PBE-13

401 47 5
                                    

Sepasang mata elang menatap tajam seorang gadis yang terus berceloteh tentang kejadian yang menimpanya kepada sang mommy. Ia mengepalkan kedua tangan merasakan aura kemarahan Eleana padanya. Wanita itu bersedekap dada seraya mengangkat sebelah alis. Edzard yang merasa dirinya akan diintrogasi mengetatkan rahangnya. Membawa gadis itu ke rumah adalah sebuah kesalahan besar. Ia tak menyangka jika perempuan berbeda usia itu sangatlah akrab.

"Abang bisa jelaskan alasannya?" tanya Eleana mendesak putra sulungnya yang sejak tadi terdiam.

"Tidak ada alasan," jawabnya membuat Zia mendelik.

Gadis itu meraih bantal sofa dan melempar ke arahnya. Edzard terkesiap saat bantal tersebut mendarat tepat di wajahnya. Rasanya, ia ingin membalas lemparan bantal, tetapi keberadaan Eleana membuatnya mengurungkan niat.

"Abang tidak membantunya, karena merasa dia sanggup menghadapi mereka, Mom."

Zia tersenyum congkak. Ia merasa tersanjung akan pujiannya secara tidak langsung. Selama ini, tak ada orang yang mau mengakui kemampuannya. Termasuk Ezra. Lawan mainnya kala adu kekuatan fisik.

"Iya dong! Zia!!" serunya tersenyum lebar.

Edzard menggelengkan kepala, kemudian beranjak ke kamarnya. Ia membutuhkan waktu untuk beristirahat. Namun, keinginannya gagal terpenuhi saat seseorang menarik ujung pakaiannya.

"Tan, aku boleh minta sesuatu ke Edzard tidak? Hitung-hitung sebagai penebus pertanggungjawaban dia gitu," ucap Zia melirik lelaki yang kembali tersulut emosi.

"Boleh saja. Abang, turuti apa yang Zia mau. Mommy mau ke toilet sebentar."

Selepas kepergian wanita paruh baya itu, Edzard menepis kasar tangan gadis tersebut. Ia melangkah keluar rumah. Zia tergopoh menyusulnya. Ia berjingkrak kegirangan. Lelaki yang sama dinginnya dengan Ezra di pertemuan pertama mereka mudah ditaklukkan jika melibatkan Eleana. Zia tak henti-hentinya mengucapkan syukur pada Tuhan yang telah menggerakkan hati lelaki tersebut hingga membawanya ke kediaman keluarga Evander ini.

"Edzard, gue cuma minta ditraktir bakso doang kok. Nanti gue tunjukkin jalannya deh," katanya sambil melirik Edzard yang tengah meredam emosi terhadap gadis tidak tahu diri itu.

Jika mentraktir semangkuk bakso tak akan menjadi masalah bagi Edzard yang kebetulan tidak membawa uang lebih. Namun, lagi-lagi gadis tersebut memberinya kejutan. Edzard dibuat naik pitam oleh ulah Zia yang mentraktir para karyawan bengkel yang letaknya di samping kios bakso. Gadis itu tersenyum cerah melihat mereka yang tampak bahagia mendapatkan traktiran bakso di siang yang terik ini. Tak mau kalah dengan yang lain, Zia pun memesan bakso tanpa kuah dan lainnya. Membuat Edzard mengernyit heran.

"Lo nggak mau baksonya? Enak loh," tawarnya dibalas gelengan kepala oleh Edzard yang masih setia duduk di dalam mobilnya.

"KAK ZIA!!" Seorang lelaki berlari kecil menghampiri Zia yang melambaikan tangan ke arahnya.

Sepasang mata elang mengamati mereka dengan tajam. Edzard mengenal jelas lelaki yang tampak sangat akrab dengan gadis kurang ajar itu. Tak kuasa berlama-lama melihat mereka bercengkrama, ia pun memutuskan keluar dari mobil dan menarik kerah bagian belakang lelaki yang dijuluki pangeran buaya oleh orang-orang di sekitarnya.

"Eidlan!" desis Edzard membuat si empu nama berbalik dan tercengir mendapati kakak sulung yang menatapnya tajam.

"E-eh, Bang Edzard. Abang sedang apa di sini?" tanya Eidlan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Zia memiringkan kepalanya. Ia menatap kakak-beradik, itu bergantian. Seketika, ia tersadar jika dua pangeran buaya yang sering menggodanya dan karyawati bengkelnya ternyata tuan muda keluarga Evander.

Pangeran Bermata Elang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang