Bab 38

215 30 3
                                    

Hujan yang turun ke bumi tak pernah terjeda. Beberapa jam telah berlalu, suasana di desa tampak sangat mencekam. Tak ada satu pun penerang yang hadir di malam ini, selain kilat petir yang kadang tampak. Angin yang berhembus kencang, membawa dedaunan serta ranting pohon yang tumbang dari inangnya. Bau besi bercampur busuk menyeruak, membuat kepala menjadi pusing ketika menghirupnya.

Salim mengendap, melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Di depan sana, rombongan warga berjalan serentak, seolah dikontrol oleh sesuatu hingga menjadikan mereka mirip seperti robot. Setelah semuanya menjauh, Salim pun bergerak, menyebrangi jalanan untuk menuju ke rumah-rumah yang ada di sisi yang sebaliknya.

Setiap rumah yang Salim ketuk, tak ada satu pun penghuni yang membalas. Salim juga berusaha mengecek ke dalam rumah dengan pintu yang tak terkunci. Kosong, tak ada apa pun selain pemandangan bercak-bercak darah dan aura kematian yang pekat. Ketika menjumpai hal itu, Salim merasa iba, tahu akan nasib sang pemilik rumah yang dikunjunginya.

"Tolong ...! Tolong ...!" Salim terperanjat, menuju ke jendela rumah. Menyibak gorden, Salim melihat seorang wanita paruh baya yang berlarian di bawah jajahan air hujan. Di belakangnya, ada seseorang yang membawa garpu taman, tengah mengejarnya.

Salim bergegas keluar rumah. Namun, langkahnya terhenti, ketika jeritan yang wanita itu lontarkan ternyata mengundang koloni yang lain untuk ikut bergabung. "Waaa ...! Tolong ...!" Salim menggelengkan kepala, seluruh tubuhnya mendadak lemas. Satu lagi pembunuhan sadis terjadi di depannya.

Salim menutup kembali gorden yang sempat ia buka, terduduk lesu, mendengarkan secara saksama suara tusukan benda tajam yang menembus kulit, secara berulang-ulang. Yang tersisa hanyalah rintihan kesakitan lirih, sebelum akhirnya benar-benar lenyap.

"Argh ...!" Mengerang, Salim merasakan penyesalan di dalam dirinya, merasa tak bisa menolong wanita tak bersalah ini. Namun, apa boleh buat, saat ini Salim belum mempunyai nyali cukup besar untuk menghadapi para warga yang telah berubah itu. Sadar jika satu-satunya cara untuk menghentikan mereka adalah dengan membunuh.

Salim bangkit, menuju ke jendela samping rumah. Ia membuka jendela itu, menjadikannya sebagai jalan keluar dari rumah yang disinggahi. Salim kembali mengendap-endap, berjalan melewati belakang rumah. Kebetulan, posisinya saat ini berada dekat di jembatan yang menjadi jalan masuk ke desa. Jadi, Salim memutuskan untuk menuju ke sana tanpa mengindahkan rumah-rumah yang belum ia periksa.

Semakin dekat dengan tempat tujuan, suara deras air sungai terdengar jelas. Namun, ada sebuah keanehan yang Salim amati, seolah ada yang kurang dari pemandangan pinggiran sungai yang ia lihat dari jauh. Rasa penasaran itu terus muncul hingga Salim berada tepat di pinggir sungai.

Pria itu terkejut, seluruh tubuhnya merinding hebat ketika melihat jembatan yang semula menyambung kokoh, berubah menjadi jalan buntu. Tak ada puing-puing kayu yang tersisa, semuanya hilang terbawa arus sungai dengan permukaan air yang terombang-ambing itu.

"Astagfirullah ...," ucap Salim lirih. Dengan ambruknya jembatan itu, berarti Salim dan yang lainnya terjebak di desa tersebut. Tak ada jalan lain yang bisa mereka lalui untuk keluar dari desa. Melihat kondisi sungai yang sekarang, sangat tak mungkin untuk diseberangi, kecuali bagi mereka yang memiliki cukup nyali untuk bunuh diri.

Kini, angan-angan keluar dari desa pada malam ini telah pupus. Satu-satunya cara agar selamat hanyalah mencari tempat sembunyi terbaik, menunggu hingga aliran sungai kembali normal. Tentu saja, hal itu tak membutuhkan waktu singkat, mengingat hujan yang terus turun.

Salim harus kembali, melaporkan ini semua ke orang rumahnya. Ia pun berbalik, mendapati seorang pria tua yang menatapnya kosong dengan sisa satu matanya, sedangkan mata di sisi lainnya ikut hancur bersama sebagian kepala. "Argh ...!" Salim menahan tangan pria itu yang mencekiknya dengan erat, membuat napas Salim tercekat.

"Mati ...!!!"

Tak hanya mencekik, pria tua itu juga memundurkan tubuh Salim, seolah ingin menjatuhkannya ke dalam sungai yang deras. Salim yang menyadari tujuan itu, terus melawan dengan sekuat tenaga. Namun, tenaga pria tua itu benar-benar di luar nalar, sangat tak sepadan dengan tubuh kurus yang ia miliki.

"Sadar ... argh!" Salim terus meronta-ronta, mengadu kekuatannya dengan si pria tua itu. Berkali-kali Salim berusaha mencoba, ia tak pernah unggul, posisinya selalu saja bergeser ke belakang hingga Salim berada di bagian paling tepi. Jika saja kakinya melangkah mundur lagi, sudah dipastikan jika tubuhnya akan terjatuh ke bawah.

Salim tak punya cara lain. Terpaksa Salim harus menggunakan cara yang ia pikirkan sejak awal. Pria itu meruncingkan jari telunjuknya, lantas menusuk mata pria tua itu dengan penuh tenaga, membuat pria tua itu mengerang kesakitan.

"ARGH ...!"

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Salim mendorong tubuh pria itu ke depan, membuat posisi dirinya menjadi aman karena jauh dari tepi sungai. Segera Salim berlari menjauhi pria itu. Namun, salah satu kakinya berhasil dicengkeram, membuat Salim jatuh kembali.

Pria itu merambat dari kaki Salim, menuju ke atas tubuhnya. Menindih, pria itu kembali mencekik Salim dengan kedua matanya yang cidera. Salim benar-benar tak habis pikir, pria yang ada di depannya ini sama sekali tak mengenal rasa sakit, terus menyerangnya meski cedera yang dialaminya semakin parah.

Satu tangan Salim yang bebas, meraba benda apa pun di tanah. Kemudian, ia pun menemukan sebuah benda bulat yang keras, berukuran besar. Salim menggenggam benda itu, memukul pria kepala pria tua itu.

Duk!

"Edan!" Pria tua itu sama sekali tak bereaksi, padahal benturan yang Salim lakukan menghasilkan luka yang cukup parah di kepalanya. Kini, Salim mulai kehabisan energi dan juga napasnya. Pandangan mulai menjadi kabur. Sebentar lagi, ia akan kehilangan kesadarannya. Salim pikir, semua ini akan berakhir, perjuangannya selesai, ia akan mati di tangan pria tua di hadapannya.

Yang tak Salim ketahui di sini, manusia akan melakukan apa saja ketika nyawanya terancam, tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Itulah yang Salim lakukan saat salah satu tangannya dengan refleks menarik gagang pedang yang ada punggung, lantas menancapkan pedang itu tepat di leher target.

Jleb!

Salim mendelik, tak percaya dengan apa yang ia buat. Salim pun menarik kembali pedang tersebut, membuat darah mengucur deras, membasahi wajah Salim dan sekitarnya. Teriakan yang tertahan terlontar dari mulut Salim.

Pria tua itu mematung sekejap, menghentikan tindakannya. Salim yang merasa jika cengkeraman kuat di lehernya mulai mengendur, langsung mendorong tubuh pria itu menggunakan kakinya hingga pria itu terpental jauh. Salim tak menyangka jika dorongannya itu membuat tubuh pria tua itu terjatuh ke dalam sungai, mengeluarkan bunyi dentuman yang keras.

Mati ... pria tua itu sudah mati, satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas nyawanya adalah Salim. Setelah kejadian ini, Salim mungkin akan merasa bersalah seumur hidupnya. Pria gondrong itu kembali bangkit, berjalan menuju ke tepian sungai, melihat keadaan di bawah sana.

Diam membisu, seluruh tubuh Salim bergetar hebat. Tak dirasakan olehnya aliran air mata yang mulai menetes, disamarkan oleh air hujan. Di umurnya yang telah menginjak angka dua puluh empat, akhirnya Salim merasakan bagaimana rasanya menghabisi nyawa orang lain. Kecewa, marah, takut, semua itu bercampur menjadi satu.

"Ngapurone ... ngapurone ... ngapurone ...." (Maaf.)

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang