Bab 4

1K 87 8
                                    

Beberapa saat sebelumnya ....

"Nan, Pak RT karo seng liyane do nangdi, yo? Kok, ketok e sepi banget i." (Nan, Pak RT sama yang lain pada ke mana, ya? Kok, kayaknya sepi banget) Fajar menggenggam tangan temannya itu, membuatnya sedikit risih.

"Yo gak tahu aku! Ck, ora usah cekelan ngunu lho, suker aku!" (Aku tidak tahu! Ck, tidak usah pegangan kayak gini, risi aku!) Danan menepis kasar tangan gempal itu, membuat Fajar meringis. Mereka berjalan sangat pelan, di antara semak-semak hutan yang tumbuh hingga lutut. Dua cahaya senter itu tak henti-hentinya menerangi sekitar, menyoroti setiap suara atau gerakan yang muncul tanpa diduga-duga.

Waspada, hal yang selalu mereka lakukan, takut bilamana ada hewan buas atau melata yang menghalangi jalan. "Nan, bali yo, firasatku ora enak iki." (Nan, pulang, yuk, firasatku tidak enak) Lagi-lagi tubuh gemuk itu menempel pada Danan. Di dalam suasana yang mencekam ini, Danan harus menghadapi dua hal, yakni ketakutannya sendiri dan rasa risinya terhadap Fajar.

"Lanang kok wedinan! Banci!" (Laki-laki kok penakut! Banci!) ejek Danan.

"Lho, yo gak ngono, Nan!" (Tidak begitu juga, Nan) Fajar membantah, tak terima dengan apa yang dikatakan olehnya. "Mabak Jenmet yo banci, tapi ora wedinan i, malahan tau gebuki maling loro nang umah e Mbak Yayuk nganti babak belur," (Mabak Jenmet juga banci, tapi tidak penakut, malah pernah memukuli dua maling di rumahnya Mbak Yayuk sampai babak belur) jelas Fajar berbisik.

"Nek dudu banci, terus opo?" (Kalau bukan banci, terus apa?) tanya Danan kembali, menanggapi ucapan temannya itu. Pandangannya tak pernah luput dari jalan setapak yang sedang mereka lalui sembari mengirimkan cahaya senter ke sana.

"W–waria."

Sekian kali, Danan memukul punggu Fajar. "Podo bae, Jar! Waria, wanita pria, ngunu be ora reti, padahal sekolah!" (Sama saja, Jar! Waria, wanita pria, gitu aja tidak tahu, padahal sekolah!).

"He-he-he ... maaf, Bu Guru ora tahu ngajari." (Maaf, Bu Guru tidak mengajari) Fajar meringis, menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Danan mengembuskan napas kasar, tak tahan melihat kelakuan darinya. Mereka terus melanjutkan perjalanan pencarian Lastri. Meski sempat tak mendapat izin, ide yang Danan berikanlah yang pada akhirnya membuat mereka berdua tiba di dalam hutan ini secara diam-diam.

Suasana menjadi sunyi kembali. Tak ada di antara mereka berdua yang membuka mulut. Namun, beberapa menit kemudian, akhirnya Danan memutuskan untuk memecah keheningan. "Jar."

"Dalem." Fajar menolehkan pandangannya.

"Mabak kui opo?" (Mabak itu apa?) tanyanya tiba-tiba, teringat dengan ucapan Fajar tadi.

"Oh ... Mabak, singkatan Mas karo Mbak. Reti dewe lah, jenis kelamin Mas Slamet sing ora jelas kae, kadang koyo cah wadon, kadang metu lanang e. Daripada diundang Mas tapi jengkel, padahal ono gundukan nang celonone, mending diundang Mabak," (Oh ... Mabak, singkatan Mas dan Mbak. Tahu sendiri, 'kan, jenis kelamin Mas Slamet yang tidak jelas itu, terkadang seperti perempuan, terkadang laki-laki. Daripada dipanggil Mas tapi marah, padahal ada tonjolan di celananya, lebih baik dipanggil mabak) jelas Fajar. Danan mengangguk paham. Meski begitu, sebenarnya ia tak memiliki minat apa pun tentang pertanyaan itu.

"Terus, Jenmet?" Sekali lagi bertanya.

"Jenny Slamet."

Danan terkekeh geli. Meski begitu, ia berusaha keras untuk menahan tawanya agar tak menyembur. Mau bagaimana pun, menanggapi hal yang lucu di tempat yang mengerikan adalah hal yang tak bisa Danan lakukan.

"Jar." Kedua kalinya, Fajar mengalihkan fokusnya ke arah Danan. Bocah di depannya ini memasang wajah heran.

"Kok, aneh, yo? Sepine hutan iki bedo banget, keroso gak?" (Kok, aneh, ya? Sunyinya hutan ini beda sekali, kerasa tidak?) tanya Danan. Fajar kebingungan, tak mengerti tentang apa yang berusaha Danan sampaikan.

"Maksud e, Jar?"

"Iyo, biasane hutan nek sepi iku, minimal ono suara binatang, mboh jangkrik atau opo lah, ora sepi-sepi banget. Nek ini ... koyo kuburan i." (Iya, biasanya hutan kalau sunyi itu, minimal ada suara binatang, entah jangkrik atau yang lainnya, tidak terlalu sunyi. Kalau ini ... seperti kuburan) Menggantung ucapannya. Fajar memasang wajah ngeri, paham dengan keadaan yang sedang mereka alami.

"Iyo, Nan, aku ora krungu ono suara hewan nang kene blass. Kenopo yo, Nan, firasatku tambah ora apik." (Iya, Nan, aku tidak dengar ada suara hewan sama sekali di sini. Kenapa, ya, Nan, firasatku tambah buruk) Fajar menelan ludah berat, mengawasi sekelilingnya. Ia merasa jika sedari tadi ada yang sedang mengawasi mereka berdua, terasa dari tengkuknya yang sangat tak nyaman. Beberapa kali Fajar menoleh ke belakang, memastikan tiada siapa pun yang ada di sana. Rasa kegelisahan kian membesar di dalam hatinya.

Tak berselang lama, langit mendentumkan bunyi petir disertai kilatan yang menganggetkan. Danan dan Fajar, serentak mengalihkan pandangan mereka ke atas, terlihat langit yang mulai dikuasai awan gelap. "Jar, kene luru tempat neduh sek, yo, arep udan gede iki!" (Jar, kita cari tempat berteduh dulu, yuk, mau hujan lebat ini) ucap Danan mengkomando, langsung mendapat anggukan dari Fajar.

Mereka berlari, mencari tempat berlindung dari jajahan air angkasa. Namun, tak kunjung menemukannya juga. "Nan, iku!" tunjuk Fajar, ke sebuah lubang yang ada di batang pohon paling bawah. Tanpa pikir panjang, Danan memimpin berjalan untuk menuju ke tempat tersebut. Tepat setelah kedua kaki mereka menginjak ambang pintu lubang, satu lagi petir menyambar dengan amat keras, membuat kedua anak itu menutupi kuping masing-masing. Bersamaan dengan itu, akhirnya jutaan air pun turun dari atas langit, mengenai pepohonan yang ada di hutan itu.

Udara bertiup kencang, suasana semakin mengerikan. Danan dan Fajar tak pernah berhenti mengucapkan doa di dalam hati, memohon agar diberikan perlindungan. Tak urung saat ini ketakutan mereka bertambah besar. Wajar, berada di tengah hutan dengan cuaca yang ekstrem merupakan hal yang sangat mendebarkan.

"Jar." Danan memanggil, wajahnya tampak serius kali ini.

"Opo?" sahut anak gendut itu, menatap heran.

"Koe ... krungu gak?" (Kamu dengar tidak) Danan mengangkat jari telunjuknya, pandangannya mengarah ke tempat acak, berusaha menfokuskan pendengarannya.

"Opo?! Wes, ah, ojo medeni terus, aku wes wedi iki!" (Apa?! Sudah, ah, jangan menakuti terus, aku sudah takut) Fajar merengek, sangat ketakutan.

"Stt ...! Rungokno!" (Dengarkan!) Danan meletakkan jari telunjuknya ke mulut wajar, agar suasana menjadi hening. Awalnya, suara hujan yang beradu dengan tanah terdengar dengan deras, membuat suara lain yang ada di sekitarnya menjadi samar-samar, termasuk dengan suara percakapan Danan. Namun, setelah menfokuskan pendengaran dengan baik, akhirnya seluruh bulu kuduk Fajar meremang, bergetar.

"Aaaa ....!"

Mereka berdua terperangah, melihat satu sama lain. Seperti telepati, keduanya sama-sama paham tanpa menjelaskan sesuatu lagi. "Lastri?!" seru serentak. Danan menuju ke ambang lubang, mengamati sekitar. Suara itu sangat jauh, membuatnya terdengar sangat pelan. Namun, Danan yakin bahwa itu adalah suara Lastri.

Tak memedulikan hujan lebat yang menerpa hutan, Danan melangkahkan kaki, hendak keluar dari lubang itu. Namun, Fajar lebih dulu menahan tangannya, menatap Danan dengar raut wajah ngeri. "Nan, ojo-ojo iku cuma akalan e demit. Koyone dudu Lastri, Nan, ojo ...." (Nan, jangan-jangan itu hanya tipuan setan. Sepertinya bukan Lastri, Nan, jangan ....).

Ditepisnya tangan itu. "Ngomong opo koe, Jar! Jelas-jelas iku suara Lastri. Nek misal Lastri kenopo-kenopo pie? Wes, aku tak ngejar suara iku!" (Bicara apa kamu, Jar! Jelas-jelas itu suara Lastri. Kalau misal Lastri kenapa-kenapa bagaimana? Sudah, aku mau mengejar suara itu!) Tanpa basa-basi, Danan mengambil ancang-ancang untuk berlari. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti akibat cengkeraman tangan Fajar.

"Jar, cukup! Nek misal e koe ora melu, kene bae, ben aku golek dewe!" (Jar, cukup! Kalau misal kamu tidak mau ikut, di sini saja, biar aku yang cari sendiri) Kali ini suasana menjadi hening. Tak ada jawaban yang terlontar dari mulut wajar. Sebaliknya, terdengar suara seperti tercekat.

"Jar?" Danan berucap. Tak juga mendapat respons, dirinya pun berbalik. Hal pertama yang dilihatnya adalah sebuah tangan berbulu lebat yang sedang mencengkeramnya itu. Perlahan, sorot mata Danan mengamati tangan itu hingga ke tubuh pemiliknya.

Makhluk berbulu itu, menatap Danan dengan senyuman yang terukir di bibirnya, memamerkan taring-taring tajam miliknya. Kedua bundaran merah pekat itu memelototinya, membuat tubuh Danan bergetar hebat.

"J–J–J–Jar ...."

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang