Bab 1

2.9K 122 7
                                    

"Danan! Fajar! Koe-koe nangdi?!" (Danan! Fajar! Kalian di mana?) Teriakan anak gadis itu terus menggema di seluruh penjuru desa, mencari-cari di mana keberadaan kedua temannya yang tak kunjung menampakkan batang hidung.

Ya, mereka bertiga sedang bermain sebuah permainan yang sangat fenomenal di kalangan anak-anak, yakni petak umpet. "Danan! Fajar!" Tak juga menemukan tanda-tanda keberadaan kedua temannya, Lastri, seorang anak gadis berumur delapan tahun itu terus menggemakan nama-nama mereka secara berulang-ulang.

Lastri, bermondar-mandir ke sana ke mari, belum juga menyerah akan usahanya itu. Di semak-semak, belakang batang pohon, hingga bawah selokan yang kering. Namun, ia tak juga menemukan mereka. "Wes, ah, aku kesel. Aku nyerah, wes!" (Sudah, ah, aku lelah! Aku menyerah!).

Lastri terduduk di sebuah batu besar yang ada di pinggir jalan. Menopang dagunya dengan kedua telapak tangan, memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Entah kenapa, dua anak laki-laki yang dinantikan itu tak juga menghampirinya.

Merasa ada hal yang janggal, Lastri segera bangkit dari posisinya, memasang raut wajah marah. Ya, tidak salah lagi, apa yang ada di pikirannya kali ini sangat akurat, mungkin saja itu juga yang dilakukan oleh kedua teman laki-lakinya itu.

"Fajar!!! Danan!!!"

~~~••~~~

"Ben rasakke, ha-ha-ha ...! Emange enak ditinggal bali!" (Biar rasakan. Memangnya enak ditinggal pulang).

"Nan, emange gak opo-opo ninggalke kae dewekan? Mengko nek nangis pie?" (Nan, memangnya tidak apa-apa meninggalkan dia sendirian? Nanti kalau nangis bagaimana?) Wajah bulat itu mengekpresikan raut cemas, memikirkan hal yang sedari tadi mengganjal di otaknya.

"Halah, gak opo-opo. Aku yakin, kok, iku bocah nek wes kesel, bakalan bali!" (Halah, tidak apa-apa. Aku yakin, kok, itu anak kalau udah lelah, bakal pulang).

"Aku wedi e, mengko nek misal e Lastri diculik pie? Opo maneh iki wes wayah sorop, jare wong-wong tuo akeh demit seng keluyuran. Nek salah sijine ketemu Lastri, terus nyulik, pie?" (Aku takut, nanti kalau Lastri diculik bagaimana? Apalagi ini sudah sore, kata orang tua banyak setan keluyuran. Kalau salah satunya bertemu Lastri, lalu diculik, bagaimana?).

Danan memukul pundak anak berbadan gempal itu. "Hust! Sembarangan! Ojo macem-macem, ah, Jar. Kabeh iku cuma mitos, percoyo karo aku!" (Sembarangan! Jangan macam-macam, ah, Jar. Semua itu hanya mitos, percaya sama aku!) bantah Danan.

"Melaske, lho, Nan, opo maneh Lastri cah wedok. Kene bali maneh ae, yok." (Kasihan, lho, Nan, apalagi Lastri perempuan. Kita kembali saja, yok) Belum sempat Fajar membalikkan badannya, Danan lebih dulu menahan tangannya, menahan agar ia tak pergi kembali.

"Tapi Nan ...."

"Uwes, koe nurut ae. Tak jamin, kabeh bakal aman." (Udah, kamu menurut saja. Aku jamin, semuanya bakalan aman) Fajar menunduk, merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya kepada Lastri. Namun, tak urung ia tetap menuruti apa yang diperintahkan oleh temannya itu, meski dihantui rasa tak tega sepanjang perjalanan mereka.

~~~••~~~

"Awas koe-koe kabeh!" (Awas kalian semua!) gerutu Lastri. Gadis itu berjalan menelusuri setiap jalan yang ada di desa dengan bibir mengerucut. Lastri tahu persis, kedua temannya itu sedang mengerjainya. Ya, semua itu mereka lakukan dengan motif untuk membalas dendam atas perbuatan Lastri yang juga meninggalkan mereka selama permainan sedang berlangsung.

Namun, Lastri tetap merasa tak adil. Ia telah meminta maaf dan menjelaskan alasannya kepada dua anak itu. Jadi, mereka tak perlu melakukan hal serupa. Apalah daya, Lastri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, mengetahui perilaku tak terpuji yang dilakukan oleh kedua temannya itu. Selama beberapa waktu ke depan, Lastri berharap tidak akan melihat batang hidung mereka lagi.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang