18. Leave or stay?

744 35 1
                                    

"Kenapa makanan dari gue belum di makan?"

"Enggak minat."

"Itu udang rebus kesukaan lo."

"Hem, tau." Radea berjalan pergi begitu saja.

"Kenapa?" Kenzo bertanya gamang. Nadanya terdengar tak bersemangat. "Kenapa harus gue yang selalu ngejar lo?"

Radea berhenti melangkah, namun belum ada niatan untuk berbalik. Dalam diam, dia menggigit bibir bawahnya risau.

"Gue fine sama perasaan palsu lo. Fine sama sikap lo. Tapi sampai kapan? Sampai kapan gue harus kaya gini Ra?" Dari nadanya saja sudah terdengar bahwa Kenzo seperti putus asa. Merasa lemah dengan keadaan yang sama.

Pemilik alam semesta selalu membuat skenario yang tak terduga. Setiap ciptaannya selalu berhasil merasa putus asa, namun itu semua tergantung cara menyikapinya. Kenzo dan Radea menjadi dua orang yang sulit terbuka. Sama-sama menutup diri pada keadaan.

Tak jarang keduanya mempertentangkan hal yang sama. Soal perasaan Radea pada Kenzo. Bagaimana mereka bisa berlayar lebih jauh jika sama-sama terjebak pada lubang yang berbeda?

"Gue butuh jawabannya, Radea. Apa gue ... harus pergi?"

Radea berbalik, menatap Kenzo dengan terkejut. Perempuan itu menelan ludah gugup, bingung mengucap kalimat yang tepat.

"Lo mau pergi?" Radea bertanya. Perempuan itu pandai memasang raut wajah tenang.

Kenzo menatap retina cokelat Radea lekat. Dia berucap lemah. "Itu yang gue mau."

"Lo tau gue bisa di hukum lagi?" Radea menelan salivanya kasar. Ia memejamkan mata sebentar untuk menetralisir perasaannya. "Jadi ... jadi jangan pergi."

Kenzo tertawa lemah. Bibir bawahnya di jilat guna menahan emosi dan sendu. Kenzo kembali mendongak setelah tadi menunduk, berusaha menyamarkan raut terluka ternyata tak semudah itu.

"See? Lo cuman gunain gue Radea?"

"E-enggak." Kenapa suasananya jadi seperti ini? Radea bingung untuk bercakap. Dia ingin mengutarakan semua isi hatinya, namun itu semua seperti terkunci rapat. "Kenzo ..."

"Gue tau." Kenzo mengangguk berkali-kali. "Bego kan? Gue masih aja jatuh cinta sama lo, padahal cuman jadi alat."

Radea terdiam di tempat, atmosfernya masih sangat menyesakkan. Radea sulit mengutarakan isi hatinya, sedari kecil selalu di paksa mengerti dan menafsirkan sendiri. Dia tidak tau caranya bersikap pada orang lain, Radea menjadi orang yang sulit mengekspresikan diri.

"Gapapa, gue ngerti. Kapan gue enggak ngerti sama lo?" Senyuman Kenzo bukan sebagai bentuk senyum tulus. "Gue bakal tetep di samping lo, walau cuman di jadiin alat. I love you my princess."

Kenapa harus seperti ini? Kenapa Kenzo enteng sekali mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Radea? Usapan lembutnya membuat Radea semakin kacau, dia orang yang paling merasa bersalah.

"Jangan lupa makan siangnya. Gue urus ruang sunting dulu." Bahkan ... Kenzo bisa tersenyum tulus di saat seperti ini?

Kenapa? Kenapa sikap itu membuat Radea merasa sakit? Dia ingin mengutarakan semuanya, ingin lebih terbuka pada perasaan. Tapi ... kenapa? Kenapa hal itu terasa sulit sekali.

Radea menatap bersalah dan terluka pada punggung tegap cowok itu yang semakin lama menjauh.

Perempuan itu menunduk, lalu mengucap satu kalimat "Maaf ..."

****

"Ada yang mau di beli lagi?" Denis bertanya di sela pokus menyetirnya, matanya menoleh ke samping- pada Rubby yang tengah membenarkan letak poninya.

Rubby memang selalu duduk di samping pengemudi. Padahal biasanya para selebriti atau aktor lainnya selalu berada di belakang seperti penumpang. Namun Rubby tak mau, alasannya simpel. 'Tak mau sendirian di kursi belakang.'

Hal sederhana seperti itu membuat Denis merasa di hargai, walau lebih banyak tak enaknya, tapi dia sudah terbiasa. Rubby dengan kemauannya selalu ingin di turuti.

"Makan mie ayam yuk kak!" ajak Rubby excited.

"Iya, tapi jangan di tempatnya. Bisa heboh."

"Hahaha, iya." Cewek itu sibuk kembali bermain ponsel, sesekali melihat padatnya jalanan. Saat matanya akan kembali pokus pada ponsel, Rubby tak sengaja melihat mobil yang tampak ia kenali.

Rubby membuka kaca jendelanya sedikit.

Dahi Rubby berkerut samar, memastikan jelas dengan matanya. "Kak, itu mobil Hansel bukan ya?" bertanya pada Denis.

"Kalau dari plat nomornya sih iya," jawab Denis tak ada ekspresi sama sekali.

"Ya berarti bener dong? Hansel mau kemana ya? Ikutin kak!"

"Enggak usah, mau mie ayam kan?" kata Denis.

"Enggak, enggak jadi! Ayo ikutin kak!" Karena paksaan, Denis pun harus mengikuti kemauannya.

Laju mobil Denis sesuai dengan laju mobil yang di kendarai Hansel. Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan, mereka tiba di sebuah gedung besar. Melihat papan besar bertuliskan Halo sehat itu, membuat Rubby bingung.

"Ini RSJ kan?" gumamnya sendiri. Untuk apa Hansel kemari?

"Gue mau ikut masuk kak." Rubby sudah berancang-ancang untuk keluar dan melepas seatbelt, namun Denis juga bergerak cepat menahannya.

"Skandal Hansel kemarin belum kelar, kamu mau buat skandal baru?" tutur Denis memberi tatapan peringatan. "Jangan coba-coba Rubby. Kamu bisa tanya langsung ke Hansel nanti." Cowok itu pun mulai melajukan mobilnya perlahan, berbelok kembali.

"Kak!" Rubby marah. Kedua tangannya berada di depan dada, bibirnya mengerucut sebal. Tetapi Denis tidak menggubris, dia hanya ingin Rubby aman tanpa masalah. Sebagai manajer tentu dia juga berperan untuk melindungi. Selain itu ... dia menganggap Rubby sangat penting dan berharga.

Malamnya setelah selesai membersihkan diri, Rubby langsung rebahan di atas kasur berukuran kecil. Ini bukan rumahnya, ini tempat peristirahatan para aktris, setiap tokoh di beri tempat tinggal masing-masing. Namun Rubby dan Radea memilih berdua.

"Red, pemotretan tadi, lo liat ada Hansel gak?"

"Lo ceweknya, ngapain tanya gue?" Radea yang tengah mengeringkan rambutnya berujar ketus.

"Tadi gue liat Hansel masuk RSJ," beritahu Rubby, menghela nafas sejenak.

"Gila kali," ceplos Radea asal menjawab.

"Heh!" sungut Rubby tidak terima. Tetapi kembali berucap dengan dahi berkerut. "Dia bawa bunga lily. Berarti buat cewek kan?"

"Warna apa?"

"Putih."

"Berarti buat temennya."

"Maksudnya?" Rubby langsung duduk tegak di atas kasurnya.

Radea mendekat, duduk di atas kasur bersebelahan dengan Rubby. Dia membuka ponselnya. "Lily putih melambangkan kesucian, ketulusan dan persahabatan."

"Ya gak gitu juga lah. Bisa aja cewek yang ternyata mantannya itu."

Radea mengangkat tak acuh kedua bahunya. "Bisa jadi."

"Lo ko gitu sihh???" Rubby melemparkan bantal tepat mengenai wajah Radea. "Harusnya kasih gue ketenangan buat menghadapi ini semua!"

"Alay!" sembur Radea cepat.

"Arghhh!!" Rubby bergerak tak jelas di atas kasur. Pikirannya melayang kemana-mana, menebak-nebak menggunakan isi otaknya yang tak seberapa. Ia menggigit bibir bawahnya cemas. "Nggak boleh, nggak boleh!" Rubby menghapus bayangan mengerikan yang di buat oleh kinerja otaknya.

"Hansel punya gue! Harus jadi milik gue, ga boleh yang lain!"



*************

See, otak gue emang perlu di kasih nutrisi biar dapet ide.

okee lah, silahkan di baca buat yg maoo. kalo baca nyumbang vote lah, tinggal pencet aja koo

Obsession The Big One ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang