PBE-22

345 45 9
                                    

Halo semuaa...

Apa kabar?? Aku come back loh...

Ada yang kangen sama aku nggak?? Kalo aku kangen banget sama kalian🥰🥰

Lope U Sekebon ❤️❤️

Niat awal  aku tuh mau update tepat tanggal 17 Agustus, tapi kelamaan

Jadi aku update sekarang!! Seneng nggak???

Aku nggak jadi Hiatus sampe satu bulan loh, terhitung cuma dua minggu yaa

Alhamdulillah, kesibukan aku sedikit berkurang dan aku meluangkan waktu untuk lanjut cerita-cerita yang lagi digarap ini supaya cepet tamat, wkwkkk

Oke deh, selamat membaca 💕

***

Semua orang terperanjat kaget. Para perempuan bergegas menghampiri ruangan di mana para pria berkumpul. Mereka menatap bingung ke arah Ezra yang menahan amarah. Kedua tangan lelaki itu terkepal. Wajahnya merah pedam. Zia mengundurkan diri. Ia tak mau ikut campur dalam masalah keluarga Evander ini.

"Ezra, jaga ucapanmu," tegur Erland menatap tajam ke arah putra keduanya.

Emmanuel memutuskan untuk beranjak meninggalkan ruang tamu bersama Eisha. Pemuda itu yakin, jika permasalahan yang terjadi masih berlanjut. Eisha yang tak suka dengan pembahasan para orang dewasa pun mengikuti kakak kelimanya yang mengajak ke taman samping rumah mereka.

"Tenanglah, Ez," tutur Edzard sembari mengelus punggung sang adik. Sementara si kembar sudah menciut. Mereka memepetkan tubuh pada Ezdler yang duduk di tengah keduanya.

"Edzard, Ezra, ikut ke ruang kerja Daddy sekarang. Ersyand dan Ervian juga," titah Erland melangkah lebar menuju ruang kerjanya.

Ada banyak spekulasi-spekulasi yang memenuhi kepala Eleana dan anak-anak. Mereka menatap kepergian empat orang pria yang menyusul sang daddy. Si kembar yang memiliki jiwa kepo yang sangat tinggi, diam-diam menguping pembicaraan dengan menempelkan telinga di pintu berwarna putih itu. Namun, mereka tak mendengar suara apa-apa, memutuskan kembali duduk bersama yang lain.

"Kau bisa jelaskan semuanya, Ezra?" tanya Erland dingin.

Edzard menghela napas panjang saat adiknya tak menggubris pertanyaan sang daddy. Lelaki itu justru menyandarkan punggung pada sandaran kursi seraya tersenyum miring. Dari lima adik yang dimiliki, Edzard merasa jika hanya Ezra yang berani memainkan kemurkaan daddy mereka.

"Ezra, jawab!" interupsinya pada sang adik yang mengangkat sebelah alis.

"Aku malas berbicara banyak, Bang. Luka tembak di punggungku masih terasa nyeri. Apakah, Paman Ersyand bisa menjelaskannya?" Ezra menatap remeh ke arah pria yang memiliki banyak hutang budi padanya.

Dengan amat terpaksa, Ersyand menuruti keinginan sang keponakan yang selalu menguji kesabaran. "Sudah hampir enam tahun putra keduamu membantu kami di dunia bawah."

Raut keterkejutan terlihat jelas di wajah Erland dan Edzard. Mereka menatap tak percaya ke arah Ezra yang mengedikkan bahu tak acuh. Penjelasan singkat yang diberikan sang paman mampu membuat keduanya paham. Karena selama ini, Erland sengaja tinggal di Indonesia untuk menghindari para musuh keluarganya. Lebih tepatnya agar tidak terlibat dalam dunia bawah yang dipimpin oleh tuan besar Evander. Ia hanya ingin keluarga kecilnya hidup damai, tidak seperti keluarga adiknya yang selalu diintai oleh bahaya.

"Apa benar begitu, Ez?" Erland menatap penuh selidik ke arah lelaki yang menganggukkan kepala. "Baiklah, mulai sekarang, kau tidak diizinkan pergi ke luar negeri lagi. Lusa kau akan tinggal di rumah berbeda dengan kami."

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang