PBE-21

391 47 5
                                    

Sejak kejadian itu, Elsye tak berani berada di ruang yang sama dengan lelaki yang tengah terlelap. Ia tak menyangka, jika Ezra benar-benar memiliki pikiran mesum. Mengingat mereka yang ditinggal berdua, membuatnya mengambil keputusan untuk menunggu di luar. Hingga kedatangan seorang gadis menyadarkannya dari lamunan.

"Ngapain di luar? Diusir sama si Ezra?" tanya Zia sembari mendudukkan diri di samping Elsye yang menggeleng.

"Gue takut," cicitnya. "Lo temen deketnya Bang Ezra, 'kan? Gue boleh tanya sesuatu nggak?" Elsye menatap penuh harap ke arah gadis yang diingatnya saat kejadian di kantor cabang kala itu.

Zia mengangguk pelan.

"Bang Ezra tuh orangnya mesum, ya?" tanyanya membuat Zia tertawa keras. Merasa penasaran akan pertanyaan yang menyatakan bahwa Ezra adalah lelaki mesum, akhirnya Zia pun menanyakan penyebab asumsi tersebut. Gadis tersebut mendengarkan dengan seksama tentang kejadian yang menimpa Elsye pagi tadi.

Rasanya sangat tidak percaya jika Ezra memiliki sisi jahil dalam dirinya. Selama mereka berteman, Ezra selalu bersikap dingin. Oleh karenanya, Zia tak yakin jika lelaki itu memiliki sikap jahil apalagi mesum.

"Nggak mungkin Ezra kayak gitu. Sini, gue ceritain dia orangnya kayak gimana."

Di pertemuan ketiga ini, mereka tampak lebih akrab dengan membicarakan Ezra. Sementara lelaki yang menjadi topik pembicaraan dua gadis itu sudah terjaga dan samar-samar mendengar tawa menggema di luar ruangan. Merasa penasaran, ia pun turun dari atas brankar dan sedikit membuka pintu. Tatapannya menajam melihat Elsye dan Zia yang sedang menistakannya.

"Gue juga nggak percaya, kalo Ezra anaknya Om Erland dan Tante Eleana. Mereka orangnya baik, ramah, murah senyum. Nggak kayak anaknya yang pelit senyum. Nih ya, pertemuan pertama gue sama dia aja tuh nggak berkesan banget, Sye. Masa iya, dia langsung natap gue tajem terus ajak duel sehabis pertandingan," cerocos Zia bersemangat.

"Tidak terbalik?" tanya seseorang dengan nada sinis.

Dua gadis tersebut menelan ludah, kemudian memutar tubuh menghadap lelaki yang bersandar di daun pintu. Ezra mempersilakan mereka masuk. Mau tak mau, mereka pun menurut. Sungguh, Ezra tampak menyeramkan. Aura mencekam menyelimuti dirinya yang berjalan menuju brankar. Wajah datar tanpa ekspresi itu membuat Elsye meremas tangan gadis di sampingnya.

"Ada urusan apa kau kemari?" Ezra menatap tajam gadis yang tersenyum manis itu.

"Y-ya jenguk lo, lah! Segala pake nanya!" jawab Zia tertawa kecil.

"Aku baik-baik saja. Kau bisa pulang," usirnya membuat seorang gadis gelagapan.

Zia yang mendapat jalan melarikan diri segera angkat kaki. Ia melambaikan tangan ke arah Elsye yang menatap penuh permohonan. "Sye, gue balik. Semoga lo baek-baek aja. Kalo si Ezra macem-macem, lapor Om Erland. Supaya dia dihukum jadi gembel sekalian."

"ZIA!!" Bentakan keras yang mengalun di indra pendengaran Elsye, membuat gadis itu berjengit kaget. Suara derap kaki yang mendekat menambah rasa ketakutan yang semakin menguasai diri.

Elsye terpaksa mengangkat kepala yang tertunduk saat merasa tak ada pergerakan dari sosok yang menjulang tinggi di depannya. "Maaf, Bang. Elsye salah. Elsye nggak maksud ngomongin Abang sama Zia tadi. El—"

"Kau pikir aku akan peduli? Sudahlah, bantu aku bersiap. Siang ini kita akan pulang ke rumahmu!" tukas Ezra membuat istrinya tercengo.

"Hah? Emangnya luka Bang Ezra udah nggak papa?" tanya Elsye menatap punggung tegap suaminya yang berjalan menuju jendela di ruang rawat ini.

"Cih, sok perhatian!" Elsye mengelus dada berkali-kali. Mencoba meredam amarah yang tersulut akibat sikap Ezra yang kembali menguji kesabaran.

Tak mau menuruti keinginannya begitu saja, gadis itu memutuskan untuk menemui dokter. Ternyata, Ezra memaksa dokter agar menyetujui dirinya untuk segera meninggalkan rumah sakit. Dengan segala pertimbangan, akhirnya dokter pun setuju. Elsye menghela napas gusar. Selain dingin, datar, jahil, dan menyebalkan. Ezra juga memiliki sikap pemaksa.

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang