Tok! Tok! Tok! Tok!
Untuk yang ke sekian kalinya, suara itu kembali terdengar. Setiap suara yang dihasilkan dari ketukan, mampu membuat seluruh tubuh menjadi bergetar.
Di dalam kamar tanpa penerangan, gadis itu tak menggerakkan tubuhnya, mematung dan berusaha untuk tak menghasilkan suara. Saat ini, kebisingan sekecil apa pun bisa mengancam nyawanya. Jika saja orang di luar sana tahu akan keberadaan seseorang di dalam rumah ini, bisa dipastikan orang-orang itu akan masuk secara paksa.
Nayla tahu apa yang akan dilakukan mereka selanjutnya. Ia sudah banyak mendengar jeritan-jeritan rasa sakit yang terus bergema di lingkungan rumahnya. Adegan demi adegan tergambar jelas di bayangan Nayla, memprediksi bagaimana korban-korban di luar sana disiksa hingga akhir hayatnya.
Kini, tak ada lagi semua jeritan itu. Yang tersisa hanyalah raungan para warga yang telah kehilangan kewarasannya.
Tok! Tok! Tok! Tok!
Tubuh Nayla mematung, gadis itu berusaha semaksimal mungkin untuk menahan napas. Suara ketukan itu bukan lagi berasal dari pintu luar, melainkan pintu kamarnya sendiri. Rasa takut semakin memuncak, membuat Nayla ingin sekali menjerit dan menangis dengan kencang. Namun, semua itu tak mungkin dilakukannya untuk saat ini.
Tok! Tok! Tok! Tok!
"Astagfirullah ... astagfirullah ... astagfirullah ...." Kalimat istigfar terucap dengan sangat pelan. Kini, orang di luar kamarnya mencoba masuk ke dalam, dengan menarik gagang pintu berkali-kali. Nayla masih tak beranjak dari ranjangnya, setia menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut, meski pasokan udara semakin menipis.
"Nayla? Koe nang kunu, 'kan?" (Nayla, kamu dia situ, 'kan?) Suara seorang pria terlontar. Nayla membuka kedua matanya yang sempat terpejam, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Memastikannya, Nayla mencoba untuk menunggu orang itu kembali bicara.
"Nayla, koe nang njero kamar, 'kan? Metu, Nay, aku dudu salah sijine kadi wong-wong iku." (Nayla, kamu di dalam kamar, 'kan? Keluar, Nay, aku bukan salah satu dari orang-orang itu.)
Bimbang, itulah perasaan Nayla. Ia tak tahu apakah orang di luar sana benar-benar berkata jujur, atau itu adalah jebakan dari para warga untuk memancing mangsanya keluar, mengingat Nayla sama sekali tak tahu tentang trik apa saja yang digunakan oleh warga-warga yang kehilangan akalnya itu.
Namun, tak urung gadis itu turun dari ranjangnya dengan pelan, mengusir semua keraguan yang ada di dalam hatinya. Berjalan mendekati pintu kamar sangatlah berat dilakukan untuk malam ini. Nayla masih belum tahu, apakah keputusan yang diambil sudah benar.
Sampailah gadis itu di depan pintu. Nayla melirik ke bawah, cahaya putih terpancar dari sana, bersama dengan bayangan pria bertubuh besar. Nayla mencoba untuk mengintipnya dari lubang kunci. Namun, ia hanya bisa melihat tubuh orang itu dari bagian perutnya saja, mendakan bahwa postur tubuhnya tinggi. Di salah satu tangannya, ada sebuah senter sebagai penerang kegelapan.
Nayla mengernyitkan dahi, mengingat-ingat kembali. Ketika ia melihat para warga yang berjalan beriringan di depan rumahnya, Nayla sama sekali tak melihat salah satu dari mereka yang membawa alat penerang. Tak hanya itu, melihat raut wajah pucat mereka, tak mungkin juga mereka bisa berbicara layaknya orang biasa.
Kini, Nayla semakin yakin jika orang yang berada di depan kamarnya, bukanlah salah satu dari mereka. Oleh karena itulah, Nayla mulai membuka kunci kamar, menarik gagang pintu dengan perlahan. Seorang pria dengan badannya yang besar, berdiri di depannya dengan senyuman yang melebar.
"Alhamdulillah ... awakmu iseh urip," (Alhamdulillah ... kamu masih hidup.) ucap orang itu dengan wajah lega, begitu juga dengan Nayla yang langsung menarik napas dalam-dalam, melemaskan bagian tubuhnya yang sempat tegang. Ia sangat mengenali pria di depannya.
"M–Mas Adi? Pie carane Mas Adi mlebu omah e aku?" Satu pertanyaan pertama yang terpikirkan oleh Nayla. (M–Mas Adi? Bagaimana caranya Mas Adi masuk rumahku?)
Adi menunjuk ke belakang, arah dapur. "Jendela dapur durung dikunci, cuma lawang mburi tok. Awakmu klalen? Untung aku sing pertama nemu, dudu wong-wong edan iku, dadi nyowomu biso selamet," jelas Adi. (Jendela dapur belum dikunci, cuma pintu belakang saja. Kamu lupa? Beruntung aku yang pertama nemu, bukan orang-orang gila itu, jadi nyawamu bisa selamat.)
Nayla mengernyitkan dahi, merasa bingung, padahal sedari sore tadi Nayla telah mengunci semua akses masuk ke dalam rumah, kecuali pintu depan. "Wes, ora usah dipikiri, mungkin awakmu klalen. Sak iki, awakmu kudu melu aku, Nay, nang kene ora aman. Wong-wong iku biso kapan bae reti karo posisi awakmu." Adi kembali menambahkan. (Sudah, tidak usah dipikirkan, mungkin kamu lupa. Sekarang, kamu harus ikut aku, Nay, di sini tidak aman. Orang-orang itu bisa kapan saja tahu akan posisimu.)
Sebelum Adi meraih tangan Nayla, gadis itu langsung menepisnya. "Anu ... Mas, memang e Mas Adi pak gowo aku areng ndi? Kabeh warga edan iku wes nyebar, ora ono tempat sing aman maneh, Mas." (Anu ... Mas, memangnya Mas Adi mau bawa aku ke mana? Semua warga gila itu sudah menyebar, tidak ada tempat yang aman lagi, Mas.) Nayla membantah semua penjelasan Adi.
Adi kembali tersenyum penuh arti. "Awakmu yakin? Nek misal awakmu pengin urip, melu karo aku. Aku reti tempat sing aman nang deso iki. Wes ono wong-wong sing selamet selain aku nang kono, dadi awakmu ora usah khawatir." (Kamu yakin? Kalau kamu ingin hidup, ikut denganku. Aku tahu tempat yang aman di desa ini. Sudah ada orang-orang yang selamat selain aku di sana, jadi kamu tidak usah khawatir.)
Nayla kembali diserang dengan rasa bimbang. Kini, ia harus kembali memilih keputusan, antara diam di rumah atau ikut dengan pria di depannya ini, yang mana Nayla masih belum percaya seratus persen kepadanya.
Ada banyak kejanggalan yang tak bisa dijelaskan oleh Nayla. Walaupun Adi orang yang cukup dekat dengan sang bapak, itu masih belum cukup untuk menumbuhkan rasa percaya di hatinya.
"Nay, percoyo karo aku. Ora bakal aku ngapusi awakmu, Nay. Aku iku kenal bapakmu. Bapakmu wes berjasa karo keluargaku. Sak iki, aku kudu bales budi. Dadi, ojo wedi, yo, aku bakal bener-bener jogo awakmu." (Nay, percaya sama aku. Aku tidak akan bohongi kamu, Nay. Aku itu kenal bapakmu. Bapakmu sudah berjasa kepada keluargaku. Sekarang, aku harus balas budi. Jadi, jangan takut, ya, aku akan benar-benar jaga kamu.) Adi kembali meyakinkan Nayla dengan wajahnya yang sangat serius.
Akhirnya, Nayla mengangguk, tanda setuju dengan usulan Adi. Gadis itu tak memiliki pilihan lain. Nayla takut jika ia tetap berada di rumah, apa yang Adi ucapkan akan menjadi kenyataan. Mau bagaimana pun, Nayla tak memiliki kekuatan untuk melawan, ia membutuhkan seseorang untuk berada di sampingnya, melindunginya sewaktu-waktu para warga itu menyerang.
Adi semakin melebarnya senyumannya. Ia pun berdiri membelakangi Nayla, berjalan ke arah pintu depan. "Njo, melu aku, Nay," pintanya.
Nayla melangkahkan kaki, mengikuti jejak Adi. Pria itu sampai di depan pintu keluar, membukanya dengan perlahan. Setelah memastikan jika lingkungan di sekitar aman, Adi kembali menoleh ke arah Nayla, memberi kode jika di luar sudah aman, mereka bisa keluar dari rumah sekarang.
Dinginnya angin malam yang berembus, disertai rintikan air hujan yang mulai mereda, membuat tulang Nayla seolah ditusuk oleh gagang es yang runcing. Gadis itu merasakan kedinginan yang berbeda, tak urung tetap membuntuti Adi yang menjadi pemimpin perjalanan, meski tak tahu jelas di mana tujuannya itu.
"Tenang, Nay."
Nayla kembali menatap punggung Adi, mendengarnya bicara. Pria itu seolah bisa mengendus rasa takut dan ragu yang terpancar dari hati Nayla. Aneh, pikirnya. Malam ini, pria di hadapannya itu tak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda dari dalam dirinya. Namun, Nayla tak bisa melihat itu.
"Aku, 'kan, wes ngomong bakal jogo awakmu. Buang adoh-adoh keraguanmu iku. Wengi iki, awakmu ... kudu percoyo karo aku." (Aku, 'kan, sudah bilang akan jaga kamu. Buang jauh-jauh keraguanmu itu. Malam ini, kamu ... harus percaya sama aku.)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)
HorrorRank 1 in #horror (23 - 10 - 2023) Rank 1 in #horor (15 - 02 - 2023) "Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Suara itu meraung-raung hingga terdengar oleh satu penduduk desa. Para warga sontak berkumpul untuk mengobati rasa penasaran akan...