Bab 41

252 30 2
                                    

"Tempat e iseh adoh, Mas?" (Tempatnya masih jauh, Mas?) Gadis itu mulai melontarkan pertanyaan, mewakili kejanggalan dalam hatinya akan perjalanan tak berujung di malam yang mencekam.

Lawan bicaranya hanya menoleh sesaat, lalu menfokuskan pandangannya kembali ke arah depan. "Sedilut, neh," (Sebentar lagi.) jawabnya singkat.

Nayla tak berbicara lagi. Gadis itu selalu menundukkan kepalanya, tak kuasa memandangi pemandangan mayat-mayat para warga yang telah gugur. Tak hanya itu, bau busuk yang selalu tercium.

Hanya satu harapan yang sangat dijunjung tinggi olehnya, yakni sampai di tempat tujuan yang pernah disinggung Adi. Namun, setiap langkah kaki yang menapak tanah, seolah menjadikan waktu berjalan lebih lambat.

Tetap saja, Nayla tak pernah mengeluh. Ia memilih untuk memendam semua perasaannya dan menyerahkan kepercayaan sepenuhnya kepada Adi.

"Mas, warga-warga sing edan iku nangdi? Kok, sepi banget." (Mas, warga-warga yang gila itu di mana? Kok, sepi banget.) Tiba-tiba saja Nayla mulai menyadari keanehan selama perjalanan. Rasanya sangat berbeda ketika ia berada di dalam kamarnya sendiri, membayangkan bahwa orang-orang gila itu berada di sekitar rumah dengan jumlahnya yang sangat banyak.

Ternyata itu semua tak sesuai dengan apa yang Nayla alami di sini. Jalanan desa yang menjadi jalur tempuh, tak memiliki halangan apa pun, semuanya berjalan lancar seperti tak terjadi apa-apa. Pertanyaan kembali berbuah di hatinya, sebagai orang yang berpikiran kritis.

Terdengar embusan napas dari pria di depannya. Adi hanya diam, tak menjawab apa yang Nayla tanyakan. Nayla pikir, Adi memilih untuk mengabaikannya dan meneruskan perjalanan mereka, menganggap pertanyaan dari Nayla bak angin yang berlalu.

"Mungkin warga-warga iku iseh mlaku areng suatu tempat ...." (Mungkin warga-warga itu masih berjalan ke suatu tempat ....) Adi menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, tak meneruskan kalimatnya yang sempat terlontar.

Melihat gelagat pria di depannya yang aneh, Nayla kembali kebingungan. Ia melenyapkan langkah kakinya, berharap bisa merasakan sesuatu yang Adi fokuskan.

Dalam keadaan yang sunyi, di antara suara rintikan air hujan yang lemah, terdengar suara hentakan kaki yang tak beraturan. Jumlahnya sangat banyak, menghasilkan gema yang mampu terdengar dari kejauhan.

Yang lebih mengerikannya lagi, suara itu tak berasal dari satu arah saja, melainkan dari berbagai arah, seolah tengah mengepung keberadaan mereka berdua. Kini, Nayla sangat ketakutan, tahu akan apa yang ia hadapi saat ini.

Mereka datang.

Entah semaksimal apa pun usaha untuk memunculkan api keberanian, semua itu akan sia-sia. Nyali Nayla terlanjur lenyap, menghantarkan alarm kepada sepasang mata untuk mengeluarkan cairan sendu. Bibirnya tak pernah berhenti meracau.

"Pie iki, Mas? Wong-wong kae teko, kene bakalan dipateni!" (Bagaimana ini, Mas? Orang-orang itu datang, kita akan dibunuh!) Ketenangan tak lagi dikenalnya. Nayla terus menatap punggung Adi dengan penuh harapan, menantikan solusi yang tepat dari pria itu.

Sayangnya, Adi sama sekali tak berkata apa pun, aura ketakutan pun tak terpancar darinya. Sebaliknya, pria itu terlihat begitu tenang.

Adi membalikkan badannya, menghadap Nayla. Ekspresi wajahnya mampu membuat Nayla menyesali keputusannya. Tak akan ada yang percaya, di tengah-tengah situasi yang menentukan hidup dan mati, seorang pria bertubuh tinggi itu tersenyum penuh kemenangan, seolah ini adalah hal yang sangat dinanti-nantikan olehnya.

"Mas, kenopo, Mas?!" Seiring langkah Adi yang maju, Nayla terus memundurkan langkahnya. Kini, nyawanya merasa sangat terancam. Entah apa yang terjadi kepada orang di hadapannya, yang pasti hati Nayla berkata jika ia harus lari sekarang juga.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang