul. Ia harus merelakan sahabat perempuannya menikah dengan sang adik. Ezra yang tidak mau menjalin hubungan dengan gadis...