PBE-11

433 46 1
                                    

Seorang gadis tergopoh-gopoh menghampiri bosnya yang baru keluar dari mobilnya. Melihat suasana kantor masih cukup sepi, membuat dirinya memiliki rasa keberanian untuk mengajaknya bicara. Jarak telah terbentang di antara mereka. Edzard sendiri yang menciptakan jarak tersebut hingga membuat Zoya merasa tersiksa. 

"Ada apa?" tanyanya dingin.

Gagalnya pernikahan Ezra dan Elsara telah memberikan dampak buruk bagi lelaki yang berdiri di depannya. Zoya menatap lekat manik mata lelaki yang semakin hari semakin dingin terhadap dirinya. Ia tidak tahu kesalahan yang diperbuat, tetapi Edzard tampak jelas menghindarinya. 

"Edzard! Kau lupa ya, jika hari ini kita akan ke luar kota?" Teriakan seorang pria berkacamata mata membuat Edzard berdecak. Ia segera memutar tubuh dan masuk ke mobil, disusul oleh Erwin—asistennya yang menempati kursi kemudi.

Zoya menatap sendu kendaraan beroda empat yang telah melaju meninggalkan gedung kantor tempatnya bekerja. Ia tersenyum miris. Semua perubahan dalam diri lelaki yang disukainya disebabkan oleh Elsara dan Ezra.

Setelah menyelesaikan pekerjaan, Edzard pun kembali pulang. Kali ini, ia yang menyetir mobil. Erwin terkekeh melirik wajah bosnya yang datar nan dingin itu. Mata elangnya terus menatap ke arah depan. Selama perjalanan tak ada perbincangan di antara keduanya. Erwin menduga jika suasana lelaki di sampingnya sedang memburuk. Bagaimana tidak, selama dua hari lamanya Edzard diteror oleh nyonya Evander yang tak henti-hentinya mengomel. Permasalahan di dalam keluarga membuat Edzard terlupa menyampaikan bahwa dirinya akan pergi ke luar kota.

"Edzard berhenti," ucap Erwin saat melihat seorang gadis berkelahi dengan beberapa orang preman.

Edzard menghentikan pergerakannya yang hendak turun dari mobil. Ia memintanya untuk menonton aksi perkelahian secara langsung itu. Tanpa memiliki niatan untuk menolong. Erwin sudah ketar-ketir ketika gadis tersebut mendapat pukulan di wajahnya dan tendangan di perutnya. Bukannya menyerah, gadis itu malah semakin membabi buta para preman tersebut.

"Wah! Hebat sekali dia!" seru Erwin sambil bertepuk tangan.

Tatapan gadis berpenampilan tomboi itu teralih pada sebuah mobil berwarna hitam. Ia melangkah mendekat seraya mengusap sudut bibirnya yang terluka. Dua lelaki yang sejak tadi memperhatikan dibuat tercengang atas tindakannya yang tiba-tiba masuk ke dalam mobil.

"Kurang ajar banget ya, lo! Liat gue berantem, bukannya nolong malah nonton!!"

Erwin tertohok oleh ucapan gadis yang sepertinya kenal dengan Edzard. Ia menoleh ke belakang. Matanya berkedip berkali-kali melihat Zia yang melepas topi dan menggeraikan rambut panjangnya. Tangan gadis itu terulur—meraih air mineral yang masih disegel.

"Turun!" desis Edzard menatap tajam gadis yang menyandar pada sandaran kursi, lalu memejamkan kedua mata.

"Erwin! Seret gadis kurang ajar itu turun!!" pekiknya memberi titah pada Erwin yang menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Suara dering ponsel membuat atensi ketiganya teralih. Erwin segera merogoh saku celana. Ia menunjukkan layar ponsel kepada Edzard, lalu mengangkat panggilan dari istri tercintanya.

"Apa? Baby kita ingin es kelapa? Oke-oke, akan aku belikan sekarang juga."

Dua pasang mata menyorot tajam Erwin yang tercengir. Wanita yang tengah mengandung buah hati mereka telah menyelamatkannya dari situasi yang tak menguntungkan ini. Ia berdeham seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Edzard, aku pamit sekarang. Istriku mengidam. Sampai jumpa," ujarnya sebelum melarikan diri dengan membanting pintu mobil.

Zia memalingkan wajah saat Edzard menatapnya melalui spion tengah. Di balik raut datar di wajahnya, ia yakin jika Edzard sedang menahan emosi. Beberapa kali, lelaki itu memejamkan mata. Kemudian, turun dari mobil dan membuka pintu bagian belakang.

"Turun!" titahnya yang dibalas gelengan oleh Zia yang bersedekap dada.

"Enak aja suruh gue turun. Asal lo tau ya, gue babak belur kayak gini itu gara-gara sahabat tersayang lo, Edzard!" serunya membuat Edzard mengerutkan kening bingung.

Langkah Zia yang ingin meninggalkan sekolah dasar adiknya terhenti kala melihat Eisha tiba dengan kakak kelimanya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Setelah kepergian Emmanuel, ia segera mendekati Eisha dan mengajaknya berbicara sebentar.

"Eca, Kak Zia mau tanya. Kak Ezra sudah pulang?" tanyanya berbisik.

"Sudah. Tapi Kak Ezra dihukum daddy menjadi babu di kantor cabang."

Jalinan pertemanan rahasia antara Ezra dan Zia berlangsung seusai keduanya mengikuti pertandingan bela diri antar sekolah di masa SMP. Tidak ada yang tahu jika mereka berteman. Ezra sering menghubunginya melalui pesan, begitu juga dengan dirinya.

Zia melajukan motor menuju kantor cabang keluarga Evander. Ia rindu mengejek lelaki yang selalu gagal dikalahkannya. Matanya memicing melihat seorang gadis berpakaian seksi berdiri tepat di depan Ezra. Di samping teman dekatnya ada seorang gadis yang memakai pakaian sama dengan lelaki itu. 

Sudut bibirnya tertarik. Ia melepas ikat rambutnya dan turun dari atas motor. Kaki jenjangnya melangkah mendekati mereka.

"Ezra!!" teriaknya membuat dua orang gadis langsung mengalihkan pandangan ke arahnya.

Tanpa memedulikan gadis yang mengincar Ezra selama bertahun-tahun, Zia menyapanya. Tak lupa, ia menggenggam tangan Ezra yang tersenyum tipis padanya. Zia merasa puas saat gadis yang diketahuinya bernama Elsara mendorong bahunya dengan kasar.

"Jangan bersikap kasar padanya!" tegur Ezra membuat Elsara bergeming di tempat.

Sorot mata kekecewaan membuat Zia tersenyum sinis. Ia melirik Ezra yang merengkuh bahunya dan mengajaknya pergi. Meninggalkan Elsara dan Elsye yang menatap kepergian keduanya dengan tatapan tak percaya.

Setelah melepas rindu, Zia pun berpamitan pulang. Ia menghela napas panjang saat melihat ban motornya dikempeskan oleh seseorang secara sengaja. Sebelum pergi, ia lebih dulu mengirim pesan pada Ezra. Kemudian, ia berjalan kaki menuju pusat perbelanjaan yang tak jauh dari kantor cabang keluarga Evander ini. Namun, beberapa orang preman mencegatnya. Zia yang sudah tahu siapa dalang yang melakukan penyerangan padanya langsung memulai perkelahian.

"Sekarang lo percaya setelah gue cerita?" tanya Zia sesudah bercerita panjang lebar padanya.

Edzard menggeleng. "Kau tidak bisa menuduh Elsara tanpa bukti."

Zia berdecak sebal. Ia menatap wajah lelaki yang kini duduk di sampingnya. Rumor yang selama ini didengarnya ternyata benar, bahwa Edzard telah dibutakan oleh cinta sepihaknya.

"Terserah deh, mau percaya apa nggak. Yang penting, gue berhasil buat tuh nenek lampir cemburu." Zia tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Elsara yang menahan amarah saat menyaksikan kemesraannya dengan Ezra yang sebenarnya hanya pura-pura.

"Apa hubunganmu dengan adikku?" tanya Edzard mulai penasaran.
menyaksikanmnya terkatup rapat. Zia memejamkan kedua mata. Ia merasa lelah seusai mengerahkan tenaga melawan preman kiriman gadis yang sepertinya mulai menunjukkan obsesinya pada Ezra. Suara dengkuran halus membuat Edzard menggeram. Ia berpindah duduk ke kursi kemudinya. Mengusir gadis sejenisnya hanya menghabiskan tenaganya saja. Ia juga merasa lelah. Membawa gadis itu ke rumah sepertinya tidak menjadi masalah. Lagipula, mommy mereka juga mengenal gadis kurang ajar tersebut.

Sesampainya di kediaman keluarga Evander, Edzard pun turun dari mobil. Ia melangkah menuju pintu utama dan berteriak memanggil sang mommy. Namun, Eleana tak kunjung menyahut. Sejenak, ia teringat akan gadis yang terluka itu. Bagaimanapun, ia masih memiliki hati untuk menolongnya. Meski saat perkelahian tadi, dirinya tidak menolong karena merasa Zia bukanlah gadis lemah seperti yang dipikirkan oleh Erwin.

Edzard kembali ke mobilnya. Ia membangunkan Zia dengan menepuk-nepuk pelan pipinya. Kedua mata gadis tomboi itu perlahan terbuka. Mata Edzard melotot saat Zia tiba-tiba menangkup wajahnya.

"Hei, apa yang akan kau lakukan?!" pekik Edzard kalang kabut saat Zia mulai memajukan bibir ke bibirnya.































Mau ngapain si Zia???





















Next???

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang