Semilir angin di pembatas transformasi cakrawala kian mencekam, seiring dengan langkah gadis itu yang semakin dalam, menyibak kegelapan yang mulai menyergap. Jutaan pikiran negatif tak bosan hinggap di kepalanya, seolah tempat itu merupakan yang ternyaman untuk disinggahi saat ini.
Ratusan langkah telah ditempuh olehnya. Namun, entah kenapa perjalanan petang ini sangat menyita waktu, seakan sedang berjalan lebih terlambat dari yang semestinya. Dari kejauhan, terlihat sebuah bangunan kecil yang berdiri di tengah-tengah ladang bibit, berdiri di antara kehitaman yang telah menginfeksi sebagian atap dunia.
Tak ada satu pun kehidupan di sana. Hanni sama sekali tak menangkap adanya sosok sejenis dengannya tengah singgah di bangunan itu. Hanya kekosongan yang dilihat, menciptakan kesimpulan dalam benak yang sangat meresahkan. Kini, Hanni benar-benar berada dalam kesendirian.
"Duh, untung gak ilang." Sebuah benda pipih yang tergeletak di bangunan kecil itu digenggam olehnya. Hanni mengetuk layar ponselnya dua kali, sebuah cahaya tercipta dari sana. Lirikan mata Hanni mengarah ke pojok kanan atas, memeriksa sisa daya yang tengah dimiliki. "Mana baterai tinggal lima persen lagi," sambungnya.
"Nduk ...."
Seluruh tubuh Hanni menegang, seiring dengan jantungnya yang mencelus, seolah hampir saja keluar dari tempatnya. Hanni berdiri mematung, membelakangi gubuk yang baru saja ia lihat sepersekian detik yang lalu. Namun, baru saja dirinya berbalik untuk kembali menuju rumah, tiba-tiba saja suara itu menggema di telinganya.
Hanni berani bersumpah bahwa ia sama sekali tak melihat orang di sana. Oleh karena itulah, ia masih tak bisa memastikan suara apa yang baru saja tertangkap oleh indera pendengarannya. Mencoba berpikir positif, Hanni menarik napas dalam-dalam, menarik perspektif jika itu hanyalah khayalan semata.
"Nduk ...."
Deg! Deg! Deg!
Kini, Hanni sangat-sangat yakin jika ada seseorang di belakangnya. Tepat setelah ia melangkahkan kaki kembali, suara yang sama terdengar. Sebenarnya, Hanni sama sekali tak memiliki secuil niat pun untuk menoleh ke arah sumber suara. Namun, entah kenapa kendali atas tubuhnya tak bisa ia kuasai, membuat kepalanya menoleh dengan pelan.
Apa yang Hanni lihat sungguh membuat raganya bergetar hebat. Di sana, tampak sesosok wanita paruh baya yang tengah menatapnya dengan mata kosong, sembari melayangkan senyuman lebarnya. Nenek itu mengenakan baju kebaya dengan kain jarit yang dipadukan olehnya. Rambut putih panjang menjulur hingga ke atas lutut, membuat sebagian wajahnya tertutupi.
"Lungguh kene, Nduk, simbah kangen mbek awakmu ... khi-khi-khi-khi ...."
"IBU ...!!!" Tanpa basa-basi, Hanni segera melancarkan jurus seribu kaki yang ia punya. Dengan penampakan yang ia lihat, Hanni yakin bahwa itu bukanlah manusia, ia berani jamin. Mengingat betul bentuk wajahnya yang keriput serta senyumannya yang mengerikan, menambah kecepatan lari miliknya, tak peduli segelap apa lingkungan di sekitarnya saat ini.
Hanni berlari tanpa arah, tak sadar jika jalan menuju ke kampung ada di sebaliknya. Ketakutan telah menguasai dirinya. Samar-samar di sepanjang pelariannya, suara tawa nenek itu masih terdengar di belakang, seolah mengikuti setiap langkah yang ia pijak.
Ketika rasa lelah mulai menggerayangi, Hanni memperlambat lajunya. Suara tawa itu telah sirna, bersamaan dengan bunyi-bunyian binatang Sawa yang saling bersahut-sahutan, puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Merasa aman, Hanni mencoba memastikan kembali, menoleh ke arah belakang. Sayangnya, apa yang diperkirakan olehnya melesat jauh, tak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Hanni menganga lebar, sepasang matanya melotot hebat bak bertemu dengan malaikat mautnya sendiri. Posisi kepalanya mendongak ke atas, menyaksikan nenek yang ada di gubuk tadi melayang-layang dengan kepalanya yang berputar-putar 360 derajat secara berulang-ulang. Melihat hal itu, jeritan keras terlontar dari mulutnya.
Lelah yang ia rasakan lenyap seketika, Hanni kembali memacu pergerakannya, menuju ke sebuah kampung yang mulai terlihat di depan. Namun, itu dalam segi penglihatannya saja. Kenyataan, yang sedang ia tuju merupakan sebuah tempat yang menyimpan segudang cerita mengerikan dari para warga di sana.
Hutan
Sesampainya di ambang kampung, Hanni mulai merasa lega, apalagi dari kejauhan dirinya bisa melihat para warga yang tengah berkumpul. "Pak, Bu ...." Mereka yang tengah berjalan beriringan, memberhentikan langkahnya, seolah sadar dengan kehadiran Hanni. Namun, orang-orang itu tak langsung menoleh, melainkan mematung sejenak. "T-tolong, P-Pak, Bu! S-saya ... saya dikejar ... dikejar se-setan!"
Diam tak bergeming, itulah yang dilakukan para warga itu. Hanni mengernyitkan dahi, merasa ada yang aneh begitu ia sampai di sini. Benar saja, Hanni sangat terkejut melihat rumah-rumah di kampung ini memiliki bentuk dan warna yang sama, berjejer tak seperti biasanya, melainkan tersusun dengan sangat acak, melayang di udara dengan pondasi yang digunakan bukanlah tanah. Hanni kembali menolehkan fokusnya ke arah semula.
Kemudian, pun terjatuh dengan tubuh gemetar hebat.
Orang-orang itu menatap ke arahnya dengan kosong. Bukan hanya tatapannya saja yang kosong, melainkan sepasang organ berbentuk bulat yang mereka punya telah tiada di tempatnya, tergantikan oleh saluran darah dengan bau amis yang menyengat. Orang-orang itu berjalan mendekat ke arah Hanni, mengacungkan jari telunjuk mereka masing-masing.
"Raga ...!!!!!"
Tanpa basa-basi, Hanni segera bangkit berdiri dengan sisa-sisa energi yang dimilikinya. Hanni berbalik ke arah jalan menuju ke sawah tadi. Namun, sayangnya yang ia lihat di baliknya hanyalah rumah-rumah warga dengan bentuknya yang tak biasa. Hanni sama sekali tak menemukan adanya jalan yang ia lalui tadi.
Oleh karena itulah, Hanni memilih untuk berlari mengikuti instingnya, menuju ke sembarang arah yang ia sendiri pun tak tahu apa yang ada di ujungnya. Hanni terus berlari, tujuannya saat ini hanyalah menyelamatkan diri dari para makhluk yang mengejar dirinya.
Di tengah pelarian, langkah Hanni berhenti secara mendadak, hampir saja membuat tubuhnya terbanting ke depan. Nyalinya untuk terus maju semakin menciut, melihat sebuah kaki yang begitu besarnya, berdiri di hadapannya. Hanni mendongak pelan, menatap sang pemilik kaki tersebut.
Kali ini, energi Hanni benar-benar habis. Hanni tak lagi bisa menggerakkan tubuhnya, bahkan hanya sekadar mengucapkan beberapa doa lewat bibir. Makhluk besar itu menatap tajam Hanni dengan kedua matanya yang merah menyala, memiliki ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tubuh Hanni sendiri yang dianggap semut olehnya.
Makhluk itu menjulurkan lidah, sangat panjang hingga bisa mendekati titik di mata Hanni berada. Hanya butuh waktu lima detik saja hingga sebuah benda berlendir mengenai tubuh gadis malang itu, meninggalkan cairan-cairan yang masih menempel di sana, cairan dengan baunya yang sangat busuk. Hanni sama sekali tak bisa melawan.
Perlahan, gadis itu kembali menempel di atas tanah, dengan kepalanya yang tak pernah dialihkan dari makhluk besar yang ada di hadapannya. Kini, sekujur tubuhnya basah, akibat jilatan dari makhluk berbulu itu. Hanni berusaha menggerakkan bibirnya, ingin mengucapkan sebuah kata. Tubuhnya semakin melamas, bahkan sampai di sebuah titik di mana ia tak bisa lagi merasakan setiap saraf yang terhubung satu sama lain. Di akhir perjuangan, akhirnya gadis itu berhasil membisikkan sebuah kata.
"T-to-tolong ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)
TerrorRank 1 in #horror (23 - 10 - 2023) Rank 1 in #horor (15 - 02 - 2023) "Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Suara itu meraung-raung hingga terdengar oleh satu penduduk desa. Para warga sontak berkumpul untuk mengobati rasa penasaran akan...