Bab 37

176 29 4
                                    

"Nasib e Pak Sada sak terus e pie, Mbah?" (Nasibnya Pak Sada seterusnya bagaimana, Mbah?)

Tak terasa, satu jam telah berlalu. Mendengarkan kisah yang disampaikan, membuat Danan merasa seperti masuk ke dalam cerita tersebut. Anak itu terus berandai-andai, membayangkan bagaimana situasi yang dialami Pak Sada waktu itu.

Walaupun cerita telah selesai dibacakan, Danan masih menabung pertanyaan untuk ia lontarkan di akhir. Namun, raut wajah Danan berubah menjadi murung, melihat Nenek Wastri yang menggelengkan kepalanya, pertanda jika ia tak mempunyai jawaban dari pertanyaan Danan.

"Mbah ora reti, Nang. Cuma iku tok cerito sing Mbah reti ...," (Mbah tidak tahu, Nak. Hanya itu saja cerita yang Mbah tahu ....) balas Nenek Wastri singkat.

"Kabeh cerito iku ... kenopo Mbah biso reti?" (Semua cerita itu ... kenapa Mbah bisa tahu?) Penasaran akan asal kisah menarik yang pernah terjadi di desanya, membuat Danan bertanya-tanya lagi.

Nenek Wastri mengangkat kepalanya ke atas, tengah mengingat-ingat sesuatu. "Buku ... Mbah reti kabeh iku dek buku sing pernah ono nang perpustakaan balai deso. Mbah ora sempet moco kabeh e, tapi ... mungkin sak iki buku iku ora ono nang kono," (Buku ... Mbah tahu semua itu dari buku yang pernah ada di perpustakaan balai desa. Mbah tidak sempat membaca semuanya, tapi ... mungkin sekarang buku itu tidak ada di sana.) jelas Nenek Wastri singkat.

Danan seperti tak asing dengan buku yang dimaksud. Tiba-tiba saja memorinya berputar akan usahanya bersama Fajar untuk mencari benda itu di perpustakaan. Mungkin saja buku yang Nenek Wastri maksud adalah buku yang sama dengan yang ia cari. "Emang e judul bukune opo, Mbah?" Danan meminta Nenek Wastri untuk menjelaskan secara detail tentang buku itu.

Nenek Wastri kembali berpikir keras. Dengan usianya yang telah renta, memori yang tersimpan di dalam kepalanya mulai melemah. Butuh waktu beberapa menit hingga wanita paruh baya itu melebarkan mata, menemukan jawaban dari anak itu. "Petoko Getih lan Padi." (Perkara Darah dan Padi.)

Anak laki-laki itu mengernyitkan dahi, merasa asing dengan judul buku yang disebutkan. Selama pencariannya di dalam perpustakaan kala itu, Danan tak menemukan judul buku yang dimaksud. Bisa saja apa yang diucapkan Nenek Wastri benar, jika buku itu mungkin saja tak lagi berada di sana.

Apa alasan buku itu menghilang? Apakah ada yang mengambilnya? Atau memang sengaja disembunyikan karena itu merupakan rahasia kelam desa?

Danan mulai berandai-andai. Jika saja buku itu berada di tangannya, semua jawaban yang diidamkan pasti akan terkabul, tentang siapa itu Aswasada, orang misterius yang disebutkan menunggangi kuda putih yang selalu Danan lihat, iblis yang menjadi dalang utama di balik kekacauan ini, bagaimana cara menghentikannya, dan masih banyak lagi misteri yang belum tersibak.

Tak lupa, Danan sempat mendengar nama sebuah benda, yakni Ajapamerta, satu-satunya benda yang bisa mengalahkan iblis itu. Semuanya masih abu-abu, malahan misteri yang Danan dapatkan semakin banyak. Tak disangka, tempat kelahirannya ini menimbun tragedi kelam di masa lalu yang terulang kembali.

"Bu ...."

Danan terperanjat, menghampiri Fajar yang masih terbaring di kamar. Kondisi sahabatnya itu semakin memprihatinkan. Anak itu terus saja memanggil nama ibunya. Kulit di sekujur tubuhnya mulai pucat akibat banyaknya darah yang keluar dari dalam tubuh. Danan menggenggam erat tangan sahabatnya itu, merasa iba dengannya yang terus saja mengingau, memanggil nama ibunya.

"Tenang, Jar, tenang, ono aku nang kene," ucap Danan, memberi semangat kepada sahabatnya itu. Apa yang dirasakan Fajar sangat dipahami oleh Danan. Jika saja ibunya tak berada di luar desa pun, tak ada bedanya Danan dengan Fajar. Saat kekacauan besar terjadi di tempat tinggalnya, masih ada secuil rasa bersyukur di hati Danan karena tak ada satu pun keluarganya yang masih menetap di desa.

"Salim, kenopo koe gowo tas?" Di sisi lain, Nenek Wastri tak sengaja memergoki Salim yang tengah memasukkan beberapa benda di tasnya.

Salim menoleh sesaat, sebelum melanjutkan kegiatannya kembali. "Salim pak metu dek umah, Bu. Salim pengin nolong wong-wong sing iseh waras nang njobo kono," (Salim mau keluar dari rumah, Bu. Salim ingin menyelamatkan orang-orang yang masih waras.) jawabnya singkat.

Nenek Wastri terkejut, dengan refleks mencengkeram kerah baju Salim, menghentikan kegiatannya itu. "Opo sing koe pikirke, Lim? Koe ora delok nang njobo kono, wong-wong edan iku ora segan-segan mateni wong. Metu kadi omah podo karo bunuh diri, Lim! Mbok ora setuju!" (Apa yang kamu pikirkan, Lim? Kamu tidak lihat di luar sana, orang-orang gila itu tidak segan-segan membunuh orang. Keluar dari sini sama saja dengan bunuh diri, Lim! Mbok tidak setuju!)

Salim menggeleng pelan, melepaskan cengkeraman tangan Nenek Wastri dengan lembut. Kemudian, pria itu menatap neneknya dengan penuh arti. "Salim reti, Mbok, opo sing Salim lakoni akeh resikone, tapi ... nek Salim ora metu, kabeh wong nang umah iki juga bakal mati, Mbok. Wong-wong edan iku bakal reti posisine dewe, cepet opo lambat. Tujuan e Salim metu iku dudu mung nolong wong tok, tapi Salim juga bakal delok kondisine njobo, ben biso nyusun strategi metu kadi deso iki," jelas Salim. (Salim tahu, Mbok, apa yang Salim lakukan banyak risikonya, tapi ... kalau Salim tidak keluar, semua orang yang ada di rumah ini juga akan mati, Mbok. Orang-orang gila itu bakal tahu posisi kita, cepat atau lambat. Tujuannya Salim keluar itu bukan hanya menolong orang saja, tapi Salim juga bakal melihat kondisi luar, supaya bisa menyusun strategi untuk keluar dari desa ini.)

Nenek Wastri masih kekeh dengan larangannya, menggelengkan kepala dengan cepat. "Simbok yakin, bakal ono sing nolong kene, Lim. Tolong, ojo adoh-adoh kadi Simbok, yo. Koe siji-sijine keluargane Simbok. Nek ora ono koe, Simbok due sopo maneh, Lim?" (Simbok yakin, akan ada yang menolong kita, Lim. Tolong, jangan jauh-jauh dari Simbok. Kamu satu-satunya keluarganya Simbok. Jika kamu tidak ada, Simbok punya siapa lagi, Lim?)Air mata mulai mengalir, membuat Salim memalingkan wajahnya, tak sanggup melihat momen haru ini.

Sayangnya, bukan Salim namanya jika harus mengurungkan niat hanya karena perasaan orang lain. Jika menurutnya sesuatu itu harus dilakukan, tak akan ada yang bisa menghalanginya. Salim memeluk neneknya dengan erat, lalu menatapnya dengan tajam. Tatapannya beralih ke sebuah benda yang terganti di dalam kamarnya.

Salim melepaskan pelukannya, lalu berjalan ke arah benda itu. Tepat ketika ia berada di depannya, Salim membalikkan badan, menatap kembali neneknya itu. "Pas Salim iseh cilik, almarhum Abah pernah cerito karo Salim, suatu saat, deso iki bakalan keno musibah gede." (Waktu Salim masih kecil, almarhum Abah pernah cerita dengan Salim, suatu saat, desa ini akan terkena musibah besar.) Salim mulai membagi kisah, saat ia dan kakeknya tengah berada di teras rumah pada waktu itu. Samar-samar, bayangan masa kecil terpampang dengan jelas dalam pandangannya.

"Abah ngei pesen, nek Salim ngalami dewe musibah iku, Salim kudu bantu wong-wong sing selamet, opo bae kondisine. Salim kudu berjuang, demi wong-wong sing butuh pertolongan e Salim. Nek misal Salim kudu mati pun, Salim bangga, Salim mati nang kondisi terhormat, daripada mati pas ora ngelakoni opo-opo. Dadi ...." (Abah memberi pesan, jika Salim mengalami sendiri musibah itu, Salim harus membantu orang-orang yang selamat, apa pun kondisinya. Salim harus berjuang, demi orang-orang yang butuh pertolongannya Salim. Kalau misal Salim harus mari pun, Salim bangga, Salim mati dalam kondisi terhormat, daripada mati waktu tidak melakukan apa-apa. Jadi ....)

Diambilnya senjata yang tergantung itu, sebuah pedang kuno peninggalan kakeknya, memiliki ukiran Aksara Jawa di bagian gagang serta tutupnya. Salim membawa pedang itu di punggung, lalu mendekati Nenek Wastri yang masih terpaku.

Pria berambut gondrong itu mendekatkan bibirnya di kuping sang nenek, membisikkan sebuah kalimat yang mampu membuat hati Nenek Wastri bergetar. "Tolong, Mbok, Salim cuma pengin nepati janjine Salim karo Abah. Sak iki, Salim juga janji karo Simbok, Salim bakalan gowo Simbok metu kadi deso iki. Salim janji, Mbok, Salim janji." (Tolong, Mbok, Salim hanya ingin menepati janji Salim kepada Abah. Sekarang, Salim juga janji sama Simbok, Salim akan membawa Simbok keluar dari desa ini. Salim janji, Mbok, Salim janji.)

"Salim jaluk dongone, yo, Mbok. Salim pamit." (Salim minta doanya, ya, Mbok. Salim pamit.) Masih tak percaya dengan semua ini. Seolah terkena sihir, rasa khawatir yang ada di hati Nenek Wastri lenyap dalam sekejap. Setelah menyalami cucunya itu, Nenek Wastri terus menatap punggung Salim yang berjalan ke arah pintu belakang. Tepat setelah pria itu keluar, Salim menoleh ke arah neneknya, menyunggingkan senyuman khas miliknya. Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi derit pintu yang tertutup.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang