Bab 13

769 70 14
                                    

"Danan! Numpak e alon-alon lho, aku wedi iki!" (Danan, jalannya pelan-pelan, aku takut) Bocah di belakang Danan terus saja mengoceh sedari tadi, mengomentari laju pengedaraan yang Danan lakukan. Namun, Danan seolah menutup kuping rapat-rapat, sama sekali tak menggubris itu semua.

"Luwih cepet luwih penak, Jar. Ora opo-opo, nek supir e aku, dijamin bakal aman!" (Lebih cepat lebih enak, Jar. Tidak apa-apa, kalau aku yang mengendarai, dijamin aman) ucap Danan dengan penuh keyakinan. Tiba-tiba saja Fajar mendorong kepala Danan lirih.

"Aman gundulmu! Pitku rusak mengko! Nek pingin ngebut atek pit e dewe!" (Sepeda aku rusak nanti! Kalau mau kebut, pakai sepeda sendiri) Lagi-lagi Fajar berkomentar. Namun, Danan hanya terkekeh kecil, masih saja konsisten dengan kecepatan yang ia tempuh, membuat Fajar semakin naik pitam saja.

Entah kenapa, sebuah ide terbesit di otak Fajar. "Danan, nek koe ora gelem alon-alon, aku tak lompat kadi pit iki!" (Kalau kamu tidak mau pelan-pelan, aku mau lompat dari sepeda ini) celetuk Fajar dengan tiba-tiba. Danan menolehkan kepala ke belakang, lalu mengalihkannya kembali ke arah jalanan.

"Lompat, Jar, ora opo-opo, tapi ati-ati, yo!"

"Asem!" Lagi-lagi, sebuah dorongan di belakang kepala Danan rasakan, kali ini dengan lebih bertenaga, membuat sepeda yang dikayuh menjadi oleng dalam sekejap. Tanpa mereka sadari, sebuah cekungan jalan menghadang di ujung sana, tepat dengan arah jalan sepeda yang Danan kendalikan.

Sepasang mata kedua anak itu melotot. "Danan ...!!!" Fajar menepuk-nepuk pundak Danan berkali-kali, memberi aba-aba untuk menghindar. Sayangnya, terlalu dekat antara jarak dari lubang itu, membuat Danan menjadi gugup untuk memalingkan stang.

Namun, di luar dugaan, anak itu berhasil menghindari lubang itu dengan gesit, meski hampir saja sepeda yang ditumpangi terjatuh. Keduanya langsung bernapas lega. Untuk yang ketiga kalinya, Fajar melakukan hal yang sama.

"Aku ngomong opo, numpak e alon-alon bae, Nan!" Kini, Fajar kembali mengomeli temannya itu. Danan hanya bisa terkekeh, mengukir senyuman yang menyebalkan.

Baru sepuluh detik berlalu, keduanya kembali melebarkan mata, melihat seseorang yang tengah berdiri di sana. Kini, tak sempat Danan membelokan jalur sepeda, membuat keduanya saling beradu. Seseorang itu terjatuh dengan cukup keras, akibat sebuah hantaman yang mengarah tepat di belakangnya. "Ouch ...!"

Dalam sekejap, sepeda mereka ambruk, membuat Danan dan Fajar jatuh tersungkur ke aspal. "Aduh ...!" seru keduanya secara bersamaan. Keduanya saling mengaduh, meratapi nasib tubuh mereka yang lecet-lecet.

"Woi! Nek numpak kui ati-ati! Wes reti ono wong nang ngarep, main trabas bae! Motone nangdi, sih?!" (Kalau naik hati-hati! Sudah tahu ada orang jalan, masih ditabrak. Matanya di mana?!) Danan dan Fajar mendongakkan kepala secara bersamaan, memasang ekspresi ngeri, melihat siapa yang ada di depan mereka saat ini.

Seseorang dengan pakaian modis layaknya wanita pada umumnya, tetapi tak sinkron dengan suara berat yang ia lontarkan. Orang itu melototi kedua anak yang menjadi penyebab atas semua yang baru saja terjadi. "Nga-ngapurone Mas Slamet, aku ... aku ora sengojo."

Danan memimpin bicara, memohon. Namun, orang itu malah menatapnya dengan amarah yang lebih besar. Fajar menyikut Danan segera. "Jenny, Nan, Jenny ...!" bisiknya.

Danan langsung merevisi kalimat yang baru saja ia lontarkan. "Oh, anu ... maksud e, ngapurone Mas Jen-eh, Mbak Jenny, Danan ... Danan ora sengojo ...."

Pria setengah wanita itu mencengkeram lengan Danan, menyuruhnya untuk berdiri. "Ora sengojo, ora sengojo, jelas-jelas aku ono nang ngarepmu, kenopo iseh tetep ditabrak, hah?" Danan menundukkan kepalanya, entah kenapa rasa takut mulai menjalar di hati. Sesekali pandangannya beralih ke arah Fajar, tetapi anak itu berusaha agar tak membalas tatapan Danan, menyibukkan diri untuk berpura-pura mengecek sepeda.

"Heh, jawab!" Lamunan Danan buyar, kembali menatap pria setengah wanita itu. "Oh ... aku paham ...." Slamet garis miring Jenny, menganggukkan kepalanya beberapa kali, dengan kedua tangan dilipat di depan dada. "Mesti koe salah siji wong seng sengit karo aku, 'kan? Ngaku!" (Pasti kamu salah satu orang yang benci sama aku, kan? Ngaku!) Slamet kembali meninggikan suaranya, membuat aura kejantanan terpancar dari dalam sana.

"Du-dudu, dudu! Aku ... aku temenan ora sengojo Mas ... eh, Mb-Mbak, Mbak ...."

"Alah, ora usah pura-pura! Aku wes reti! Pancen yo, bocah-bocah saiki akeh seng kurang ajar, kekurangan moral!" Slamet masih saja menatap Danan dengan penuh intimidasi. Kini, Danan tak berani membalas sorotannya itu, fokus memerhatikan tanah di bawah kakinya. "Heh, koe! Mrene!" Slamet mengalihkan pandangannya ke arah Fajar, membuat wajah anak itu berubah menjadi pucat dalam seketika.

Kini, Danan mengepalkan kedua tangannya, menyunggingkan senyuman semringah, merasa senang karena bukan hanya ia sendiri yang menjadi sasaran amukan dari Slamet. "Koe juga podo, kenopo ora ngomong karo koncomu iki nek ono wong nang ngarep, hah?!"

Fajar merasa gugup, mulutnya bahkan bergetar. "A-a-anu ... aku ... aku ora weruh, Mbak." Fajar mengeplak punggung Danan. "Iki Kabeh salah e Danan, seng numpak e ngebut. Aku ora fokus gara-gara Danan!" Fajar melimpahkan semua kesalahannya ke arah Danan, membuat temannya itu menatapnya dengan penuh kesesalan.

"Jare setia kawan!" bisik yang bersangkutan.

"Sori, Nan, nek kondisine koyo iki, aku luwih milih mengkhianati kawan," balas Fajar. Danan memelototinya.

"Uwes, aku ora butuh alasan e koe-koe podo. Saiki koe kabeh bakal tak kei hukuman!" Mendengar hal itu, Danan dan Fajar saling memandang satu sama lain.

"Lho, kene, 'kan, wes jaluk ngapuro, Mbak, kenopo tetep dikei hukuman?" Danan langsung membantah perkataan itu.

"Iyo, Mbak, kenopo Mbak Jenny ora nerimo ngapurone kene? Jare wong tuo, dadi wong kui kudu legowo, ben t*t*t e tambah dowo."

"Hush!!!" Fajar mengatupkan mulutnya segera, mendapatkan tatapan tajam dari Danan.

"So-sori, bablas," ucapnya lirih.

"Ora biso, kudu ono hukuman e! Sesok isuk, koe-koe podo kudu ...." Belum sempat menyelesaikan masalah, tiba-tiba saja Slamet mengalihkan pandangannya, mendengar suara derap langkah kaki beberapa orang dari kejauhan. Danan dan Fajar memusatkan pandangan ke arah yang sama. "Ono opo kae?" gumam Slamet.

"Pak!" Slamet memanggil salah satu dari warga itu, membuatnya menghentikan langkahnya. "Ono opo rame-rame?" tanyanya.

Dengan napas yang masih menderu, bapak-bapak itu menjawab pertanyaan dari Slamet dengan keringat yang mulai mengucur dari keningnya. "Lastri ... Lastri ... wes, pokok e delok dewe!!!" Tanpa penjelasan lebih lanjut, bapak-bapak itu langsung melanjutkan langkahnya.

"Lho, Pak! Pak!" Slamet berkacak pinggang, rasa penasarannya masih belum terjawab. "Aneh. Ck! Wes ora usah diurusi. Oh, yo, lanjut seng mau ...." Tatapan Slamet kembali ke arah di mana dua anak tadi berdiri. Namun, saat ini Slamet hanya melihat kekosongan.

Pandangan Slamet langsung teralihkan jauh di sana, melihat Danan dan Fajar sudah berada di atas sepeda yang terkayuh cepat, mengikuti jejak para warga itu. Slamet menarik napas dalam-dalam, sebelum mengeluarkan suara khas erangan singa miliknya.

"BOCAH KURANG AJAR!!!!!"

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang