PBE-10

479 59 1
                                    

Di tengah malam, Ezra mengendap-endap keluar dari kamarnya. Ia melewati pintu belakang untuk memudahkannya melarikan diri. Sudut bibirnya tertarik, melihat sebuah tangga yang sudah disediakan oleh adik tercintanya. Ezra menganggukkan kepala ketika Eidlan muncul dan membawa tangga tersebut —memgembalikannya ke tempat semula.

Ezra melompat dari atas tembok belakang rumahnya. Ia menepuk pundak teman si kembar yang tengah menunggunya. Ia menerima kunci motor yang diberikan oleh Leo. Kemudian, Leo pun berpamitan pergi.  Tugasnya telah terselesaikan.

"Aku harap, keputusanku ini tidak salah. Salahkan saja mereka yang membuat kesepakatan tanpa meminta persetujuanku," monolognya sambil menaiki motor besar yang entah milik siapa. Ia menduga jika motor tersebut adalah milik Leo atau teman si kembar yang lain. Mereka sepakat meminjam, lalu setelah sampai di tempat tujuan Ezra akan mengembalikannya.

Ezra mengendarai kendaraan beroda dua ini dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang sepi membuatnya semakin menggila. Ia berteriak-teriak. Merasa gembira atas keberhasilannya melarikan diri. Namun, itu semua berakhir saat sebuah seorang pria paruh baya melambaikan tangan kepadanya.

"Anak muda, aku ingin meminta tolong," katanya tanpa mengetahui sosok lelaki di balik helm full face tersebut.

"Minta tolong apa, Paman?" tanya Ezra sambil melepas helm dari kepalanya. Ia tersenyum menyeringai pada pria yang dikenalnya sebagai sahabat sang daddy. "Masih mengingatku?"

Kedua alisnya naik-turun. Ia melepas tawa saat satu pukulan mendarat di lengannya. "Dasar anak kurang ajar! Demi hadir di acara pernikahanmu, aku sampai terburu-buru pulang dari luar kota!" sungutnya.

"Tak perlu marah. Ayo cepat, aku antar Paman pulang. Sekaligus, aku ingin menumpang hidup di rumahmu."

Elang mengerutkan kening. Menatap heran ke arah lelaki yang menganggukkan kepalanya itu. Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, ia pun mendudukkan diri di jok belakang. Satu tangannya berpegangan di bahu Ezra yang mengendarai kendaraan beroda dua dengan ugal-ugalan.

Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, mereka tiba di sebuah rumah luas nan megah itu. Elang memegangi dadanya yang berdebar kencang. Pria itu menyesal meminta bantuan pada putra sahabatnya yang dapat membuatnya berpindah alam jika saja dirinya memiliki riwayat penyakit jantung.

"Paman, aku mengetahui rahasiamu. Sini, aku bisikkan." Mata Elang membulat. Ia melirik tajam ke arah Ezra yang mengangkat sebelah alis, lalu berjalan memasuki rumahnya. Tanpa memedulikan keterkejutan pria yang bergeming di tempatnya.

"HEI!! KAU TAHU DARI MANA RAHASIAKU, EZRA?!!" teriaknya menggelegar. Ia terburu-buru menyusul Ezra yang tengah mengetuk pintu rumahnya.

Dengan menjual rahasia yang tak disengaja diketahuinya, Ezra meminta tinggal di rumah sahabat sang daddy. Elang dan istrinya sepakat menuruti keinginan pria itu yang bersembunyi di rumah mereka, karena alasan kasihan. Elang meminta Ezra untuk menutup mulut tentang rahasianya dari sang istri, oleh karenanya ia membiarkan lelaki itu tinggal sesuai keinginannya.

"Rahasia apa yang kau ketahui?" tanya Erland menginterogasi putranya yang kini tengah direngkuh oleh Eleana yang tidak ingin berjauhan dengannya.

"Itu rahasia. Aku tak bisa memberitahu," jawab Ezra berhasil menyulut emosi pria paruh baya yang mengepalkan tangannya.

Eleana mengelus puncak kepala Ezra. Putra keduanya itu tersenyum penuh kemenangan pada anggota keluarga yang menatap iri kepadanya. "Sudah Dad, jangan ditanya lagi. Ezra pasti lelah. Kau istirahat ya, Nak."

"Lihat, Mas. Kak Ezra mengejek kita semua," bisik Eisha merajuk. Bibir mungilnya mengerucut. Emmanuel yang berada di samping tertawa kecil. Sepertinya, rumah mereka tak akan sepi lagi. Dua orang yang selalu berseteru kini telah berkumpul lagi. 

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang