"Sama sekali gak ada jawaban, La?" Indi bertanya dengan aura kekhawatiran yang lekat. Hampir setengah jam lamanya beralih menatap layar ponsel, lawan bicarannya itu hanya menggeleng pelan, membuat seluruh badan Indi bertambah lemas. "Duh ..., ke mana itu anak, padahal azan magrib udah selesai. Apa perlu kita jemput aja, La?" usulnya kemudian.
"Biar Bapak yang susul." Pak RT menyela pembicaraan tanpa pamit. "Hari sudah malam, bahaya kalau kalian berdua pergi, apalagi kalian perempuan. Ini biar menjadi tugas laki-laki saja," jelas Pak RT, masih tak mengalihkan wajah kecewanya. "Lagipula, kenapa kalian malah biarin teman kalian pergi sendiri, sih? Udah tahu mau pergi ke sawah, tempatnya jauh dari rumah ini, ditambah udah magrib, kalau kayak gini, semua jadi panik, 'kan."
Lala dan Indi tak berani menatap mata pria dewasa yang ada di hadapan mereka. Namun, pancaran amarah dapat mereka rasakan dari deru napas yang terdengar, seolah Pak RT menjadi ikut cemas jika saja terjadi sesuatu yang buruk terhadap Hanni.
Setelah melewati beberapa menit yang canggung, akhirnya Indi memberanikan diri untuk membuka mulut. "K-kita minta maaf, Pak. Indi ... Indi sama Lala gak tahu kalau ini bakal kejadian, jadi ... jadi kami membiarkan Hanni pergi sendiri ...."
"I-iya, Om." Lala menyambung kalimat Indi. "S-sebenarnya, saya udah menawarkan itu sama Hanni, tapi ... Hanni malah langsung pergi tanpa dengerin kata-kata saya, mungkin dia udah terlanjur panik. Beberapa foto dokumentasi dan audio wawancara ada di ponsel dia. Kalau ponsel itu hilang, semua yang udah kita kerjakan akan sia-sia. Saya rasa itu yang ada di kepala teman saya itu."
Pak RT hanya menarik napas kasar, mencoba meredam semua yang ingin ia ledakkan. Baru saja dirinya hendak membuka mulut kembali, tiba-tiba terdengar langkah kaki yang berasal dari depan pintu, semakin dekat di setiap detiknya. Kemudian, langkah itu berhenti, bersamaan dengan knop yang berputar.
Kriet ...!
Suara yang begitu menggema menarik perhatian semua orang yang tengah duduk melingkar di sebuah meja makan. Semua mata tertuju kepada gadis yang berdiri di ambang pintu. Dengan tatapan kosong yang mengarah lurus ke arah mereka semua, gadis itu berjalan perlahan, lalu menduduki salah satu kursi yang tak berpenghuni.
Tarikan napas lega terdengar, raut wajah tegang yang semua menghiasi, luntur dalam sekejap. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, orang yang baru saja berpisah telah kembali. "Syukurlah ..., untung lo balik lagi, Han. Gue kira lo lupa jalan pulang, mana hari udah gelap lagi," ucap Lala.
"Kita udah panik banget tahu, Han, takut kalau kamu kenapa-napa ...," sambung Indi. Kini, suasana di ruang makan kembali normal.
Namun, kejanggalan yang baru, mulai dirasakan oleh semuanya. Satu per satu kening berkerut, menatap aneh ke arah gadis yang baru saja datang, langsung meraih semua lauk yang ada, lantas memasukkannya ke dalam mulut dengan sangat rakus. Melihat hal yang mengejutkan, Lala, menepuk pundak Hanni dengan keras, menegurnya dengan nada tinggi.
"Heh, gak sopan banget, sih! Tadi masuk rumah gak pakai salam, ini juga langsung main sikat aja. Lo waras gak sih, Han!" Lala menahan tangan Hanni, mencoba mencegahnya agar tak berbuat tidak senonoh. "Han, lo gak dengerin gue ... akh!!!"
Semuanya terperanjat dari tempat duduk masing-masing, tercengang melihat apa yang dilakukan Hanni terhadap Lala. Gadis itu mencengkeram kuat rambut pendek miliknya, lalu membentur-benturkan kepala Lala ke arah meja dengan brutal, membuat beberapa piring dan gelas yang ada di atasnya pecah.
Dengan sigap, Indi yang memiliki jarak terdekat di antara keduanya langsung menarik Lala dari cengkeraman maut Hanni. Siapa sangka, tenaga Hanni benar-benar tak tertandingi. Tarik-menarik pun terjadi, dengan Lala sebagai hadiah jika memenangkan kompetisi tersebut. "Hanni! Lo udah gila, ya?!" seru Indi. Suasana ricuh mulai terjadi, suara jeritan kedua gadis itu mengisi ruangan yang semula sunyi.
Pak RT mengamati sekitarnya, berusaha mencari-cari benda yang bisa digunakan untuk menyelesaikan itu. Terlihat dari gerak-gerik Indi yang kewalahan, Pak RT yakin jika cengkeraman itu memiliki tenaga yang tak main-main, sangat tak mungkin dilepaskan dengan tangan kosong. Sebagai gantinya, sebuah gunting digunakan olehnya untuk memotong rambut milik Lala. Pak RT langsung meraih benda itu, lalu bersiap siaga untuk memulai aksinya.
"AKH ..!!!"
Lala jatuh tersungkur, mengejang kesakitan sembari memegangi kepalanya yang mulai dialiri darah segar di area yang tak berambut, yang tersisa hanyalah titik-titik kecil, bekas akar rambut yang kini menjadi tempat jalannya cairan merah itu.
Sial, bahkan Pak RT sama sekali tak berbuat apa pun. Selama sepersekian detik, kepalanya berusaha mencerna apa yang terjadi. Ketika pandangannya terhenti di salah satu tangan Hanni yang mulai dipenuhi dengan rambut-rambut hitam, akhirnya jawaban atas rasa penasaran yang sebelumnya pun terjawab.
Sekumpulan helai rambut itu berhasil tercabut.
Seluruh bulu kuduk bergetar, membayangkan rasa sakit yang luar biasa tengah dialami oleh Lala. Hanni mengalihkan pandangannya ke arah Indi, mengambil ancang-ancang untuk menerjang gadis itu. "Trah Aswasada ...!!!" Pak RT meraih salah satu kursi, memukulnya ke tubuh Hanni yang berniat menyerang putrinya.
Bunyi benturan yang amat keras terdengar, bersamaan dengan hancurnya kursi yang sempat dilayangkan. Namun, semua ini tak selesai dengan mudah. Di luar dugaan, Hanni masih sanggup menopang kedua kakinya, berdiri tegap dengan tatapannya yang semakin menajam, berapi-api. Kini, target selanjutnya ialah Pak RT.
Bug!
Sebuah tendangan dilancarkan, tepat mengenai perut Hanni. Gadis itu terpental agak jauh, dengan air liur yang mulai menyembur dari mulutnya. Sebelum gadis itu kembali menyerang, entah dari mana ibu Indi menerjang dari arah samping dengan sebuah tali tambang yang ia bawa dari gudang. "Ayo, Pak!"
Pak RT berlari mendekati keduanya, membantu mengikatkan tali itu ke tubuh Hanni yang meronta-ronta hebat, memukul ke sembarang arah. Hal itu membuat Pak RT dan istrinya kewalahan. Usaha yang tak main-main, dalam sekejap menjadi sia-sia ketika Hanni dengan entengnya melepaskan diri dari ikatan tali tambang itu, merobohkan kedua tubuh yang megerubunginya.
Hanni mengamati sekitar dengan pupil matanya yang mengecil, lalu ia tertarik untuk mengambil sebuah benda yang terjatuh di atas lantai. Hanni lalu menatap kedua orang tua Indi dengan wajah semringah, mengarahkan gunting itu. Dalam sekejap, atmosfer di sekitar menjadi begitu mencekam. Hanni mulai melangkahkan kakinya mendekat. "MATI ...!!!!"
"Pak!!!"
"Bu ... argh!!!" Sebuah tusukan area perut didapatkan oleh Pak RT ketika ia melindungi istrinya yang diincar oleh Hanni. "Argh ...."
Mendengar ringkihan kesakitan yang terlontar, membuat Hanni tertawa terbahak-bahak. Kemudian, gadis itu mencabut gunting yang tertancap, menjilat darah-darah yang menempel di sana. Sementara itu, ibu Indi tak berhenti menangisi suaminya yang terbaring tak berdaya, dengan tubuhnya yang mulai melemas.
Hanni kembali mengangkat gunting yang telah bersih, bersiap menodainya kembali. Tak tinggal diam, Indi yang mulai terbakar emosi, menyaksikan keluarganya teraniaya, menerjang sekuat tenaga ke arah Hanni, mendorong tubuhnya hingga kepala Hanni membentur tembok dengan kuat, menggemakan bunyi tulang leher yang patah.
"Setan koe ...!!!!"
Tak peduli dengan hal itu, Indi duduk bersila di hadapan sang bapak, memeluknya dengan erat. Kini, tubuh pria paruh baya itu mulai dingin, tak menutup kemungkinan jika serangan tadi mengenai organ vitalnya. "Bapak ...."
Pak RT hanya bisa pasrah tak berdaya. Dengan tenaga yang masih tersisa, pria itu mengelus pipi sang anak sembari menitikkan air matanya. "M-maafin Ba-Bapak ..., maaf ...."
"Indi, mburimu ...!!!!!" Jeritan sang ibu berhasil mengacaukan momen haru yang tengah berlangsung. Dengan cepat, Indi menoleh ke arah yang ditunjuk. Sepasang matanya melebar, tak percaya dengan pemandangan yang baru ia lihat di seumur hidupnya. Cerminan dari iris mata Indi berhasil menangkap sesosok gadis yang berdiri dengan lehernya yang patah dan sebagian wajahnya yang luka parah, tengah menodongkan senjata pamungkasnya.
"Trah Aswasada ... kudu mati ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)
HorrorRank 1 in #horror (23 - 10 - 2023) Rank 1 in #horor (15 - 02 - 2023) "Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Suara itu meraung-raung hingga terdengar oleh satu penduduk desa. Para warga sontak berkumpul untuk mengobati rasa penasaran akan...