Bab 25

368 36 6
                                    

"Kenopo, sih, Nan, koe seneng dedekke aku isin?!" (Kenapa, sih, Nan, kamu suka membuat aku malu?!) Berkali-kali Fajar menjitak kepala temannya itu. Namun, Danan sama sekali tak membalas perbuatannya itu. Sebaliknya, Danan hanya terkekeh, merasa lucu dengan apa yang baru saja terjadi. "Malah guyu!" (Malah tertawa) Kini, Fajar menjitak kepala Danan dengan lebih keras lagi.

"Andai koe ora ngejak i reng balai deso, kejadian iki ora bakal dialami kene. Nek dipikir-pikir, percuma juga, kene ora entuk opo-opo, seng koe pengin ora ono nang kono, Nan. Reti koyo iki, aku ora bakal nuruti koe, mending mancing luwih awal," (Andai kamu tidak mengajak ke balai desa, kejadian ini tidak akan dialami kia. Kalau dipikir-pikir, percuma juga, kita tidak dapat apa-apa, yang kamu cari tidak ada di sana. Tahu kayak gini, aku tidak bakal menuruti kamu, lebih baik mancing lebih awal) sambung Fajar, masih terus mengomeli.

"Wes, ah, ora usah dipikir. Toh, juga mau wes tak jelaske kronologi seng sebener e. Soal buku sejarah, mungkin wes dibuang nek ora disimpen mboh nangdi. Seng jelas, wes ora ono nang kunu," (Sudah, ah, tidak usah dipikirkan. Toh, juga tadi sudah aku jelaskan kronologi yang sebenarnya. Soal buku sejarah, mungkin sudah dibuang atau disimpan entah di mana. Yang jelas, sudah tidak ada di situ lagi) jelas Danan, sama sekali tak mampu meredakan Fajar, seorang anak yang selalu saja naik pitam ketika ada di dekatnya. "Nek dipikir nganggo logika, ora mungkin juga Danan seng gagah koyo iki, doyan lanangan, opo maneh wujud e bunder gede, koyo buto ... aduh!"

"Ora lucu, Nan, ora lucu! Nek misale mas-mas kae lapor karo wong tuone kene, pie? Duh ...! Aku durung siap diusir kadi keluarga, Nan, opo maneh diusir mergo ketahuan skandal lanangan!" Tawa Danan menyembur, bersamaan dengan butiran air liur yang keluar dari mulutnya.

Sebelum Fajar kembali berkomentar, Danan lebih dulu menarik tuas rem sepeda, menghentikan mereka berdua tepat di hadapan jembatan desa, jalur satu-satunya untuk memasuki Desa Guyub Makmur. Jembatan itu masih terbuat dari rangkaian bambu yang dipasang, memiliki lebar yang bisa menjadi jalur masuk bagi kendaraan roda empat, kecuali yang bermuatan terlalu berat, tentunya.

Untuk kekokohan jembatan itu tersebut tak perlu diragukan lagi. Bertahun-tahun lamanya jembatan itu berdiri, menjadi jalan penyambung bagi warga desa untuk mengakses dunia luar. Namun, tak pernah sekalipun ambruk, diterjang banjir sungai sekali pun.

Ngomong-ngomong soal banjir, di bawah jembatan tersebut terdapat sebuah sungai yang agak lebar, mengalir mengelilingi desa hingga ke belakang hutan yang ada di ujung sawah. Di tempat itulah, Danan dan Fajar kerap mencari kesenangan. Dengan hobi mereka, yakni memancing, mereka berdua sanggup menghabiskan berjam-jam lamanya hanya untuk memandangi arus sungai.

"Ayo, Jar, seng cepet sitik, lho, ojo lemes kokui." Danan berkomentar, memandangi Fajar yang sedang menuruni anak tangga untuk menuju ke bawah. Beberapa alat pancing yang dibawanya, beserta dengan postur tubuh, membuat perjalanan Fajar terhambat.

"Ora usah kakehan omong, luwih apik koe ngrewangi aku, lho!" (Tidak usah banyak bicara, lebih baik kamu membatu aku, lho!) balas Fajar dengan ketus. Namun, Danan menggelengkan kepala, menolaknya mentah-mentah. Bagi Danan, melihat Fajar menderita merupakan kesenangan tersendiri baginya. "Awas koe, Nan!"

Dua menit berlalu. Akhirnya, Fajar berhasil sampai ke tepian sungai, bersama dengan kucuran keringat yang keluar dari setiap pori-pori tubuh. "Aku yakin, Jar, koe biso dadi langsing nek setiap hari koyo iki." (Aku yakin, Jar, kamu bisa jadi langsing kalau setiap hari seperti ini.) Fajar menatap jengkel ke arah Danan, memalingkan wajahnya, mengalihkan fokus untuk menyiapkan alat-alat yang ia bawa. Kini, mereka berdua memulai kegiatan, diawali dengan Fajar yang lebih dulu melempar kail pancing ke tengah sungai, disusul oleh Danan.

Lima menit pertama, tak ada satu pun tanda-tanda akan sambaran ikan, berlanjut hingga lima belas menit ke depan, tali pancing milik Danan bergerak, seolah ada sesuatu yang menariknya dari dalam air. "Jar, aku oleh, Jar!" Dengan sigap, Danan membalas tarikan dengan kuat. Selama beberapa detik, Danan berhasil menduduki posisi lebih unggul di dalam pertandingan tarik-menarik dengan ikan.

Siapa sangka, mendadak tali pancingan milik Danan tertarik kembali begitu kuat, membuat tubuh Danan hampir saja terseret masuk ke dalam arus air yang bertambah deras. Danan berusaha menariknya kembali, tetapi pandangannya menangkap sesosok makhluk putih itu lagi. Seekor kuda putih yang kini berada di tepi seberang, menatapnya dengan penuh arti. Meski tak begitu yakin, Danan merasa jika itu adalah tatapan peringatan, tatapan yang meminta agar dirinya segera melarikan diri dari tempat itu.

"Lho, Nan, kenopo?!" Danan tak menjawab, sebaliknya, dengan refleks ia melepaskan pancingannya. Benda itu langsung lenyap di antara aliran air yang telah berubah warna menjadi kecokelatan.

Danan menoleh ke arah Fajar yang tak merasakan apa yang ia alami. Tentu saja, kail pancing Fajar masih belum tersambar, itu berarti tak ada beban yang ia tahan, membuat Fajar tak merasakan arus sungai yang semakin deras.

"JAR, BANJIR!"

Terlambat, kini sepasang kaki keduanya mulai merasakan air hangat yang menerpa. Tepian yang mereka pijak telah menjadi jalur lintasan benda cair itu, membuat pergerakan menjadi lebih lambat. Jangankan untuk berlari, berjalan saja sangat sulit dilakukan.

"JAR, CEPET, JAR!!!" Danan menyoraki temannya yang tertinggal di belakang, sementara air telah sampai di ketinggian yang setara dengan lutut mereka. Danan melihat ke sekelilingnya, tak ada lagi daratan, hanya ada ratusan sampah yang mengiringi jalannya air. Mengerikan.

"Aku reti, Nan, aku reti!!!" Dengan sekuat tenaga, Fajar menyusul posisi Danan. Kini, Fajar tak hanya berusaha untuk bergerak ke depan, melainkan menjaga keseimbangan tubuhnya yang mulai goyah. Jika terjatuh, bisa dipastikan tubuh Fajar akan langsung terseret. "DANAN!!!"

Fajar berteriak, sebelum tubuhnya terjerembab di sebuah lubang. Ia tak bisa melihatnya karena keruhnya air yang dilalui. Dengan panik, Danan menghampiri Fajar, mengabaikan posisinya yang hampir sampai ke tangga. Danan berlari, membuat cipratan air menyebar luas, dihiasi dengan suara percikan yang ramai. Tak peduli lagi dengan baju yang basah kuyup.

Tepat ketika tubuh Fajar mulai terseret, Danan dengan gesit meraih tangannya yang melambai, menariknya dengan sekuat tenaga. Dengan perbedaan berat badan antara keduanya, hal itu sangatlah sulit dilakukan. Namun, Danan masih terus berusaha, mengerahkan semua energinya sembari berteriak. Perlahan, tubuh Fajar kembali bergerak, mengikuti langkah Danan untuk maju ke depan sana.

Kini, aliran air sampai di ketinggian perut. Tubuh keduanya mulai mengambang. "Danan, aku ora pengin mati, Nan!"

"Meneng! Tenang, Jar, ojo ganggu konsentrasiku!" Jarak tangga sudah semakin dekat. Danan hanya perlu merentangkan tangannya ke depan, meraih bambu pembatas tangga itu. Danan meringis, energinya sudah semakin menipis. Terlalu fokus menggapai pembatas tangga, Danan tak sadar jika air yang lebih tinggi tengah mengarah ke titik di mana ia berada.

"DANAN!!!!!!" Sontak, Danan mengalihkan pandangannya. Di saat itu juga, kedua matanya terbelalak, melihat kematian yang sudah ada di depan matanya.

"Aaa ...!!!"

Byur!

Seketika suara jeritan itu menghilang, ditelan ketinggian air yang menenggelamkan keduanya. Tak ada yang tahu ke mana mereka pergi, begitu juga saksi mata yang tak hadir di sana. Hanya ada seekor kuda putih yang menatap iba, memandangi derasnya air sungai dengan harapan-harapan di matanya yang mulai runtuh.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang