32. Endless Relationship

389 22 0
                                    

Mata Rubby terbuka sempurna setelah menyesuaikan diri dengan lampu di ruangan ini. Ia mengurut kepalanya – yang terasa pusing.

Kemudian perempuan itu beranjak duduk. Menghela nafas saat mengetahui keberadaannya saat ini.

Rambutnya tergerai berantakan, bajunya masih sama dengan yang ia gunakan semalam. Bibirnya yang kering, serta wajah pucat lesu– seperti menggambarkan kehancuran isi hati dan pikirannya.

Perempuan itu menatap pintu kamar mandi yang terbuka – menampilkan Hansel dengan jubah mandinya. Lelaki itu berjalan ke arah Rubby, sambil mengusap rambut basahnya menggunakan handuk kecil.

Hansel berjongkok di samping tempat tidur– pada Rubby yang duduk di pinggiran ranjang.

Kedua netra berwarna berbeda itu saling menatap. Dengan masing-masing sorotnya. Rubby sama sekali tak berniat mengeluarkan suara – ketika jemari Hansel mengusap jemarinya yang berada di atas paha.

“Maaf.” Hansel berkata serius, entah tulus atau hanya sekedar basa-basi.

– Namun, Rubby tak menangkap ketulusan itu.

Dalam keheningan yang lagi-lagi terisi, jarum jam menjadi sound pertama di antara mereka. Raga Rubby pun seolah tak di tempat, ia kehilangan tenaga untuk bereaksi.

“Maaf lo enggak berguna, brengsek.”

Hansel menatap retina cokelat terang Rubby seksama. Disana, ia dapat melihat pancaran kebencian yang melayang untuknya. Ia melihat' rasa sakit yang tak pernah perempuan itu tunjukkan sebelumnya.

“Gue butuh lo, bukan permintaan maaf." Rubby menukas tegas.

“Lo udah dapetin gue. Bagian mana yang kurang?”

Kini, Rubby menatap retina tajam Hansel. Dalam keheningan yang hanya di isi oleh keduanya, kedua insan itu saling melempar tatap berbeda

“Lepasin perempuan gila itu."

Rubby ingin hanya dia yang memiliki Hansel. Hatinya memang egois, dia terlahir menjadi sosok yang selalu ingin miliknya –hanya untuk dirinya. Orang lain, tak boleh meminta.

Hansel berdiri sambil tersenyum jenaka. Ia mengelus rambut Rubby pelan. Kemudian berkata.

“Gue bisa lepas siapapun, kecuali Nadifa. Dan berhenti sebut dia begitu, Rubby. Dia punya nama.”

Rubby mengangguk-anggukkan kepalanya, memainkan lidah di dalam rongga mulut. Ia menghempaskan lengan Hansel dari atas kepalanya. Perempuan itu kemudian berdiri; menatap nyalang lawan bicaranya.

Selama ini Rubby hanya di bodohi. Dan lebih bodohnya, ia baru menyadari. Rasa sakit memang paling ampuh membuat seseorang sadar.

“Lo tau? Gue bisa aja bunuh dia demi dapetin lo sepenuhnya.”

Hansel tertawa rendah– menggigit bibir bawahnya setelah itu. Dia memandang langit-langit kamar sebentar, sebelum kembali menatap Rubby.

Lelaki itu mencondongkan tubuhnya  ke leher Rubby. Sengaja, menghembuskan nafas hangatnya di leher putih perempuan tersebut.

“Gue makin suka sama lo, my love.”

“Ya, itu harus.”

Kemudian, dengan gesitnya, Rubby menarik jubah mandi Hansel. Membawa bibir itu mendekat, dan mencium bibirnya dengan gerakan cepat dan menuntut.

Sialnya, jantung Hansel langsung berdegup kencang bukan main.

*

*

*

*

Ketika Rubby menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, ia mendapati sebuah mobil asing yang berada di halaman rumah. Rubby menatapnya intens – memperhatikan, setelah keluar dari mobilnya. Lantas, perempatan itu berjalan cepat untuk masuk.

Di sambut dengan kehadiran wanita paruh baya– yang kini langsung menatap ke arahnya.

“Mamom, papi. Bubby pulang!” Dia berlari ke arah keduanya.

“Hei, anak papi kok datengnya dadakan terus kaya jelangkung?” Aarav berkata dengan suara humor.

Rubby mendelik, kini berhamburan ke pelukan sang ibu– tempat paling nyamannya sejak dulu.

“Bubby kangen mamom," katanya.

Lho, terus sama papi enggak?" Aarav memasang wajah cemberut.

“Enggak, wlee~”

“Dasar anak tuyul!”

Aarav menyerangnya, dengan menggelitik sang anak hingga membuat tawa keluarga  itu mengudara.

Mereka melupakan kehadiran orang lain. Seorang wanita di yang kini menyaksikan dengan senyum tulus dan bahagia. Hatinya menghangat, mendapati tawa Rubby dan kedua orangtuanya yang begitu puas.

Baguslah, ini menyenangkan hatinya juga.

*

*

*

*

“Maaf sudah merepotkan kalian dengan kedatangan saya.”

“Eh, enggak! Aku sering sendirian di rumah, pas kamu dateng aku langsung happy.” Celana menjawab riang, di sertai wajahnya yang berseri-seri.

Adelina – wanita itu tersenyum hangat. “Saya senang, Rubby bisa tumbuh sehat dan baik. Kalian mengurusnya dengan sempurna.”

Celina tersenyum membalasnya. Matanya menatap Rubby– yang tengah bermain game dengan sang ayah.

“Aku lebih senang karena kehadiran Rubby. Kalau nggak ada dia, mungkin aku udah mati dari lama, ninggalin Aarav.”

Di depannya, Adelina menatap ikut bahagia. Rasa hangat dan senang Celina, tertular juga padanya. “Baguslah. Tuhan memang berniat baik, mempertemukan kamu dengan gadis kecil itu, kan?”

Celina kembali menatap Adelina bahagia. “Iya, betul.”

Kemudian, raut wajah itu berubah lebih serius. Suara rendah Celina berkata kepada Adelina, wajah Celina menunjukkan kehati-hatian saat berbicara.

“Pokoknya Rubby nggak boleh tahu. Aku nggak mau dia kecewa. Aku udah sayang banget sama dia, udah anggap dia darah dagingku sendiri. Tolong ya, jangan bilang apapun ke Rubby."

Sembari mengusap tangan Celina. Adelina membalas. “Tanpa kamu bilang pun, aku paham kok. Tenang ya, semua akan baik-baik aja. Rubby akan tetap jadi anak kamu, sampai kapanpun."

***






Obsession The Big One ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang