Tak terasa sudah tiga minggu berlalu. Elsye tak lagi mendapat kabar dari suaminya. Zevan atau Zino yang kini menjabat sebagai pengawal pribadi, mengatakan bahwa nomor Zion tak bisa dihubungi. Mereka menggunakan nomor bawahan Ezra jika ingin berbicara. Membuat Elsye benar-benar merasa tidak tenang.
"Nyonya, makanlah dulu. Tuan akan marah jika tahu nyonya tidak makan," ucap Zevan menyodorkan sepiring nasi uduk yang sempat dimintanya.
"Biarin si Ezra ngamuk. Gue tunggu dia di sini. Gue nggak peduli mau dimarahin tujuh hari tujuh malam, asal dia cepet balik, Zevan!" resah Elsye menjatuhkan kepala di meja makan. Ia kembali menangis. Perasaan rindunya sudah tak terbendung lagi, tetapi Ezra hilang bagai di telan bumi.
Tak ada satu orang pun yang bisa menghubungi kaki tangan Ezra, alias Zion. Dua pria itu berhasil membuat sang nyonya uring-uringan. Zevan dan Zino yang kini sudah berteman baik dengan Elsye, selalu melapangkan hati mendengar keluh kesah seorang istri yang merindukan suaminya.
"Zevaann... Laki gue nggak kecantol bule di sana, 'kan?!" tanya Elsye dengan wajah sembab.
"Tidak mungkin, nyonya! Tuan Ezra itu tipe-tipe lelaki setia," jawab Zevan mantap.
"Zevan! Udah berapa kali gue bilang, jangan panggil gue nyonya! Lo kenapa nyebelin banget, sih! Zino!!" protes Elsye disela tangisnya.
Merasa namanya disebut oleh sang nyonya, Zino segera menghampiri. "Ada apa, Sye?"
Hanya Zino yang menurut untuk bersikap santai kepada Elsye. Sementara Zevan tak memiliki keberanian. Ia terlalu takut kepada tuannya. Membuat Elsye sering merasa kesal. Wanita itu tidak gila hormat. Ia berani meminta hal tersebut karena tak adanya Ezra di sini.
"Gue laper. Mau makan bakso pengkolan bengkel di sana, No. Lo beliin, gih!" titah Elsye yang kini sudah berhenti menangis.
"Masih jam sembilan, Sye. Belum buka," sahut Zino membelalakkan matanya saat sepiring nasi uduk siap dilempar oleh sang nyonya. "iya-iya, gue beliin. Nasi uduknya jangan lo buang, mubazir. Kasih ke Zevan aja tuh, dia belum sarapan juga, Sye."
Zevan mendengkus melihat kelakuan rekan kerjanya. Ia mengundurkan diri dan kembali berjaga di luar rumah. Selama ini, nyonya mereka tak pernah pergi kemana-mana. Keluarga Evander yang lebih sering berkunjung ke sini, lalu kedua orangtua Elsye. Jangan lupakan gadis tomboi yang sangat dikenal oleh para bawahan tuan muda kedua Evander.
Suara derap kaki yang mendekat membuat seorang pria mendongakkan kepala. Satu alisnya terangkat, melihat kedatangan teman dekat sang adik. Ia mencoba menerka-nerka tujuan gadis itu datang kemari. Namun, gadis tersebut lebih dulu tiba di hadapannya dan mendudukkan diri di kursi.
"Ezra menghilang. Sudah hampir satu bulan. Satu minggu lalu gue sama dia masih berkabar, tapi setelah itu, dia hilang mendadak. Apa lo nggak khawatir?" ucap Zia menatap intens wajah tampannya.
"Khawatir."
"Oke. Jadi, lo harus bantu gue untuk nemuin Ezra secepatnya," tukas Zia yang tak bisa lagi memendam rasa cemas yang semakin menjadi setiap waktunya.
Edzard menggeleng pelan. Ia memijit pangkal hidung, lalu mengubah posisi duduk untuk lebih mendapat kenyamanan. "Aku tidak bisa. Dia sudah biasa menghilang. Nanti juga dia akan pulang dengan sendirinya."
Zia menggebrak meja. Ia merasa tak habis pikir pada Edzard yang terlalu santai saat adiknya hilang kabar. Ia yang notabenenya sebagai teman dekat saja tak nyenyak tidur dan tak enak makan. Zia juga mencemaskan kondisi Elsye. Wanita yang selalu uring-uringan dan menghabiskan waktu dengan menangis. Memeluk dan menghirup aroma pakaian Ezra yang ada di lemari telah menunjukkan seberapa rindunya Elsye kepada tuan muda kedua Evander.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Bermata Elang [END]
Teen FictionPangeran bermata tajam bak elang itu mendapati kabar yang sangat memilukan hati. Kabar perjodohan tersebar membuat Edzard terpukul. Ia harus merelakan sahabat perempuannya menikah dengan sang adik. Ezra yang tidak mau menjalin hubungan dengan gadis...