PBE-09

454 53 5
                                    

Sudah satu bulan lamanya Ezra pergi dari rumah. Tak ada tanda-tanda lelaki itu akan kembali. Si kembar yang membantunya melarikan diri pun ikut dibuat cemas sejak sang mommy jatuh sakit. Kakak kedua mereka seolah hilang ditelan bumi. Mereka sudah mendatangi tempat yang ditinggali Ezra untuk sementara seperti yang direncanakan di awal, tetapi Ezra tidak ada di sana.

Erland sudah mengerahkan orang kepercayaannya untuk mencari keberadaan putranya. Namun, tak kunjung membuahkan hasil. Putra keduanya sangat pandai bersembunyi, hingga tak mampu dilacak titik keberadaannya.

"Mom, makan dulu ya? Abang suapi," bujuk Edzard pada wanita yang terbaring lemah di ranjang. Wanita yang tampak lebih kurus setelah jatuh sakit selama dua minggu lamanya. Dia menolak untuk dirawat di rumah sakit, meski sudah banyak bujuk rayu yang diterimanya.

"Mommy akan makan jika Ezra pulang ke rumah," jawabnya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.

"Mom, jangan seperti ini. Jika Kak Ezra kembali dan Mommy sudah tidak bernapas, itu hanya akan sia-sia! Mommy harus makan dan kembali sehat agar kita bisa menyambut Kak Ezra pulang," ucap Elan menatap wajah pucatnya.

Eidlan melayangkan tatapan sinis pada kembarannya. "Jaga bicaramu, Lan!"

Sudut bibir mereka tertarik melihat sang mommy yang merubah posisi menjadi duduk. Edzard menyuapinya dengan telaten. Selama dua minggu ini, ia dan si kembar jarang bekerja karena menjaga Eleana yang kondisinya semakin memburuk. Sementara itu, Emmanuel dan Eisha bersekolah seperti biasa atas desakan daddy mereka.

"Aku ingin jemput Eca di sekolah, kau ikut tidak?" tanya Eidlan melirik Elan yang menggeleng pelan. "Mom, Eidlan jemput Eca dulu. Mommy harus sehat, agar kita bisa beri pelajaran pada Kak Ezra."

Eleana terkekeh. Wanita itu mengelus puncak kepala putra ketiganya. "Hati-hati, ya."

"Iya, Mom." Eidlan berjalan menuju bagasi. Ia mengembuskan napas panjang, mengingat profesinya yang berubah menjadi supir pribadi nona muda Evander. 

Di tengah jalan, ia menepikan kendaraan beroda dua yang dikendarainya karena getaran ponsel di saku celananya. Matanya melotot mendapati sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal.

"Temui aku di tempat biasa. Jangan lupa membawa mie instan. Aku sudah kehabisan stok."

Tak ada orang disekitarnya yang tergila-gila oleh mie instan kecuali kakak keduanya. Eidlan langsung menancapkan gas menuju sekolah Eisha. Ia harus mengabarkan kepada keluarganya bahwa kakak laki-lakinya menunggu mereka di suatu tempat yang tak jauh dari rumah.

Di lain sisi, Ezra terpaksa memunculkan dirinya atas desakan tuan rumah yang ditempatinya. Ia duduk di bawah pohon rindang. Suasana siang ini begitu terik, membuatnya semakin malas menunggu. Hampir selama satu jam dirinya berada di sebuah danau. Tangannya tak berhenti melempar kerikil ke danau tersebut.

"Aku harap, aku tidak dikeluarkan dari keluarga Evander," gumamnya sembari memejamkan mata menikmati semilir angin yang berhembus menerpa wajah.

"Harapanmu tidak akan terwujud Kak Ezra. Daddy sudah mengadopsi anak lain untuk menggantikan posisimu." Eidlan tiba dengan sekantong mie instan. Ia mengambil duduk di samping kanannya.

Ezra tersenyum menyeringai. "Kau pikir aku percaya?" Tangannya terulur mengambil satu buah mie instan. Ia membuka kemasannya, lalu meremas mie tersebut hingga remuk. Tak lupa mencampurkan bumbu ke dalamnya.

"Apa Kak Ezra akan ikut pulang?" tanya Eidlan menatap lekat manik matanya.

Ezra menggeleng pelan.

Suasana hening menyapa. Hanya suara kunyahan mie dari mulutnya yang terdengar. Jika saja, Eleana tahu jika putra keduanya kembali mengonsumsi makanan tidak sehat itu, pasti sudah mengomelinya selama tujuh hari tujuh malam. Namun, para tuan dan nona muda Evander merahasiakannya atas desakan Ezra yang tak bisa berjauhan dengan makanan favoritnya.

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang