Bab 36

180 27 4
                                    

Setelah kepergian Pak Sada, makian yang dilontarkan Pak Jalu menggema. Kedua pemuda suruhannya mencoba untuk melepaskan tali yang mereka ikat sendiri. Namun, sialnya tali yang mereka ikat sangat kencang, membuatnya sulit untuk dilepaskan.

"Bos, sak iki pie maneh, Bos? Sada iku wes kabur, nek misale kae ngadu karo warga liyo, kene bakal tamat, Bos," (Bos, sekarang apa lagi, Bos? Sada itu sudah kabur, kalau misalnya dia mengadu dengan warga lain, kita bakal tamat, Bos) ucap salah seorang pemuda. Pak Jalu tak mengindahkannya, masih terus menundukkan kepala, menahan geram yang sangat dalam.

"Bos?" Tak ada jawaban yang Pak Jalu ucapkan. Tak hanya itu, semua umpatannya pun berhenti terlontar. Kini, Pak Jalu hanya menundukkan kepalanya saja, diam membisu seolah tak mendengar panggilan dari anak buahnya itu.

"Bos kenopo, yo?" Kedua pemuda itu saling menatap, sama-sama tak tahu kondisi yang dialami oleh Pak Jalu. Lama berkukat dengan pikirannya masing-masing, tiba-tiba saja Pak Jalu terkekeh kecil, dengan pandangannya yang menghadap ke bawah. Tentu saja, hal itu membuat dua orang pemuda yang ada di hadapannya merasa aneh. "Bos ...?"

Brak!

Pintu rumah terbanting ke dalam dengan sangat keras, menghasilkan suara yang mampu membuat jantung mencelus. Bersamaan dengan itu, angin kencang masuk tanpa permisi, membawa dedaunan dan debu dari luar ruangan, melenyapkan cahaya dari petromaks, mengundang kegelapan yang pekat. "Hi-hi-hi-hi ...!"

Seluruh bulu kuduk dua anak buah Pak Jalu berdiri serentak, menyaksikan Pak Jalu yang menyemburkan tawanya. Namun, yang keluar dari kerongkongan itu bukanlah suara Pak Jalu yang asli, melainkan suara yang menyerupai wanita. Perlahan, Pak Jalu mengangkat kepalanya, menatap dua anak buahnya sendiri dengan senyumannya yang sangat mengerikan. "Sugeng dalu ... hi-hi-hi-hi ...!" (Selamat malam.)

"B-Bos? Kenopo ... Bos?" Seluruh tubuh bergetar hebat. Tatapan itu ... bukan lagi milik Pak Jalu, melainkan tatapan milik sesuatu yang kini menguasai raganya.

Sadar jika dua orang di hadapannya merasa ketakutan, Pak Jalu kembali tertawa, seolah menikmati raut wajah itu. Tak lama, tatapan Pak Jalu beralih ke sepasang tangan dan kakinya yang terikat denga tali. Pak Jalu mengamati itu semua dengan saksama, memikirkan sebuah cara untuk melepaskannya.

"BOS, OJO BOS!!!"

Di luar dugaan, Pak Jalu mencengkeran tangannya dengan kuat, memasukkan kuku-kukunya menembus kulit, sebelum menariknya dengan kuat. Darah berceceran, seiring kulit yang terkelupas bak kulit jerut yang dipisahkan dari inti buahnya. "Bos ...!!!"

Merasa terlalu lambat, Pak Jalu meninggalkan cara pertamanya itu, mengganti tangan dengan mulutnya sendiri. Ia menggigit kulit yang mulai menganga itu, lalu kembali menariknya hingga terkelupas seluruhnya, membuat tali yang mengikatnya melonggar dan berhasil dilepas. Pak Jalu mengulangi tindakan yang sama di bagian lainnya, membiarkan dua anak buahnya menonton aksi gila yang ia lakukan.

Setelah semua bagian telah selesai, Pak Jalu bangkit berdiri, menatap dua orang yang kini menampakkan ekspresi pucat. Pak Jalu berjalan mendekati dua orang itu, lalu mengambil posisi jongkok di hadapan mereka berdua, sembari memamerkan senyuman di bibirnya yang dipenuhi oleh darah segar.

"Ora usah wedi. Koe cah loro iku pengabdiku, koe-koe kudu sujud karo aku, hi-hi-hi-hi ...!" (Tidak usah takut. Kalian berdua itu pengabdiku, kalian harus sujud denganku.)

"S-sopo koe?" tanya salah satu dari mereka dengan nada tercekat. Pak Jalu mengangkat dagu pemuda itu, memiringkan kepalanya sembari menyorotkan keheranan.

"Koe ... ora kenal karo aku? Padahal aku wes gawe uripmu sejahtera, tapi opo balesanmu?" (Kamu ... tidak kenal aku? Padahal aku sudah buat hidupmu sejahtera, tapi apa balesanmu?)

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang