09. Mine?

1.5K 72 4
                                    

Jika bukan karena ingin dekat dengan perempuan itu, mana mungkin ia akan berdiri, menunggu dengan tabahnya di luar pagar. Terhitung sudah setengah jam ia berdiri di depan mobil, menunggu tanpa mengeluh sedikitpun. Ketika netranya menemukan sosok yang di tunggu-tunggu, ia berdiri tegap, tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya.

“Ngapain lo?” sapaan bernada sinis itu di layangkan pada laki-laki di depannya. Radea sampai terheran-heran, mengapa laki-laki itu datang kesini tanpa memberitahu dulu.

“Setengah jam gue berdiri disini, kenapa lo enggak bersikap sedikit lembut?"

Hellow! Radea bersikap lembut? Dengan beberapa orang dekat saja ia masih sering melayangkan perkataan yang terkesan datar.

“Pergi sana!” Radea mengusir terang-terangan.

“Gue kesini buat jemput lo. Ayo masuk.” Sepertinya laki-laki itu sudah terbiasa, maka ia melayangkan senyuman manis dan membuka pintu mobil.

“Gue bisa pergi sendiri!” Tetap saja begitu, pikir Kenzo. Ya walaupun seperti itu, rasa suka yang membuncah di hatinya tak akan pudar.

“Ya udah, nanti gue ikutin dari belakang.” Jika laki-laki lain terkesan selalu memaksa supaya perempuan yang di taksir ikut dengannya. Maka berbeda dengan Kenzo, ia memiliki opsi lain, yang sebenarnya tidak beda jauh kan?

Memasuki mobil Kenzo, Radea berujar. “Harusnya lo ubah diri jadi tukang taxi aja,” cibirnya sinis.

“Selama jadi tukang taxi yang anter jemput lo, semua aman.” Kenzo tersenyum lebar sebelum menutup pintu dan memutar untuk memasuki kursi pengemudi. Bibirnya seakan tak bisa berhenti melengkung ke atas, menampilkan senyuman yang kata orang-orang sangat manis itu.

“Lo mau gue pasangin sabuknya?” Kenzo berinisiatif baik, tetapi perempuan di sebelahnya malah menatap sengit.

“Gue bisa!”

Kenzo menyengir. “Siapa tau lo lupa cara pakenya.”

“Stres!”


«────── « ⋅ʚ♡ɞ⋅ » ──────»
^
^
^

“Lo sampe kapan mau ngejar Hansel terus? Enggak cape?” Elvaretta berujar.

“Masa gue harus berhenti? Perjuangan gue selama ini sia-sia dong?” Rubby menghela nafas, tubuhnya yang bersandar pada sofa ia tegakkan. “Lagipula, kenapa dia enggak mau sama gue? Gue udah mirip Dasha Taran gini dia abaikan.”

“Woy kaca gede tuh. Sono ngaca dulu.” Elvaretta menunjukkan cermin besar di sudut ruangan dekat pintu masuk dengan sinis.

“Karena pendek. Tipe cowok ke gitu mah nyari cewek yang body-nya ke gitar spanyol.” Xavera bergabung dalam topik, sambil memegang segelas kopi susu di tangan. “Contohnya ke gue.”

“Dih.” Bersamaan Rubby dan Elvaretta.

“Tapi masa si?” Rubby jadi lemah, letih, lesu tak bertenaga. Ia mengerang, mengacak-acak rambut seperti orang frustasi. Kenyataannya iya, cape di tolak itu nggak enak.

“Ah elah, cowok masih banyak di luaran sana. Bukan dia doang yang ganteng,” kata Xavera. Ia duduk santai sambil memangku satu kaki kanan pada kaki kiri.

Jika di lihat lebih jelas, memang benar sih. Porsi tubuh Xavera itu bagus. Tinggu, putih, ramping, hidungnya mancung. Arrghh! Beda jauh dengan dirinya yang seperti ikan buntel! Pendek, hidung pesek, tapi Rubby cantik ko. Yang penting percaya diri!

Rubby merengek keras, memukuli bantal dengan kekesalan yang memuncak. “Berarti lo mengakui kalau dia ganteng?” Cewek berambut poni itu menyeru.

“Ya jelaslah, dari ribuan kilo meter juga udah keliatan gantengnya.”

Obsession The Big One ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang