21. Problematik Asmaraloka

585 26 0
                                    

"Ngapain ngikutin gue?" Rubby terkejut pada instruksi yang tiba-tiba menghadangnya. Dia menatap lawan bicaranya sebentar sebelum akhirnya tersenyum manis.

"Gue tanya, ngapain lo ngikutin gue?" Hansel menekan setiap ucapannya dengan tajam.

"Karena lo," sahut cewek itu cepat.

Hansel mengatur emosinya yang memburu, kedua matanya menghunus tajam pada lawan bicara. "Perbuatan lo itu bisa bikin mental orang lebih buruk!"

"Gue tau, I did that on purpose."

Kedua mata Hansel menjelaskan bahwa ia benar-benar tak menyangka, kedua tangannya terkepal kuat. Dia sudah sekuat tenaga menahan emosi.

"Tingkah lo lebih gila dari orang yang nggak waras."

Rubby tersenyum sinis, kedua matanya mendelik tak suka atas perkataan itu.

"Bukannya lo lebih gila? Bajingan, udah punya pacar tapi masih jalin hubungan sama orang lain."

Mereka ini apa? Hanya dua manusia yang di takdirkan saling menyimpan benci? Jika demikian, bagaimana alur yang akan di lalui? Apa yang harus di lakukan? Bagaimana cara lepas dari jeratan asmaraloka yang nestapa?

Keduanya sama-sama di satukan tanpa tahu apa yang membuat mereka bisa memutuskan untuk bersama? Lagi-lagi hanya emosional yang mendominasi.

"Gue lupa jelasin sesuatu." Hansel tersenyum miring-menjilat bibir bawahnya yang terasa kering. Lalu ia bersandar pada pintu mobil belakang milik Rubby, kedua tangannya berada di saku celana.

"Kenapa lo sama gue pacaran?" Hansel mengajukan pertanyaan. Kedua matanya menatap netra hazel Rubby dengan tajam. "itu karena lo."

"Keputusan kakek dan kehadiran lo yang jadi perusak."

"Oh, kalau gitu selamat, kehadiran gue akan selalu jadi perusak hidup lo."

*****

"Hei, tenang, jangan pikirin apapun lagi okey?"

"Aku takut. Aku nggak mau kamu di ambil sama cewek gila itu! Dia jahat Hansel, dia bilang suruh aku jauhin kamu. Aku nggak mau, aku nggak mau ...," racauan bernada lemah itu memberi luka baru di hati Hansel. Dia yang paling merasa bersalah.

Bukankah ini semua karena ketidakmampuan Hansel melakukan semuanya?

"No, aku sama kamu Difa. Dia nggak akan ambil aku dari kamu." Segala bentuk ucapan bisa jadi hanya sebuah bentuk penenang di satu hari.

"Aku takut ..." Nadifa memeluk tubuh Hansel erat. Kedua tangannya akan bebas gerak jika bersama Hansel.
"Kamu nggak boleh pergi, nggak boleh ...."

Hansel membalas pelukan cewek itu, memberinya bentuk kenyamanan yang selama ini tak pernah Nadifa dapat.

"I am here, Di." Bibirnya memberi ketenangan dengan melayangkan satu kecupan di kening.

Hanya bersama Hansel, hanya dengan Hansel, senyuman dan tawa bisa hadir menghiasi wajah Nadifa.

Selama ini tak pernah sekalipun Nadifa merasakan cinta dan pelukan hangat. Bahagianya hanya pada Hansel, Nadifa cukup sadar bahwa dirinya sangat bergantungan pada cowok itu.

"Jangan pikirin apapun yang buat kamu takut. Cukup pikirin hal-hal yang kamu suka, okey?"

Katanya, cinta adalah sebuah bentuk usaha. Bagaimana caranya berusaha untuk cinta yang terbawa oleh derasnya arus?

Jika Hansel merasa terkurung, bagaimana dengan Nadifa yang merasa takut kehilangan? Lalu apa kabar dengan Rubby yang selama ini berjuang?

Bukankah asmaraloka itu rumit?

*****

"Wrap!" seruan Kenzo menjadi bel favorit para cast dan crew. Karena hal itu mengartikan bahwa seluruh adegan sudah berhasil di ambil dengan baik.

Semuanya menghela nafas lega. Rasa lelah mereka di bayar dengan istirahat sejenak.

Kenzo menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi, kedua tangannya mengusap bagian kepala karena pening yang tiba-tiba menyerang.

"Kalau pusing kenapa nggak langsung minum obat?"

Kenzo langsung duduk tegak saat mendengar suara itu mengalun di telinganya. Kedua matanya langsung berbinar senang.

"Gimana sama tugasnya, udah kelar?" tanya Kenzo lembut. Tiga hari lalu Radea tidak hadir karena tugasnya sebagai seorang mahasiswi manajemen.

"Minum obatnya kalau udah ngerasa gaenak, jangan di tahan." Radea tak mau repot untuk menjawab, ia menyodorkan satu obat dan botol Aqua kepada tunangannya.

Kenzo tersenyum manis, menerima pemberian itu dengan hati gembira. Bahkan hanya melihat Radea seperti sakit kepala Yangon di deritanya telah berangsur baik.

"Lo bisa perhatian juga ternyata," gurau Kenzo tersenyum jahil.

Radea tetap memasang wajah datar, mimik wajahnya sama sekali tak menunjukkan raut apapun.

"Sering-sering perhatiin gue dong. Jangan cuek terus," cetus Kenzo. Dia menutup tutup botolnya kembali setelah selesai meminum obat.

"Hem," respon Radea membuat Kenzo meringis. Namun tetap saja itu membuatnya senang.

"Udah makan siang?"

"Udah," jawaban Radea hanya seadanya.

"Gue laper, ayo makan lagi," ajak Kenzo. Ia berniat menarik lengan Radea namun di tahan.

"Bukannya habis ini ada shooting ya?"

"Sayang, lo lupa gue sutradaranya?" Kenzo menarik satu alisnya ke atas, memamerkan wajah sombongnya tang tampan.

Ujung bibir Radea berkedut, dia menahan senyum dengan terus memasang ekspresi datar. Satu kata yang keluar dari mulut Radea menjadi keputusan mereka makan di luar.

"Oke."

*****

"Nggak ada yang mau lo jelasin?" Rubby menghampiri Hansel yang tengah duduk beralas rumput. Cewek itu berdiri di sisi Hansel yang masih diam.

"Cewek gila itu cuma butuh perhatian kan?"

Hansel langsung melempar pandangan tajam.

"Apa yang lo liat dari orang gila itu sih?


"Shut up bitch!"

Rubby terkekeh. "That bitch is your ex."

Rubby berjalan lebih dekat, ia menghirup vape yang berada di tangannya, lalu menghembuskannya ke udara.

Ia melanjutkan. "Lo kayanya nggak tau apapun soal cewek itu."

Rubby duduk di samping Hansel. Dia menatap wajah tampan itu penuh damba. Bagaimana ini. Bagaimana bisa Rubby jatuh hati sangat dalam pada cowok yang bahkan belum menyelesaikan kisahnya dengan sang masa lalu?

"Lo memutuskan hadir sendiri tanpa gue minta."

"Yeah, i know, why? Gue inget semuanya, gue inget siapa si pecundang yang terpaksa jadi tikus karena takut sama kucing. Right?"

Rubby tersenyum miring, menaikkan satu alisnya dengan wajah puas.

Obsession The Big One ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang