Bab 24

365 32 2
                                    

"Danan ...." Rengekan itu berhasil membuat anak bertubuh kurus dengan postur yang tinggi, menjadi naik pitam. "Kenopo dewe malah areng tempat iki? Kesambet opo koe?" (Kenapa kita malah ke tempat ini? Kesambet apa kamu?).

"Wes, ojo kakehan omong. Sak iki, sepedamu parkirke kono, terus melu aku mlebu, ayo!" (Sudah, jangan banyak bicara. Sekarang, sepedamu parkirkan di sana, terus kamu ikut aku masuk, ayo!) Tanpa menunggu jawaban, Danan berjalan mendahului, meninggalkan Fajar yang masih berkutat dengan wajah jengkelnya.

Danan berhenti sejenak tepat di ambang pintu, mendongakkan kepalanya ke atas. Terpampang dengan jelas papan nama yang mendeskripsikan tentang tempat itu. Dengan senyuman kecut, Danan melangkah masuk, membuka pintu kaca yang menghalanginya.

Balai Desa Guyub Makmur

Aroma harum langsung tercium olehnya. Danan mengamati sekitar, sama sekali tak ada orang yang berjaga di sana, mungkin mereka semua tengah sibuk dengan urusannya masing-masing, sementara bangunan ini sama sekali tak dikunci agar orang lain gagal masuk. Sepertinya tak ada benda-benda berharga yang ada di sini, melainkan hanya ada deretan buku-buku yang tersusun rapi di atas tak di ruangan yang ada di pojok bangunan.

Danan merasa senang. Anak itu datang di waktu yang tepat. Dengan kondisi sepi seperti ini, Danan menjadi lebih leluasa dalam memburu apa yang ia cari. Tidak salah lagi, pandangan anak itu langsung mengarah ke ruangan perpustakaan, tempat untuk menjalankan rencananya.

"Pasti nang kene," gumam Danan. Tiba-tiba saja dari arah belakang, terdengar suara pintu yang dibuka. Tanpa menoleh pun, Danan tahu siapa yang menyusulnya. Dengan senyuman samar, Danan berucap kepada anak itu. "Aku wes reti, koe kui pancen koncoku seng paling top!!!" (Aku sudah tahu, kamu memang temanku yang paling top!).

Setelah mengatakan hal itu, Danan langsung berjalan. Fajar mendecak kesal, malas untuk mengucapkan sepatah kata apa pun untuk membalas penuturan anak itu. Fajar hanya bergumam dengan lirih. "Karepmu, Nan ...." (Terserah kamu, Nan ....).

Danan tiba di ruangan itu, ruangan yang menjadi perpustakaan di desanya. Namun, buku-buku yang ada di sana kebanyakan adalah buku-buku yang diminati oleh orang dewasa. Sama sekali tak ada buku cerita, komik, atau pun kebutuhan lainnya untuk anak di bawah umur.

Fajar segera menyelaraskan langkahnya dengan anak itu. "Nan, sebener e tujuanmu opo, sih?" (Nan, sebenarnya tujuan kamu itu apa, sih?) Menepuk pundak Danan. Temannya itu hanya menoleh, lantas mengembuskan napas panjang. Mau tak mau, Danan harus berbicara agar tak lagi diberondong jutaan pertanyaan.

"Aku percoyo nek koe juga ngeroso aneh karo kejadian akhir-akhir iki, dimulai kadi Lastri tekan koncone Mbak Indi." (Aku percaya kalau kamu juga merasa aneh dengan kejadian akhir-akhir ini, dimulai dari Lastri sampai temannya Kak Indi) Dugaan Fajar benar, tujuan Danan pergi ke tempat ini, tak lain hanyalah ingin menyelidiki kasus yang terjadi di desa mereka.

"Aku penasaran, Jar ...." Danan menahan kalimatnya sejenak. "Penasaran, opo mungkin ono sejarah nang deso seng ono hubungan e karo kabeh iki. Aku ora reti nek sejarah iku ono opo ora, seng pasti ...." (Penasaran, apa mungkin ada sejarah di desa yang ada hubungannya dengan ini semua. Aku tidak tahu apakah sejarah itu ada atau tidak, yang pasti ....) Fajar memasang ekspresi sangat serius.

"Nek misal sejarah iku ono, aku yakin, mesti ono buku seng nyeritokke kabeh iku. Buku sejarah iku cuma biso ditemukake nang tempat iki, makane aku karo koe nang kene." (Kalau sejarah itu ada, aku yakin, pasti ada buku yang menceritakan semua itu. Buku sejarah itu cuma bisa ditemukan di tempat ini, makanya aku dan kamu di sini) Mendengar penjelasan dari Danan, Fajar langsung mencerna apa yang harus mereka lakukan untuk selanjutnya.

"Dadi, maksudmu aku kudu luru buku iku nganti ketemu? Nang tempat iki?" Fajar mengernyitkan dahi. Danan tersenyum, membalas ucapannya dengan anggukan kepala. Dalam sekejap, raut wajah anak gembul itu kembali memancarkan aura kekesalan.

Apa boleh buat, pada akhirnya Fajar ikut membantu Danan untuk mencari apa yang ia mau. Semua rak yang ada di sana mereka periksa satu per satu, membaca puluhan judul buku untuk mencocokkan apakah itu yang dimaksud. Tak mudah, memerlukan waktu hampir satu jam untuk melakukan hal itu.

"Asem, perjuanganku sia-sia ...!" Kini, Fajar tengah tertidur di lantai perpustakaan, memegangi perut buncitnya dengan embusan napas terengah-engah yang tampak di sana. Danan menyenderkan tubuhnya di salah satu rak, mencoba kembali memutar otaknya dengan ekstra.

Tampaknya, kegagalan yang baru saja dialami tak membuat Danan menyerah. Rasa penasarannya telah melebihi batas. Danan merasa, ia tak akan bisa hidup tenang sebelum semua misteri ini terpecahkan. Pikiran itulah yang membuat jalan keluar tertangkap oleh akal cerdiknya. Danan kembali menoleh ke arah temannya itu dengan penuh harapan.

"Jar! Aku reti, mungkin ono ruang bawah tanah nang sekitar kene. Nek tebakanku bener, buku iku ono nang kono. Ayo, Jar!" (Jar! Aku tahu, mungkin ada ruang bawah tanah di sekitar sini. Kalau tebakanku benar, buku itu ada di sana. Ayo, Jar!) Fajar terduduk segera, menampilkan ekspresi mulut menganga. Ia tak tahu sejak kapan temannya ini sangat antusias dalam mencari tahu tentang sejarah di desanya.

Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Fajar menyesal karena telah menerima tawaran Danan untuk menjemputnya. Alih-alih pergi memancing seperti apa yang Danan katakan, lagi-lagi anak itu berhasil mengibulinya. Kini, Fajar tengah bertatapan dengan anak itu, tatapan penuh dengan kesinisan. "Awas koe, Nan ...."

Danan membalikkan badannya, meneruskan kegiatannya untuk mencari ruangan di bawah tanah itu. Di tengah-tengah pencarian, tiba-tiba saja Danan melihat ada sesuatu yang aneh di bawah rak. Dengan sigap, Danan segera mendekatinya dan merogoh kolong dari rak itu. Danan kira, ada sebuah pintu tersembunyi di bawah sana.

Spekulasinya kali ini salah. Alih-alih menemukan sebuah pintu, yang Danan dapatkan hanyalah sebuah papan kayu yang entah kenapa berada di bawah sana. Sebagai gantinya, tiga kecoa berhasil menggapai tangan Danan, merembet dengan cepat hingga sampai ke pundaknya. "Asem! Argh ... kecoa ...!"

Danan dengan cepat menampik serangga-serangga itu yang merembet di bajunya. Merasa tak ada gunanya karena kecepatan dari serangga itu, Danan menggunakan cara yang lebih ampuh, yakni memaksa dirinya untuk bertelanjang dada, lalu mengibas-ibaskan bajunya hingga semua binatang hama itu lenyap dari pandangannya.

Yang terjadi selanjutnya sangat jauh dari perkiraan. Disangka menjauh, kecoa-kecoa itu berbalik arah, mengepakkan sayapnya serentak, melayang-layang ke titik di mana Danan berdiri. "Huwa ... Jar!!!!" Danan berlari tunggang-langgang, menghindari para kecoa itu yang terbang tak beraturan, tetapi seolah tetap menarget tubuhnya sebagai landasan.

Sibuk berlari hingga tak memperhatikan keselamatan. Tepat di sebuah belokan yang dibatasi oleh rak, tubuh Danan ambruk dengan keras. Anak itu merasa telah menabrak sesuatu yang besar, bersamaan dengan bunyi mengaduh yang dihasilkan oleh benda itu. Kini, benda besar itu tengah menahan Danan untuk tak berdiri dari posisinya.

Di sisi lain, seorang PNS baru saja memasuki balai desa, langsung menuju ke dalam perpustakaan karena mendengar suara yang gaduh. Begitu sampai di sana, betapa terkejutnya dia, melihat seorang anak laki-laki yang bertelanjang dada. Di atasnya, Fajar tengah mendihnya dengan tubuh besarnya. Melihat hal itu, seorang PNS segera mengelus dadanya, mengucapkan kalimat istighfar dengan lantang.

"ASTAGFIRULLAH, KOE-KOE DO NGOPO?!!!! TOBAT!!!!!" (Astagfirullah, kalian lagi ngapain? Tobat!!!).

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang