Bab 23

345 36 17
                                    

"Ayo, Jar, cepet ...!!!"

Sepeda BMX itu melaju kencang, menembus angin yang datang dari arah berlawanan, membuntuti kendaraan putih dengan lampu sirine yang ada di atasnya. Dua anak itu tak pernah mengalihkan fokus kepada benda itu.

Beberapa meter berhasil mereka tempuh. Kini, kecepatan mobil ambulans yang ada di depan melambat, memancarkan cahaya merah dari arah lampu belakang. Danan dan Fajar semakin bingung, apalagi ketika mereka melihat rumah Pak RT berdiri kokoh di sana.

Faktanya, kedua anak itu bukanlah pengunjung pertama, melainkan urutan ke sekian di antara para warga yang telah berkumpul di sana. Suasana sangat ramai, dengan asumsi-asumsi yang terlontar dari setiap mulut orang.

"Ono opo, yo, Jar? Kok, rame nemen," ungkap Danan akan rasa penasarannya.

"Iyo, Jar, sopo seng loro, nganti ono ambulans juga."

Bersamaan dengan dialog yang berlangsung, sepasang mata mereka menangkap beberapa petugas yang baru saja masuk ke dalam rumah, lantas kembali keluar dengan menggotong tubuh Pak RT yang lemas tak berdaya. Pemandangan itu membuat Danan dan Fajar sangat tercengang. Apa yang baru saja terjadi?

"Graaarghhh ...!!!"

Belum selesai akan pertanyaan sebelumnya, gema jeritan berasal dari dalam rumah. Danan dan Fajar segera menyusup, melewati puluhan orang yang menyesaki teras rumah. Berhasil dengan usahanya itu, Danan dan Fajar menyaksikan sendiri, teman dari Indi yang tengah ditahan oleh beberapa warga, meronta-ronta kesakitan ketika Pak Samad membacakan doa-doa khusus untuk dirinya.

Danan merasa jika apa yang ia lihat bukanlah Hanni, melainkan makhluk lain yang menghuni raganya. Seketika ingatan Danan berputar, menjalankan kembali memori saat Lastri berperilaku sama persis dengan apa yang Hanni lakukan sekarang. Danan hanya bisa terpaku, menatap lurus ke depan sana.

"Jar, mbak-mbak kae kenopo, yo? Kok, kelakuan e ngeri nemen." Danan hanya menggelengkan kepala, menanggapi ucapan dari Fajar. Lambat laun, tubuh Hanni melemas, lalu ambruk di atas tanah. Para warga yang menahannya, segera membawa Hanni untuk ikut dimasukkan ke dalam ambulans, melihat kondisi leher Hanni yang memprihatinkan.

Hanya satu pertanyaan yang mengganjal di otaknya. Meski begitu, pertanyaan itu sangatlah sulit untuk dijawab. Danan merasa jika firasat buruk terus mengintai dirinya akhir-akhir ini, membuat tidurnya tak pernah tenang, belum lagi tentang mimpi-mimpi dan kuda putih itu. Danan merasa, ada sebuah benang merah yang tersambung antara misteri yang satu dengan misteri yang lainnya. Misteri-misteri itu menciptakan minat di dalam diri Danan, untuk mencari tahu lebih jauh lagi.

Satu tempat langsung terbesit di otaknya. Sebuah tempat yang mungkin saja masih menyimpan sejarah lama di desa ini, tempat yang paling dibenci oleh Danan. Namun, kali ini, Danan berusaha untuk menepis semua itu demi mengobati rasa penasarannya.

Perpustakaan

***

"Bapak arep rengdi, Pak?" (Bapak mau ke mana, Pak?). Seorang gadis berusia tujuh belas tahun itu memasang ekspresi bingung, melihat sang bapak yang mengemasi semua pakaian ke dalam koper, hendak meninggalkan rumahnya di pagi hari esok.

Pak Samad menoleh, menyadari jika putri semata wayangnya itu tengah memperhatikannya sedari tadi. Pria paruh baya itu tersenyum, mengusap pipi Nayla dengan lembut. "Bapak arep lungo reng umah e koncone Bapak, nginep. Nayla wani, 'kan, nang umah dewe?"

Nayla tak memberi jawaban. Sebaliknya, gadis itu malah diam, sama sekali tak menanggapi ucapan Pak Samad. Tampaknya, hal itu juga disadari oleh Pak Samad sendiri. "Kenopo, Nayla?" Pak Samad mengusap-usap kepala Nayla, berusaha menenangkannya. Dari gerak-gerik putrinya itu, Pak Samad bisa mendeteksi adanya rasa gelisah di dalam hatinya.

"N-Nayla ... Nayla wedi, Pak ...."

"Nayla ...." Pak Samad meminta agar putrinya itu duduk di sampingnya. Hanya dari isyarat tangan, Nayla langsung menuruti apa yang diperintahkan oleh Pak Samad. "Nayla ora usah wedi. Bapak pernah ngomong, wedi iku karo Gusti Allah seng nyiptakke kabeh alam iki. Paham, 'kan, Nduk?"

Meski masih merasa gelisah, Nayla mengangguk paham, membuat sang bapak tersenyum bangga kepada dirinya. Namun, ada satu pertanyaan lagi yang ingin Nayla sampaikan. "Tumben Bapak nginep? Ono opo, Pak?" Pertanyaan itu membuat Pak Samad terdiam sejenak, memikirkan kata-kata apa yang harus ia berikan untuk menjawabnya.

Pak Samad memutar otaknya lebih dalam lagi. "Ah, Bapak ... Bapak ono urusan karo koncone Bapak. Dadi ... Bapak bakalan nginep nang kono sedino." Jawaban Pak Samad tentu tak membuat Nayla puas. Sebaliknya, Nayla malah semakin penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh sang bapak di sana.

Di sisi lain, Pak Samad tak mungkin bercerita kepada anaknya tentang urusannya dengan gurunya, yakni seorang kakek-kakek berusia lebih dari tujuh puluh tahun, yang berjasa dalam menuntut Pak Samad untuk mendapatkan ilmu yang sekarang ia punya.

Tentu saja, Pak Samad juga merasakan ada yang aneh di desa tempat ia tinggal, dimulai dari Lastri yang menghilang di hutan dan Hanni yang kesurupan akibat pergi ke hutan pada saat magrib. Keduanya mengalami nasib yang sama. Pak Samad yakin, ini bukanlah sebuah kebetulan, ada sesuatu yang jahat, menjadi dalang di balik semua kengerian yang terjadi.

Merasa belum cukup ilmu, Pak Samad berencana untuk menghubungi sang guru, meminta bantuan kepada beliau untuk mengatasi masalah yang ada di desanya. Namun, sayangnya Pak Samad harus menempuh perjalanan yang cukup panjang untuk sampai di pondok milik gurunya itu.

Meski di zaman ini, ada banyak cara untuk menghubungi beliau. Namun, Pak Samad memilih untuk menemuinya langsung dikarenakan cara itu adalah cara yang paling sopan menurutnya. Oleh karena itulah, Pak Samad memilih untuk pergi esok hari, bersamaan dengan terbitnya baskara, ia akan berangkat ke terminal yang ada di kota.

"Urusan opo, Pak?" Lamunan Pak Samad buyar, ia segera memusatkan perhatian ke putrinya kembali.

"Nayla ora perlu reti, yo, Nduk, ben iki dadi urusan e Bapak." Pak Samad melihat ke arah jam dinding kamarnya yang telah menunjukkan pukul sebelas malam hari. "Wes, saiki Nayla reng kamar, wes bengi, mengko Nayla sholat subuh e kawanen."

Sebenarnya, Nayla masih ingin menanyakan banyak hal kepada bapaknya. Namun, ia merasa jika Pak Samad menyembunyikan sesuatu darinya, ada hal yang tak ingin diketahui oleh putrinya. Apa boleh buat, Nayla hanya bisa menurut. Tak lama kemudian, ia pun beranjak dari ranjang, berjalan menuju ke kamarnya sendiri. Sementara itu, Pak Samad melanjutkan kembali kegiatannya.

"Astagfirullah ...." Pak Samad menatap lurus ke jendela kamarnya, menyaksikan Lastri yang tengah menempelkan kedua telapak tangannya di kaca, tersenyum lebar ke arah dirinya. Mulut gadis itu berkomat-kamit. Anehnya, suara yang dihasilkan seolah menggema di dekat telinga Pak Samad.

"Kabeh uwes telat, gerbang iku wes dibuka. Koe-koe kabeh bakal mati ...."

Pak Samad segera mengusap-usap sepasang matanya. Dalam sekejap, bayangan Lastri hilang begitu saja dari pandangan, menyisakan pemandangan gelapnya malam yang ada di lingkungan sekitar. Pak Samad segera berjalan menuju ke dekat jendela, lantas langsung menyibak gorden yang lupa ia tutup. Tak lupa, sebuah gumaman terlontar dari mulutnya.

"Sak cerdik-cerdik e koe ganggu warga nang deso iki, eling, Gusti Allah tetep bakalan ngei perlindungan karo wong-wong seng beriman."

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang