PBE-06

696 64 3
                                    

"Abang kenapa? Kok memar gitu wajahnya?" tanya Emmanuel meneliti wajah kakak sulungnya yang tiba di rumah dengan wajah lesu. 

Edzard menggelengkan kepalanya, lalu merebahkan tubuh di sofa ruang tengah dengan mata terpejam. Sentuhan dingin yang mengenai luka memarnya, membuatnya membuka mata lebar-lebar.

"Eca sudah cerita. Lain kali, Abang hindari Zia. Dia itu suka main tangan, apalagi sama orang yang suka buat kesal kayak Abang," celetuk Eleana membuat putranya merubah posisi menjadi duduk.

Tatapan mengintimidasi menyergap Eleana yang tak acuh. Wanita itu tetap mengompres luka memar yang malah semakin menambah ketampanan wajah putra sulungnya. Ia melirik ke arah putra bungsu dan putri semata wayangnya yang menahan tawa.

"Mommy kenal dengan gadis kasar itu?" tanya Edzard sedikit meninggikan suaranya.

Rasa kesal yang sempat menghilang, kini kembali muncul ke permukaan. Zia adalah gadis pertama yang berani berbuat kasar padanya. Selama ini, para gadis akan berlomba-lomba terlihat anggun di depannya. Namun, gadis itu malah bersikap seperti seorang preman yang sangat suka baku hantam.

"Tidak terlalu kenal juga. Mommy sempat beberapa kali bertemu. Dia itu kakak dari teman sekelas Eca," jawab Eleana mencoba menghindari tatapan mata elangnya.

Edzard memejamkan matanya sesaat, lalu menghembuskan napas panjangnya. Ia mengalihkan pandangan ke arah Eisha yang duduk di samping adik keempatnya. "Jauhi dia, Eca. Abang tidak mau kau tertular kasar sepertinya."

Tak mau memperpanjang masalah, Eisha pun mengangguk pelan. Ia menoleh ke arah Emmanuel saat abang mereka beranjak meninggalkan rumah setelah mendapat telepon dari seseorang. Eleana berkacak pinggang di depan putrinya. Wanita itu tahu, jika Eisha menyembunyikan sesuatu darinya.

"Ayo Eca, kau belum menceritakan apa yang terjadi sebenarnya, bukan? Pasti, ada yang belum kau ceritakan!" desak Eleana pada putrinya yang mengedarkan pandangan ke sekitar.

Eisha berusaha menghindari tatapan wanita garang tersebut. Ia menggeram saat kakak kelimanya pergi begitu saja. Membuatnya semakin terpojok. Dari kakak-kakaknya yang lain, hanya Emmanuel yang tidak pernah ikut campur jika sang mommy mulai mengintrogasi anak-anaknya.

"Em... Itu, Mom, Kak Zia kesal karena Abang tidak menjawab saat dia bertanya." Eleana memijit pelipisnya. Dua putranya itu selalu saja dingin terhadap lawan jenis. Lebih parahnya adalah Ezra yang sama sekali tak pernah menunjukkan sisi lembutnya, kecuali pada mommy-nya.

"Kalo gini terus, kapan gue punya mantu sama cucu?" gerutu Eleana yang masih bisa oleh putrinya yang diam-diam tertawa.

Sebuah mobil terparkir di depan warung kelontong yang sudah bertahun-tahun berdiri. Edzard melangkah lebar, memasuki rumah pamannya. Ia menyalami sang daddy, paman, dan bibinya. Ia menganggukkan kepala pada kakak sepupunya dan tokoh utama yang membuatnya dipanggil untuk datang kemari.

"Ada apa, Dad?" tanya Edzard menatap sang daddy yang mengangkat dagu ke arah gadis yang menundukkan kepala.

"Kau masih bertanya, Edzard?!" bentak Erland merasa tak habis pikir.

Kabar tentang kericuhan yang terjadi di kantor yang diakibatkan oleh putra keduanya telah sampai ke telinganya saat tak sengaja mendengar curhatan hati gadis itu pada keponakannya. Ia yang sangat mengenali watak Ezra, memilih untuk memanggil putra sulungnya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.

"Baik, akan Abang ceritakan," ucap Edzard menatap tajam ke arah daddy-nya yang mengangkat sebelah alis. "Semua bermula ketika Elsye tak sengaja menumpahkan kopi di kemeja kesayangan Ezra. Putra Daddy itu sangat bersikeras untuk memecat Elsye, tetapi Abang tidak menyetujui. Dan kejadian berikutnya, Daddy sudah tahu, bukan? Jadi, Abang tidak perlu menjelaskan lagi."

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang