Bab 14

723 68 10
                                    

Suasana di rumah Adi menjadi ramai. Para warga telah memenuhi ambang pintu, beberapa di antaranya ada yang masuk ke dalam dan melihat langsung keadaan pasca kejadian mengerikan yang baru saja terjadi.

Sementara itu, Pak RT tengah berusaha untuk mencegah para warga yang masih mencoba masuk ke dalam. "Ini bukan tontonan, seperti wayang atau sejenisnya, nggih, Pak, Bu. Jadi saya mohon untuk tidak masuk ke dalam seenaknya!" seru Pak RT, memerintah para warganya untuk mengikuti arahannya.

Di sisi lain, Indi dan Adi sedang berada di kamar yang sama dengan Lastri. Indi duduk lemas, ia sudah mendapatkan penanganan langsung atas patahnya ketiga tulang di jarinya. Namun, tak urung rasa sakit akibat luka dalam ini masih terasa jelas.

Beberapa kali Adi melihat temannya itu memejamkan matanya, menahan sakit yang tidak karuan. Tanpa sengaja, tatapan keduanya saling bertemu. Indi menatap Adi penuh arti, begitu pun sebaliknya. Entah kenapa, tak ada satu kata pun yang terucap dari mulut keduanya. Mereka sama-sama tak bisa berkata-kata atas semua peristiwa yang baru saja terjadi.

Beberapa kali Indi memusatkan perhatian ke seorang gadis kecil yang tengah terbaring di atas ranjang, ditemani oleh Ibu Sumi dan juga orang yang dikenal paling religius di kampungnya, tengah membacakan beberapa doa kepada anak itu.

Indi menundukkan kepala. Tiba-tiba saja ia merasakan kehadiran seseorang persis di samping, mengambil posisi duduk tanpa permisi terlebih dahulu. "S–sori, Ndi, aku salah uwes ninggalke koe dewe. Kabeh iki salahku, aku ... aku ora reti Lastri bakalan ngono," ucap Adi singkat.

Indi mengangguk pelan, tak menjawab perucapan Adi. Kemudian, suasana menjadi canggung dalam beberapa menit, hingga Indi mencoba untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya itu. "L–Lastri ... kenopo, Mas?" tanyanya.

Tentu saja, Adi terkejut mendengar pertanyaan itu terlontar. Andai saja Adi tahu jawabannya, ia pasti akan langsung membuka mulutnya saat ini juga. Namun, Adi sama sekali tak tahu apa yang terjadi, mengapa adiknya bersikap aneh dan membahayakan bagi orang-orang di sekitarnya, seolah menganggap mereka semua adalah musuh.

Adi berpikir keras, mencari-cari kalimat yang tepat untuk menanggapinya. "A–aku ... aku ora reti opo-opo, Ndi. Aku ... aku ora biso jelaske kabeh e. Kabeh iki aneh, seolah ora biso dipikir nganggo nalar," jawab Adi dengan wajah yang masih ragu-ragu.

Indi tahu kalimat itu akan menjadi jawaban atas pertanyaannya. Mau bagaimana pun, semua peristiwa ini terjadi secara mendadak, sama sekali tak memberikan kesempatan bagi otak manusia untuk mencerna setiap detik yang berjalan. Kini, rasa pusing kembali menyerang kepala Indi.

"Kadi awal Lastri ditemukke, firasatku ... uwes ora penak." Adi menyambung kalimatnya. "Aku ngeroso kabeh iki ora asing, koyo ...." Indi tampak menyimak apa yang Adi sampaikan. Kini, mukanya menjadi bertambah serius, ketika Adi menatapnya dalam-dalam. "Koyo pernah diceritokke ...."

Indi mengernyitkan dahi, masih tak paham dengan apa yang Adi ceritakan. "Opo maksud e, Mas? Sopo seng cerito? Cerito opo?" Adi menggelengkan kepala, mencoba untuk berpikir keras, menggali kembali ingatannya yang mulai pudar.

"Sek, sek," ucapnya singkat. Adi memejamkan mata, berharap dapat segera mendapatkan jawaban atas apa yang mengganjal di pikirannya saat ini.

"Ah!" Seperti kedua kabel yang saling menyambung kembali, Adi ingat apa yang sempat ia lupakan. "Buku iku! yo, aku kelingan!" Seruannya itu membuat Indi memasang ekspresi bingung setebal dua kali lipat dari yang sebelumnya.

"Buku? Buku opo, Mas?" Indi mencoba untuk bertanya kembali.

"Aku ora kelingan kabeh e. Seng jelas, buku iku isine gambar-gambar wong seng ngamuk-ngamuk ora jelas, persis koyo Lastri!" Adi menekan nada bicaranya, tetap mempertahankannya dalam suara lirih, takut menganggu Pak Ustaz yang sedang melaksanakan kegiatannya.

"Buku opo iku, Mas? Opo aku oleh delok?" Adi menggelengkan kepala yang kedua kalinya.

"Aku ... aku wes ora kelingan blas, Ndi. Aku delok buku iku pas aku cilik, dadi wes klalen kabeh. Aku ... aku juga ora sengojo nemu buku iku nang deretan rak buku paling ngisor, nang balai deso!" jelas Adi. (Aku ... aku tidak ingat sama sekali, Ndi. Aku lihat buku itu pas aku masih kecil, jadi aku sudah lupa semua. Aku juga tidak sengaja menemukan buku itu di bawah deretan rak buku paling bawah, di balai desa!).

Sebelum Indi membuka mulut, tiba-tiba saja terdengar erangan yang sangat keras, membuat fokus keduanya buyar dalam sekejap. Lastri meraung-raung kesakitan, sembari berusaha untuk bangun dari posisi tidurnya, meski kedua pergelangan tangannya terikat kencang.

"Argh ...! Wani-wanine koe karo aku!!!" Pak Ustaz melantunkan ayat-ayat suci dengan lebih lantang, memercikan beberapa air yang ia tuang dari botol ke telapak tangannya. Hal itu membuat Lastri benar-benar kesakitan. "Koe ... koe ...."

Tiba-tiba tangan Lastri menunjuk tajam ke arahnya. Entah dari mana datangnya tekanan kuat ini, seluruh ruangan seolah berada di dalam kendalinya, hingga sesuatu yang mengejutkan pun terjadi.

"KOE KABEH KUDU MATI ...!!!"

Tepat usai seruan itu dilontarkan, beberapa benda di sekitar mulai terlempar ke satu arah, seperti ada sebuah energi besar yang mendorongnya. "Astaghfirullah ...!!!" Sontak Pak Ustaz dan yang lainnya mengucapkan istigfar, tak menyangka jika semua ini akan terjadi.

Lastri kembali menyunggingkan senyuman yang bisa menghantarkan siapa saja ke dalam mimpi buruk, termasuk Indi. Tatapan mata putih polos itu mengarah ke sekumpulan orang yang ada di hadapannya.

"Lastri, sadar, Nduk, sadar ...!" Dengan nekat, Ibu Sumi hendak berjalan mendekati tubuh anaknya itu, merentangkan kedua tangannya. Namun, Adi tak kalah gesit, langsung menarik kembali Ibu Sumi ke dalam pelukannya, sadar dengan bahaya yang ada di depan mereka semua.

Lastri mulai menyuarakan tawanya, dari nada yang lirih, hingga menjadi bertambah seiring berjalannya waktu. Kini, suara tawa Lastri mampu memekakkan telinga orang-orang yang mendengarkannya.

Di tengah-tengah tawanya, Lastri berhenti, menciptakan suasana hening untuk beberapa saat, sebelum ia mengucapkan sebuah kalimat dengan wajah penuh kemenangan.

"Gerbang iku wes mulai dibuka, gerbang iku wes mulai dibuka! Akhir e, kabeh keturunan iku bakalan musnah, KABEH MENUNGSO IKU BAKALAN MATI! hi-hi-hi-hi-hi ...!!!"

Di sekujur tubuh Indi, ia merasakan rasa merinding yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya, tepat ketika Lastri memusatkan kedua bola matanya itu menuju ke arah dirinya. Lastri tersenyum ke arah Indi, seolah ada banyak arti yang bisa ditafsirkan dari pandangannya itu. Yang jelas, semuanya mengarah ke hal yang negatif, berasal dari sesuatu yang paling jahat.

"Iseh urip, Nduk? Tenang, Nduk, koe bakalan dadi siji-sijine seng mati pertama nang tanganku, hi-hi-hi-hi-hi ...!"

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang