Bab 10

869 78 0
                                    

Pagi ini, tepat jarum pendek di jam menunjukkan angka enam, para warga telah bersiap untuk mengebumikan jenazah Pak Joko. Putih dan hitam menjadi warna utama yang menghiasi perjalanan mereka, seolah duka yang sangat mendalam dapat mereka rasakan. Tak heran, Pak Joko merupakan orang yang paling berarti di antara para warga. Beliau terkenal dengan kebaikan dan kejujurannya. Karena itulah rasa kepercayaan orang-orang terhadap dirinya sangat besar.

Dilihat dari atas, ratusan orang yang berjalan beriringan itu bagaikan semut yang sedang mencari tempat berteduh. Di tengah-tengah mereka, terpampang sebuah benda berwarna hijau pekat, dengan tulisan Bahasa Arab yang ada di samping serta untaian bunga yang disampirkan di sana. Ada empat orang yang memegangi setiap sisi di benda tersebut, membuatnya dapat bergerak mengikuti iringan.

Suasana alam turut mendukung duka yang beraksi dengan caranya sendiri. Cahaya matahari tampak redup, terhalangi oleh awam hitam yang masih saja menampakkan diri. Semilir angin tak berhenti berembus, membuat dedaunan menari-nari, mengikuti alunan suci yang dilontarkan berkali-kali oleh setiap orang. Embun-embun itu berjatuhan, beberapa mengenai tubuh yang ada di bawahnya. Kanan kiri jalanan masih dipenuhi genangan danau kecil, mengingat baru saja tadi malam bumi membersihkan dirinya.

Sampailah perjalanan itu di tempat masa depan semua orang. Diletakkannya ranjang terakhir tersebut di samping galian tanah yang memiliki kedalaman yang pas untuk menanam jasad. Tampak kain-kain kafan yang membungkus tubuh kaku itu, seusai penutup hijau dibuka. Tiga orang yang dipilih turun ke dasar, yakni Adi, Pak RT, dan satu orang warga lainnya. Beberapa yang di atas liang membopong almarhum Pak Joko untuk diserahkan kepada orang-orang di bawah sana. Sebelum itu, mereka sempat melepaskan beberapa tali yang mengikat tubuhnya.

Tubuh yang tak bernyawa itu berhasil berpindah tangan. Dengan sangat hati-hati, dibaringkannya tubuh itu ke atas tanah yang telah disediakan sebuah bantal khusus, terbuat dari gundukan tanah kecil. "Pelan-pelan," ucap Pak RT yang turut beraksi dalam proses tersebut. Akhirnya, jenazah Pak Joko berhasil dibaringkan.

Tak lupa beberapa tanah yang telah dibentuk bundaran-bundaran-penyangga-itu diletakkan di punggung almarhum yang kini tertidur menghadap kiblat. Selanjutnya, beberapa papan penutup telah siap. Pak RT mengambil beberapa papan untuk menutupi tubuh jenazah di bagian kepala. Namun, ada suatu hal yang membuat kegiatannya terhenti.

"Sebentar, Pak." Pak RT kembali mendekatkan diri, meraih sebuah tali putih yang masih mengikat di sana, mungkin saja lupa untuk dilepaskan. Sedikit sulit, mengingat saat ini Pak RT berada di liang lahat, membuatnya tak bebas bergerak, apalagi hanya membungkuk untuk melepaskan tali itu. Namun, atas semua usaha yang dilakukan, akhirnya Pak RT berhasil. Sebelum memalingkan total wajahnya, di ujung matanya, Pak RT seperti melihat sebuah keanehan. Penasaran, Pak RT pun kembali menolehkan kepalanya ke arah sana.

Dan apa yang dilihatnya sungguh di luar dugaan.

"Astaghfirullah!!!" Mematung sejenak, Pak RT mundur beberapa langkah, langsung menutup matanya dengan ekspresi ketakutan.

"Ada apa, Pak?" Adi, orang yang pertama kali menyadari hal itu lantas bertanya. Pak RT sontak menggelengkan kepala, mengibas-kibaskan telapak tangannya.

"Gak apa-apa, kaki saya cuma digigit semut," ucapnya dengan sigap. Tak mungkin jika ia mengatakan hal yang sebenarnya kepada putra dari almarhum itu. Selain karena tak enak hati, ia sendiri juga masih tak percaya dengan pemandangan mengerikan yang baru saja dilihat. "Sudah, lanjutkan saja."

Meski hati masih tak puas dengan jawaban itu, Adi memilih untuk tak menggali lebih dalam lagi. Prosesi pemakaman pun tetap berjalan sebagaimana mestinya. Syukurlah, tak ada orang lain yang sadar akan keterkejutan Pak RT selain Adi sendiri. Dengan begitu, tak ada yang tahu kejadian apa yang terjadi di dalam liang. Pastinya, bibir Pak RT tak akan pernah menceritakannya ke sembarang orang. Hal itu cukup untuk dipendamnya sendiri, membuat sebuah pertanyaan selalu saja menghantui pikirannya.

Apa arti dari penglihatan itu?

~~•~~

"Nan, kenopo yo Lastri meneng tok? Padahal mau kene wes takon macem-macem, tapi ora ono respons blas! Lastri ... koyo ora kenal dewe," (Nan, kenapa ya Lastri diam saja? Padahal tadi kita sudah tanya macam-macam, tapi tidak ada respons sama sekali! Lastri ... seperti tidak kenal kita) tanya bocah dengan tubuh gempal itu, sementara temannya masih sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri, membuatnya memandang kosong ke arah langit. "Danan!!!"

Suara lantang itu mampu membuyarkan lamunannya. Danan menoleh ke arah bocah gempal itu, berdecak kesal. "Aku yo gak tahu, Jar. Mungkin Lastri iseh trauma, durung biso dijak ngomong," (Aku saja tidak tahu, Jar. Mungkin Lastri masih trauma, belum bisa diajak bicara) jawab Danan asal, meski hatinya sendiri tak setuju dengan itu.

Danan kembali merenung, begitu pun dengan Fajar. Mereka berdua tak saling bicara, membuat suasana menjadi sunyi. Hingga akhirnya Danan kembali memecah itu semua. "Aneh." Sontak Fajar pun menoleh ke arah dirinya.

"Aneh pie, Nan?" (Aneh bagaimana, Nan?).

"Telong wulan, lho, Jar, Lastri ilang nang hutan. Tapi ... koe delok awak e Lastri, 'kan? Kenopo yo biso tetep bugar ngono, ora berubah dadi gering, padahal nang hutan ora ono panganan," (Tiga bulan, lho, Jar, Lastri hilang di hutan. Tapi ... kamu lihat tubuhnya Lastri, 'kan? Kenapa, ya, bisa tetap bugar begitu, tidak berubah jadi kurus, padahal di hutan tidak ada makanan) jelas Danan, mengutarakan semua isi pikirannya. "Selain iku, sikap e juga mendadak aneh, koyo wong linglung. Mau pas Lastri delok kene, mboh kenopo aku dadi merinding, medeni!" (Selain itu, sikapnya juga mendadak aneh, seperti orang linglung. Tadi waktu Lastri memandang kita, entah kenapa aku jadi merinding, menakutkan!) sambung kemudian.

Fajar memikirkan hal yang sama, mengangguk-angguk paham. Semua yang dikatakan oleh temannya itu memang benar. "Aku dadi makin yakin, Nan, nek Lastri iku diculik demit. Yo mboh, si, tapi nek dipikir-pikir, kabeh iku ora wajar!" (Aku jadi semakin yakin, Nan, kalau Lastri itu diculik setan. Entahlah, tapi kalau dipikir-pikir, semua ini tidak wajar!).

Berbeda dari yang sebelumnya, Danan tampak tak menyangkal apa yang diucapkan olehnya. Lambat laun, dirinya juga berpikiran hal yang sama, meski logika otak menolak hal tersebut. Namun, itu adalah satu-satunya alasan yang masuk akal untuk saat ini.

"Koe ... karo warga kampung dalam bahaya!"

"Nan, tolong selametke kabeh warga kampung. Cuma koe seng biso, Nan!"

Danan terperangah, suara itu seolah menggema di dalam pikirannya. Sekarang, ia teringat kembali dengan mimpinya semalam, ketika Lastri menghampiri dirinya untuk meminta tolong kepadanya. Namun, apa yang dikatakan olehnya tak bisa dimengerti sama sekali.

Tunggu ....

Mengingat semua kejadian yang terjadi pada hari ini, tentang semua keanehan dari tingkah laku Lastri, apakah semua ini ada hubungannya dengan mimpi tersebut? Terperangah untuk kedua kalinya. Danan bangkit berdiri, membuat Fajar menatapnya kebingungan. "Kenopo, Nan?"

Kini, jantungnya berdegup dengan kencang. Sebuah ketakutan besar ada di dalam hatinya. Apakah yang Lastri maksud itu ... benar-benar akan terjadi? Tapi bahaya apa yang ia maksud? Ataukah ....

"Jar!" Ditolehkannya kepala ke arah bocah gempal itu, menatap dengan sorot mata tajam, sangat serius. "Lastri seng nang kono, mungkin dudu Lastri seng asli."

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang