Seorang gadis memantau langsung lelaki pujaan hati yang tengah melaksanakan hukuman dari pria yang gagal jadi ayah mertuanya. Gadis itu menatap penampilannya yang sengaja diubah demi mendapat atensi tuan muda kedua Evander. Jika biasanya ia memakai dress pendek, kini diganti dengan jeans panjang dan hoodie. Persis seperti penampilan gadis yang berhasil mendekatinya.
Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Satu jam lagi, orang-orang kantor akan membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang begitu indah. Ia tak sabar bertemu dengan Ezra yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Lelaki tersebut meletakkan alat-alat kebersihan dan duduk di bangku sembari menunggu teman-temannya yang bergerak cepat menuntaskan pekerjaan masing-masing.
"Jika terus seperti ini, aku tak yakin bisa bertahan. Tubuhku terasa sangat pegal," keluhnya sembari memijat pundaknya sendiri.
Ezra memejamkan matanya sesaat. Pijitan di lengannya membuat dirinya enggan membuka mata. Rasanya begitu nyaman. Pegal di lengannya perlahan berkurang. Aroma parfum yang menyeruak masuk ke dalam indra penciuman, membuat Ezra segera membuka mata lebar-lebar dan menyentak tangan gadis yang tertunduk itu.
"Zia?"
Gadis yang diduganya sebagai Zia itu mengangkat kepala. Betapa terkejutnya Ezra melihat Elsara yang mengikuti gaya berpakaian teman terdekatnya. Tak ada lagi Elsara yang feminim. Gadis itu berusaha keras menjadi sosok Zia, si gadis tomboi.
"Aku Elsara, Ez!" serunya mencebikkan bibir kesal. "Bagaimana penampilanku yang sekarang? Kau suka, 'kan?" Wajah cemberutnya berubah sumringah. Elsara menatap lekat manik mata elangnya. Gadis itu tidak sabar menunggu, hingga memutuskan untuk menemuinya.
Ezra menggeleng pelan. Ia hendak bangkit dari duduk, tetapi Elsara justru menarik lengannya. Ia hampir kehilangan keseimbangan jika kedua tangannya tidak bertumpu pada dinding. Kedua matanya melotot saat seseorang menyambar bibirnya dengan cepat. Pikiran tuan muda kedua Evander mendadak kosong akibat lumatan lembut sosok gadis yang tergila-gila padanya.
"Astagfirullah!!!" pekik seseorang yang langsung membalikkan tubuh. Ia memegangi dadanya yang berdebar kencang. Seumur hidupnya, ia tak pernah menyangka dapat menonton secara langsung adegan mesum seperti itu.
Elsara menyudahi ciuman pertama mereka. Wajah gadis itu bersemu merah. Tanpa berpamitan dengan Ezra yang masih syok dengan serangan tiba-tiba yang dilakukannya. Ezra mendudukkan diri dengan pikiran yang semrawut. Tangannya terulur menyentuh bibirnya yang tak perjaka lagi.
"Sial! Aku kecolongan!" gumam Ezra merutuki kebodohannya yang hanya diam berkutik.
Elsye memiringkan kepala—menatap rekan kerjanya yang memukuli kepalanya sendiri. Ia menghela napas panjang. Selain semena-mena, ternyata tuan muda kedua Evander juga mesum. Ia harus menjauhkan diri darinya. Jangan sampai, ia menjadi korban kemesumannya.
"Sye! Dicariin Mas Eron tuh," ucap seorang office boy menghampiri Elsye yang bergeming di tempat.
"Syee..." panggilnya menyadarkan Elsye yang terkesiap. "Iya Bang."
Tak mau menganggu waktu kesendirian Ezra yang tampak begitu frustasi, office boy itu pun ikut menyusul Elsye. Kebetulan, ia juga memiliki keperluan dengan tangan kanan bos mereka.
***
"Edzard! Edzard!!" teriak Elsara melangkah memasuki ruangan sahabatnya.
Ruangan yang sudah lama tak dikunjungi itu masih tampak sama. Tak ada perubahan sedikit pun. Senyum di wajah Elsara semakin lebar melihat Edzard yang tengah berkutat dengan laptopnya. Ia menghampiri tuan muda pertama Evander dan memeluk tubuhnya yang tersekat oleh kursi kebesarannya.
"Edzard, aku sangat bahagia," ujar Elsara semakin mengeratkan pelukan.
Tubuh Edzard menegang. Ia terpejam sesaat ketika Elsara melepas pelukannya. Gadis itu menyingkirkan dokumen di meja kerja Edzard dan mendudukkan dirinya di sana. Kening Edzard mengerut mengamati penampilan sahabat perempuannya yang sangat jauh berbeda dari biasanya.
"Kau tahu, hari ini aku berciuman dengan Ezra," terang Elsara membuat hatinya kembali hancur.
Edzard sudah mencoba menghilangkan rasa terhadapnya. Saat tak bertemunya selama hampir satu bulan lebih, rasa itu sedikit terkikis. Namun, ketika dirinya menginjakkan kaki di kantornya kembali, ia merasa hatinya membuncah. Apalagi dengan penampilannya yang berbeda. Setelah itu, ia dikejutkan oleh tindakannya yang tiba-tiba memeluk dirinya. Bahkan, ia lebih dikejutkan oleh kabar berciuman antara sahabat dan adiknya.
"Edzard, ada apa denganmu? Kau mendengar aku bercerita, bukan?" tanyanya membuyarkan lamunan Edzard yang terpaksa memaksakan senyum di wajahnya.
"Ya."
"Hari ini kau lembur, ya?" Edzard mengangguk kaku. "Kalau begitu, aku pulang dulu, ya. Ingat, kau jangan melewatkan makan malam."
Kecupan singkat di pipinya membuat tubuh Edzard memanas. Ia menatap kepergian Elsara dengan tatapan rumit. Kedua tangannya terkepal. Mengapa, ia harus terjebak oleh perasaan yang tak seharusnya tumbuh ini?
"Zoya! Kemari!!" teriak Edzard membuat si empu nama yang kebetulan melewati ruangannya bergegas masuk.
"Ada apa?" tanyanya keheranan.
Wajah dan telinga bosnya itu tampak memerah. Sorot matanya yang tajam membuat Zoya bergidik. Gadis itu memundurkan langkah saat Edzard bangkit dari kursi kebesarannya dan melangkah ke arahnya.
"Bantu aku membasuh wajah," pinta Edzard membuat Zoya tercengo. "Cepat Zoya!"
Zoya mengangguk cepat. Ia berlari keluar ruangan. Dadanya berdegup kencang. Sudah lama sekali, ia dan Edzard tak berhadapan seperti tadi. Zoya sedikit merasa gembira. Ia harap, sikap Edzard padanya kembali seperti semula.
Pandangan Edzard teralih pada gadis yang datang dengan membawa air di dalam mangkuk. Ia memberikan sapu tangan padanya. Zoya kembali tidak mengerti. Lelaki di sampingnya itu menyuruh dirinya mengelap seluruh bagian wajah. Terutama pipi kirinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Zoya setelah memberanikan diri.
Edzard menggeleng. "Aku harus menghilangkan jejaknya. Tempel sedikit lama di pipi kiri ku, Zoy."
Zoya menurut. Gadis itu tak lagi berbicara pada lelaki yang suasana hatinya sedang tidak baik. Setelah selesai, ia mengambil beberapa lembar tisu dan mengelap wajahnya yang basah. Sejenak, ia terhanyut dalam pesona tuan muda pertama Evander. Mata elangnya mampu membuat semua orang yang ditatap menjadi diam tak berkutik. Hidung mancung, alis tebal, dan bibir yang sangat menggoyahkan imannya. Zoya menggelengkan kepala. Mencoba mengusir pikiran yang tidak-tidak itu.
"Bersihkan meja kerjaku juga," pintanya sambil melepas jas hitam yang dipakai.
Zoya mengerjap matanya berkali-kali. Ia merasa bingung akan sikap anehnya. Pertama, meminta dirinya untuk mengelap wajah. Kedua, meminta meja kerjanya dibersihkan, padahal meja tersebut masih terlihat kinclong. Tak ada debu yang menempel, karena setiap hari ia dan teman-temannya bergantian membersihkan ruangan bos mereka. Ketiga, Edzard memberikan jas padanya. Ia semakin bertanya-tanya saat lelaki itu menyuruhnya melipat jas tersebut dan memasukkan ke dalam paper bag kosong yang ada di samping sofa.
"Zoya, apa kau bisa lembur hari ini?" tanya Edzard memutar tubuh menghadap gadis yang mendongakkan kepala.
"Bagaimana, ya? Bapak lagi pulang kampung," jawabnya.
"Aku yang akan mengantarmu pulang." Keputusan mutlak yang dilontarkan Edzard, membuat Zoya mengangguk kaku. Gadis itu berpamitan untuk kembali mengerjakan pekerjaannya. Diam-diam, ia mengulum senyum. Hatinya menghangat kala Edzard kembali menggantungkan diri padanya.
Edzard tersenyum miris. Lagi-lagi, ia dikecewakan oleh gadis yang dicinta. Nona muda Zygmunt itu telah banyak memberinya luka, tetapi ia tak bisa membencinya. Rasa sayang dan cintanya kepada Elsara terlalu besar melebihi rasa kecewanya.
"Mengapa melupakan sesulit ini? Para pembaca PBE yang tahu tips move on, cepat beritahu aku!!" pekik Edzard sambil menjambak rambutnya sendiri.
Ayo, kasih tips untuk bang Edzard!!
Next???
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Bermata Elang [END]
Teen FictionPangeran bermata tajam bak elang itu mendapati kabar yang sangat memilukan hati. Kabar perjodohan tersebar membuat Edzard terpukul. Ia harus merelakan sahabat perempuannya menikah dengan sang adik. Ezra yang tidak mau menjalin hubungan dengan gadis...