Tak ada yang tahu kejadian apa yang menimpa Danan pada malam hari itu. Ada banyak misteri yang belum terpecahkan, menunggu untuk mendapatkan jawaban atas usaha dari sang pemilik pertanyaan itu sendiri. Namun, hingga saat ini anak itu masih belum bisa mencerna semua rasa penasaran yang kian membesar seiring berjalannya waktu
Sepulangnya dari rumah Lastri, Danan hanya bisa melamun, bahkan semua kalimat yang Fajar lontarkan sama sekali tidak digubris.Buktinya, kini sang pengendali sepeda tengah meneriakinya. "Nan! Sadar o! Danan ...!" Beberapa kali Fajar mengatakan hal itu. Namun, Danan hanya bisa melamun, menatap kosong jauh ke arah depan.
Merasa tak dihiraukan, sebuah ide muncul dalam benak Fajar. Mendadak sepeda yang mereka tumpangi berhenti mendadak, menyebabkan sebuah sentakan yang dirasakan oleh keduannya. "Astagfirullah ...!" Akhirnya, Danan mengucapkan sebuah kata pertamanya. Seluruh lamunannya buyar dalam sekejap.
"Saiki baru istigfar, mau-mau ngelamun koyo wong linglung," ucap Fajar dengan nada kesal. Danan hanya bisa menyengir.
"Sori, Jar, aku wes ngantuk iki, dadi ora biso fokus." Danan mejelaskan. Kini, sepeda mulai dikayuh kembali di bawah kendali Fajar. "Numpak e seng cepet sitik, aku wes ora sabar ketemu kasurku."
"Pancen kebo, padahal mau wes turu pas yasinan, iseh ngantuk?"Danan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Namane juga manusiawi, Jar, butuh waktu wolu jam ben awak e seger maneh. Mau aku sama sekali durung puas, turu cuma sepuluh menit tok," ungkap Danan. Ia sama sekali tak membeberkan apa yang sebenarnya terjadi kepadanya, takut bila mana Fajar menjadi kepikiran dan sulit untuk terpejam malam ini.
"Manusiawi, sih, manusiawi, Jar, tapi yo lain kali delok kondisi nek pak turu. Sebagai koncomu, aku seng isin!" Danan kembali terkekeh, lantas mengusap-usap pundak Fajar, nerusaha untuk meredakan emosinya.
"He-he-he ... sori, Jar, aku khilaf," balasnya. Fajar hanya diam, kini gilirannya untuk menghiraukan Danan. "Ojo nesu, lah, mengko aku traktir bakso seporsi, pie?" Fajar masih belum menjawab. Danan menggeleng pelan, terpaksa ia harus mengerahkan semua tawarannya. "Yowes, nek misal mie ayam bakso, es teh, gorengan, jajan, pie?"
Lama menunggu reaksi, tiba-tiba saja kepala Fajar menoleh sesaat ke belakang. "Deal, yo?" Danan menatap Fajar dengan malas. Ia lalu mengembuskan napasnya kasar.
"Pantes awak e lemu," gumam Danan. Fajar menyadari sesuatu yang terlontar dari mulutnya, langsung menyemprot Danan dengan pertanyaan tajam.
"Ngomong opo koe?"
Danan menjadi gugup, tak menyangka telinga Fajar mampu mendeteksi ucapannya. "Eh, anu ... maksudku oke! Mengko tak traktir secepet e," jelasnya. Tentu saja Danan harus mengatakan hal yang baik-baik di atas sepeda milik sahabatnya itu. Jika tidak, Danan bisa saja pulang dengan berjalan kaki.
"Oh ... oke-oke. Koe memang koncoku seng paling top!" puji Fajar. Danan hanya bisa menahan emosinya. Ingin sekali ia menarik kalimatnya kembali. Namun, apalah daya, ia terlanjur mengatakannya. Fajar akan membantainya habis-habisan jika ia melakukan hal itu. Jadi, Danan tak membuka mulut kembali selama perjalanan hingga sepeda Fajar terparkir di depan rumahnya.
***
Bumi terus berputar, megikuti rotasi yang telah ditentukan. Lambat laun, posisi bulan dalam menyinari gelapnya langit tergantikan oleh sinar terik baskara dalam menyinari atap yang berwarna biru. Dalam keadaan ini, itu beratri seluruh manusia harus memulai aktivitasnya kembali, mulai dari bekerja, mencari ilmu, atau menyelesaikan tugas-tugas lain.
Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh dua orang gadis dari kota itu. Mereka tengah berkutat pada kesibukannya masing-masing, ada yang tak pernah mengalihkan pandangannya dari laptop dan ada juga yang tak pernah bosan bertanya-tanya kepada para pengurus ladang sawah di desa tersebut. Semua ini mereka lakukan hanya demi tugas laporan kuliah yang tak lama lagi akan diserahkan kepada dosen.
Sejak pagi tadi, Lala dan Hanni berangkat ke sawah tanpa membawa satu lagi teman mereka karena kondisinya yang tak memungkinkannya untuk ikut. Awalnya, Indi keberatan dan memaksa tetap ikut. Namun, dua orang temannya itu terus saja menolak, ditambah lagi kedua orang tua Indi juga mendukung hal tersebut. Karena semua kontra itu, pada akhirnya Indi menyerah dan memutuskan untuk patuh terhadap perintah.
Lama waktu yang telah mereka habiskan untuk berada di tempat ini. Jika bukan karena angin sejuk yang terus berembus dengan pemandangan alam yang sangat indah, mereka pasti akan cepat jenuh. Semua itu membuat waktu yang berjalan seolah tak terasa, terutama bagi Lala, sang operator laptop, terlalu fokus hingga ia tak memperhatikan seorang wanita berumur lima puluh tahunan yang telah duduk di sampingnya, memperhatikan semua kegiatakn yang ia lakukan.
"Lagi ngapain, Nduk?" Sebuah kalimat membuatnya tersentak. Buru-buru Lala menatap sang pemilik suara. Yang ia lihat pertama kali ialah senyuman ramah yang terukir di sana. "Eh, ini ... lagi ngerjain tugas, Nek." Lala membalas keramahannya. Wanita tua itu mengangguk paham, tatapannya beralih ke arah layar laptop yang dipenuhi oleh deretan huruf-huruf yang berjejer rapi.
"Yang kamu tulis itu apa?" Nenek itu kembali melontarkan pertanyaan dengan Bahasa Indonesia miliknya yang masih medok. Lala menatap layar laptop dan nenek itu secara bergantian, sebelum menjawabnya.
"Oh, ini, Nek, saya dan teman saya lagi buat laporan tentang sawah di desa ini. Kata teman kami yang tinggal di sini, sawah di desa ini terkenal sangat subur, apalagi sering mengimpor berasnya ke luar desa karena saking bagusnya kualitas yang dimiliki. Jadi ... kami tertarik untuk membahasnya, Nek." Lala menjelaskan panjang lebar.
Sepertinya nenek itu langsung paham akan penjelasan yang disampaikan, terlihat dari anggukan kepalanya. "Begitu, ya ...." Nenek itu tersenyum penuh arti, menatap lekat-lekat Lala, membuat gadis itu merasa ada yang aneh. "Nduk, mau Nenek ceritakan sesuatu?"
Lala mengernyitkan dahi, tak paham dengan apa yang nenek itu maksud. "Cerita apa, Nek?"
Kembali disunggingkannya senyuman yang sebelumnya. "Puluhanan tahun yang lalu, desa ini sempat mengalami krisis pangan. Semua sawah yang kami miliki mengalami gagal panen akibat musim kemarau yang sangat panjang. Bukan hanya padi, melainkan juga tanaman-tanaman lainnya yang ada di atas tanah ini." Nenek tersebut mulai bercerita, Lala langsung memasang ekspresi serius.
"Karena musibah itu, banyak sekali orang kelaparan, mengingat pada zaman itu, mayoritas warga di desa itu mengais nafkah dari hasil panen. Beberapa orang ada yang sampai meninggal karena tak kuat dengan semua kondisi itu. Musibah berlangsung selama beberapa tahun, hingga sebuah keajaiban terjadi."
"Pada suatu malam, sekumpulan warga memergoki seorang pemuda yang membawa sebuah karung dengan isinya yang bergerak-gerak. Pemuda itu berjalan menuju ke hutan yang ada di sana." Nenek itu menunjuk hutan yang ada di penghujung jalan setapak sawah. "Para warga mengikutinya hingga pemuda itu tiba di tengah hutan, tepatnya di sebuah titik sakral. Tanpa diduga, pemuda itu membakar karung yang dibawanya dengan mantra-mantra asing yang ia lontarkan. Betapa terkejutnya para warga ketika karung itu terbakar habis, memperlihatkan bagian dalamnya yang ternyata adalah seorang anak gadis yang sedang mengguling-guling kepanasan. Anak itu tak bisa teriak karena mulutnya yang disumpal ...."
Lala menjadi semakin tak nyaman, mendengar cerita yang semakin mengerikan itu. "Para warga langsung memburu dan menyergap pemuda itu, menghakiminya sebelum membawanya untuk diadili. Kejadian itu menjadi buah bibir bagi seluruh warga desa. Mereka bertanya-tanya, apa motif pemuda itu melakukan yang yang begitu keji. Tak ada yang tahu jawabannya."
"Hingga beberapa hari kemudian setelahnya, para petani di sawah terkejut ... karena ladang sawah yang semula kering, kini mulai tumbuh hijau. Pada hari itu juga, satu desa bersorak riang, mendengar kabar gembira atas tanda-tanda keberhasilan panen. Itu berarti penderitaan yang selama ini mereka rasakan akan berakhir. Siapa sangka, ada sesuatu di balik kesuburan itu, yang menunggu imbalan selanjutnya, imbalan berupa tulang dan darah segar ...."
Lama terlarut dalam cerita, Lala kembali terkejut ketika nenek itu menepuk pundaknya, memamerkan deretan gigi-giginya yang mulai termakan usia. "Nduk, mau dilanjut ceritanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)
HorrorRank 1 in #horror (23 - 10 - 2023) Rank 1 in #horor (15 - 02 - 2023) "Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Suara itu meraung-raung hingga terdengar oleh satu penduduk desa. Para warga sontak berkumpul untuk mengobati rasa penasaran akan...