Bab 32

265 27 6
                                    

"Pie, wes mendingan?" (Bagaimana, sudah mendingan?) Walaupun masih menampakkan raut wajah sakit, tak urung anak itu mengangguk, memberi jawaban jika keadaannya sudah membaik. Beruntungnya, Salim memberikan pertolongan yang tepat kepada anak itu. Dengan begitu, darah yang semula mengalir deras, kini bisa berhenti.

"Iki, obat e dumbe, ben nyerine ilang." (Ini, obatnya diminum, biar nyerinya hilang) Salim memberikan segelas air putih, dengan sebuah obat pil parasetamol kepada Fajar. "Nek wes awakmu turu, istirahat sek," sambungnya. (Kalau sudah kamu tidur, istirahat dulu)

Dengan aura pucat yang masih terpancar di wajah, Fajar menggeleng pelan, dengan tatapannya yang kosong, seolah tengah memikirkan sesuatu. "Ibuku, Mas, ibuku ...." gumamnya.

Salim menghela napas, merasa kasihan dengan Fajar. Paham akan apa yang dirasakan olehnya. Ada banyak manusia tak waras berkeliaran di luar sana, yang benar-benar kehilangan akal sehat, tak mengenal dosa, rasa sakit, takut, bisa kapan saja membunuh tanpa rasa kemanusiaan.

Seberat apa pun rasa kantuk, Fajar tak akan tertidur selama belum mengetahui kabar dari sang ibu. Salim mengusap pundak, memberikan senyuman menenangkan. "Wes, seng tenang. Mas yakin, ibumu biso selamet," ucap Salim dengan lembut. (Sudah, yang tenang. Mas yakin, ibu kamu bisa selamat)

Sementara itu, Danan tak berkutik, melihat temannya yang terluka akibat melindunginya dari serangan warga yang sudah menjadi gila itu. Sama dengan sang sahabat, Danan hanya diam membisu, tubuhnya tak pernah berhenti bergetar. Api kecil yang menyala di atas sumbu menjadi arah pandangannya saat ini, tetapi tidak dengan fokusnya.

Begitu banyak gambaran mengerikan yang berputar di otaknya. Walaupun berada di dalam rumah, Danan mampu merasakan rasa sakit hanya dengan mendengarkan suara-suara jeritan yang tak pernah bosan menggema. Kurun waktu beberapa menit, suara itu terdengar, lalu hilang dalam sekejap. Hal itu terus berulang hingga membuat Danan muak.

"Ibu ... Bapak ...."

Dari arah belakang, sebuah tangan lembut yang keriput akibat dimakan usia, merangkulnya. Danan menoleh, mendapati Nenek Wastri yang duduk di sampingnya, lantas memeluknya dengan erat. Entah kenapa, di dalam dekapan wanita tua itu, perasaan Danan menjadi sedikit lebih lega, meski rasa takut masih menguasai hatinya. Dejavu, Danan ingat akan pelukan neneknya di kala beliau masih hidup.

"Kabeh perkoro nang dunyo iki, mesti ono sebab akibat e." (Semua masalah di dunia ini, pasti ada sebab akibatnya) Danan melepaskan pelukan Nenek Wastri dengan pelan, lantas menatap sepasang mata wanita tua itu dengan penuh tanda tanya. Nenek Wastri hanya mengembuskan napas, seolah ingin menjelaskan akan suatu hal kepada Danan.

"Nek misal e wong-wong nang deso iki ora tau bersekutu karo demit, kejadian iki ora bakal muncul," (Kalau orang-orang di desa ini tidak pernah bersekutu dengan demit, kejadian ini tidak bakal muncul) sambung Nenek Wastri dengan singkat. Tentu saja, Danan sama sekali belum mendapatkan jawaban yang ia mau.

"Maksud e opo, Mbah?" Tak kuat menopang rasa penasaran, pada akhirnya bibir Danan berucap.

"Nang, opo seng koe delok nang ngarep kae, wong-wong seng ora waras, iku jiwone uwes dikuasai demit," (Nak, apa yang kamu lihat di depan itu, orang-orang yang tidak waras, itu jiwanya sudah dikuasai demit) jelas Nenek Wastri dengan lebih lanjut. Danan semakin menfokuskan pendengarannya, menyimak cerita dari Nenek Wastri dengan serius. "Kenopo biso kejadian? Soal e, demit-demit lan para menungso seng urip nang nduwur tanah iki, pernah gawe perjanjian kanggo suatu kepentingan." (Kenapa bisa kejadian? Soalnya, demit-demit dan para manusia yang hidup di atas tanah ini, pernah membuat perjanjian untuk suatu kepentingan)

"Kepentingan ... opo, Mbah?" potong Danan.

Nenek Wastri hanya tersenyum. "Rungokno sek, Nang, Mbah durung rampung cerito." (Dengarkan dulu, Nak, Nenek belum selesai cerita.) Mendengar teguran darinya, Danan segera mengangguk. "Zaman mbien, warga deso iki pernah ngalami masa-masa paceklik seng berlangsung pirang-pirang tahun. Iku kabeh nyebabke para petani gagal panen, banyu mulai surut. Kabeh warga sengsoro waktu iku, tapi ... iku kabeh berubah drastis, mulai kadi kejadian nang wayah wengi." (Zaman dulu, warga desa ini pernah mengalami masa-masa sulit yang berlangsung beberapa tahun. Itu semua menyenangkan para petani gagal panen, air mulai surut. Seluruh warga sengsara waktu itu, tapi ... itu semua berubah drastis, dimulai dari kejadian di waktu malam.)

"Ono salah sijine warga seng nyulik cah cilik kadi kampung sebelah, terus cah cilik iku ...." (Ada salah satu warga yang menculik anak kecil dari kampung sebelah, lalu anak kecil itu ....)

"Dibakar."

***

Puluhan tahun yang lalu ....

Adzan magrib telah berkumandang dari beberapa menit yang lalu. Namun, tak ada salah satu pun warga yang tiba di tempat suci ini, melaksanakan kewajibannya kepada sang pencipta. Satu-satunya yang ada di tempat itu hanyalah seorang pria paruh baya, yang masih setia menunggu para jamaahnya yang berkurang setiap harinya. Kini, tak ada satu pun yang hadir di depan mata.

Terpaksa, pria bernama Sada itu berdiri dari duduknya, mengumandangkan iqamah sebagai penanda jika salat magrib segera dilaksanakan. Pak Sada mengelus dadanya, merasa sesak karena tak ada satu pun yang berdiri di belakangnya saat ini. Namun, tak urung pria itu tetap melaksanakan salat, dimulai dari menggemakan suara takbir, berharap ada yang mengikutinya di tengah-tengah salat.

Sayangnya, hingga kewajibannya terlaksana, tak ada satu pun yang mengunjungi tempat ini. Baru kali ini, Pak Sada pulang dari langgar dalam keadaan bersedih, merasa sangat kecewa kepada semua warga yang ada di desanya. Entah apa yang menutupi hati mereka untuk beribadah.

Merasa muak, Pak Sada mengalihkan arah jalannya, menuju ke rumah kepala desa. Pak Sada ingin melaporkan semua masalah ini kepada pemimpin di desanya tersebut, berharap kepala desa bisa membantunya untuk mengatasi masalah ini.

Setelah menempuh perjalanan singkat, akhirnya pria itu tiba di rumah sang kepala desa. Namun, Pak Sada mendapati jika rumah itu tengah ramai, dilihat dari siluet orang-orang dari jendela yang tertutup gorden. Aneh, hal yang ada di dalam benak Pak Sada. Jika saja rumah itu kedatangan tamu, mengapa pintu rumah ditutup?

Pak Sada yang penasaran, berjalan mendekati sembari meneriakkan salam. Bising obrolan seketika tergantikan oleh keheningan, membuat Pak Sada merasa heran. Tak ada satu pun orang yang membalas salamnya, hingga pada akhirnya salah seorang membuka pintu rumah, ternyata itu adalah Pak Jalu, seorang kepala desa.

"Eh, Pak Sada. Ono keperluan opo, Pak, wayah wengi koyo iki?" (Eh, Pak Sada. Ada keperluan apa, Pak, waktu malam begini?) tanya Pak Jalu tanpa basa-basi.

Pak Sada mengernyitkan dahi, merasa ada yang janggal di sini, seolah sesuatu tengah disembunyikan darinya. "Iki, Pak, kulo
... kulo arep dongengan karo panjenengan. Masalah penting, iki, Pak," (Ini, Pak, saya ... saya mau berbicara sama anda. Masalah penting ini, Pak) ucap Pak Sada. Namun, di luar ekspektasi, Pak Jalu menggeleng, menandakan jika ia tak menyanggupi permintaan dari salah satu warganya.

"Ngapunten, Pak, kulo iseh akeh tamu, dadi Pak Sada biso mulai sesok bae, yo," (Maaf, Pak, saya masih banyak tamu, jadi Pak Sada bisa mulai besok saja, ya) tolak Pak Jalu dengan halus. Sekali lagi, Pak Sada merasakan hal yang tak beres di sini. Namun, apa boleh buat, ia tak bisa membujuk Pak Jalu, meski telah dicoba berkali-kali. Pada akhirnya, Pak Sada pun mengalah, berbalik arah dan berjalan ke arah rumahnya dengan perasaan sedih.

Baru saja sepuluh langkah berjalan, tiba-tiba saja Pak Sada segera berbalik kembali, berlari kencang ke arah pintu rumah Pak Jalu, mendobrak pintu itu yang ternyata telah terkunci. "Pak, buka, Pak! Ono opo nang njero kono?! Pak ...!!!!" (Pak, buka, Pak! Ada apa di dalam situ! Pak ...!!!!)

Tak salah lagi, jeritan penuh ketakutan itu berasal dari rumah ini, membuat semangat Pak Sada semakin berkobar dalam menendang-nendang pintu dengan tenaga maksimal.

Brak!

Jantung Pak Sada berdetak dengan kencang, seluruh tubuhnya menjadi lemas. Kini, semua firasat yang ia rasakan benar. "Astagfirullah ...." Pak Sada menatap Pak Jalu penuh arti, begitu juga dengan warga-warga lain yang ada di sana. Kemudian, tatapan Pak Sada teralihkan ke arah seorang gadis cilik, dengan seluruh tubuhnya yang terikat dengan tali dan mulut yang disumpal dengan kain.

Tatapan penuh harap dipancarkan dari sepasang mata mungilnya. Pak Sada mengedarkan pandangannya ke sekitar, lantas menfokuskan pandangannya ke sebuah titik.

Deg!

Tepat di salah salah genggaman tangan seorang warga, ditentengnya jirigen yang berisikan minyak tanah. Kedua kalinya Pak Sada mengucap istighfar, sebelum ia menerjang ke arah kerumunan itu, sembari mengumpat dengan penuh amarah.

"SETAN KOE-KOE KABEH!!!!!"

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang