PBE-20

417 45 14
                                    

Edzard duduk terdiam menemani seorang gadis yang menolak masuk ke dalam ruang rawat adiknya. Dia adalah Zia. Gadis yang sangat sulit ditebak jalan pikirannya. Edzard mengira kedatangan Zia untuk membesuk sang adik, tetapi sampai tengah malam gadis itu hanya menunggu di bangku di luar ruang rawat Ezra. Sembari memakan makanan ringan, Zia menikmati kegiatan menjaga lelaki yang kini sudah berganti status.

"Seberapa dekat kau dengan Ezra?" Pertanyaan yang terlontar dari mulutnya membuat Zia berdeham. Ia mengambil air mineral dan meminumnya.

Sorot mata gadis tersebut berubah sendu. Sudut bibirnya tertarik mengingat pertemuan pertama mereka yang sangat jauh dari kata ramah. Keduanya sama-sama bersikap dingin dan tak peduli. Namun, siapa sangka mereka malah berakhir menjadi teman baik.

"Sama seperti hubungan lo dan dia," jawab Zia melirik lelaki yang dipaksa menemaninya di sini.

Edzard mengangguk kaku. Ia terus menduga-duga, sudah berapa lama mereka menjalin hubungan pertemanan. Karena selama ini, ia dan Ezra tak pernah memiliki teman dekat. Ezra juga sama sekali tak pernah menyinggung teman perempuan yang dimiliki.

"Kau sangat menyayangi adikku?" Edzard menatap lamat wajah gadis tersebut dari arah samping.

Zia mengangguk. "Sayang banget."

"Kau merasa sedih karena dia sudah menikah?"

Gadis yang berhenti mengunyah makanan ringan itu tak langsung menjawab. Ia termenung sejenak, lalu menoleh ke arah Edzard yang entah mengapa merasa sangat penasaran akan hubungan di antara mereka.

"Sedih, sih. Sedih bukan dalam artian patah hati," sahut Zia terjeda. "Sedih karena dia duluin gue nikah!"

Tiba-tiba, Zia menjambak rambutnya sendiri. Gadis itu uringan-uringan tak jelas. Membuat suasana rumah sakit yang semula sunyi menjadi gaduh. Tak mau memancing keributan, Edzard segera menyumpal mulutnya dengan keripik singkong. Sontak, Zia terdiam dan mengunyahnya.

"Lo tau nggak, sih? Selama ini, gue selalu diledek jones sama tuh anak. Gue ngira, bakal gue duluan yang nikah supaya bisa ledek balik tuh anak. Taunya, dia menang lagi," cerocos Zia mengutarakan rasa kesal yang selama ini mengendap di lubuk dalam hati.

Sejenak Edzard tercenung. Tak ada persahabatan antara lelaki dan perempuan yang murni. Entah, Zia yang berpura-pura menyembunyikan perasaannya ataukah Ezra yang telah terjebak dalam cinta bertepuk sebelah tangan. Pantas saja, adiknya menolak keras pernikahan dengan Elsara. Mengingat sahabat perempuannya membuat Edzard dilanda kecemasan. Ia harap, gadis itu baik-baik saja setelah mengetahui jika lelaki yang dipuja sudah berumah tangga.

"Edzard, lo percaya nggak kalo Elsara bukan cewek baik?" tanya Zia menatap lekat manik mata elangnya. "Ya nggak percayalah! Dari yang gue liat, lo mandang dia tanpa celah. Inget, Zard, di dunia ini nggak ada yang sempurna."

Seusai mengatakan hal itu, Zia melenggang pergi. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya erat. Ia membutuhkan waktu sendiri. Hatinya hancur lebur. Ia dan Ezra tidak jauh berbeda. Selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja pada semua orang.

"Kemana dia pergi?" gumam Edzard yang tak bisa membiarkan gadis itu pergi seorang diri.

Kaki jenjangnya berhenti melangkah saat melihat Zia yang terduduk di bangku taman rumah sakit. Kepala gadis itu mendongak-menatap sang rembulan yang bersinar terang. Waktu semakin malam, tetapi kantuk tak kunjung mendatanginya.

"Masuk. Di luar dingin," tutur Edzard menoleh sekilas ke arahnya.

"Udah kebal gue." Zia terkekeh. "Dinginnya udara malem nggak sedingin sikap Ezra dan lo."

Suasana hening menyapa mereka yang memandang ke arah langit. Bintang-bintang bertebaran menemani sang rembulan. Menambah keindahan malam yang kian larut. Tanpa sadar, Zia menyandarkan kepala di bahu Edzard yang menegang. Lelaki itu menelan ludah. Merasa gugup saat Zia memeluk lengannya.

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang