Bab 8

859 79 0
                                    

Tangisan pecah, menghiasi keheningan malam dengan rintikan hujan yang mengguyur. Mas Adi dan Ibu Rumi langsung memeluk jasad Pak Joko yang terbujur kaku, tak bergerak lagi. Kabar itu mengejutkan para warga, begitu juga dengan Pak RT yang menyaksikan sendiri sakratulmaut dengan mata kepalanya.

Pak Samad menyuruh Pak RT untuk mencari beberapa kain untuk mengikat kaki serta tangan Pak Joko, tak lupa sebuah kain dilingkarkan di sekeliling kepala. Tubuh Pak Joko diselimuti oleh kain bercorak batik.

Beberapa warga sibuk mengumumkannya di berbagai masjid atau mushola agar semua orang di desa mengetahui kabar duka ini. Dalam beberapa menit, rumah Pak Joko menjadi ramai. Malam itu juga, warga bergotong royong membawakan beberapa alat-alat untuk mengurus jenazah, dari keranda mayat hingga tempat pemandian.

Tak lupa sebuah layos dipasangkan di depan rumah, lengkap dengan kursi hijau berjejer rapi dan kibaran berwarna kuning di sana. Ibu-ibu desa berkunjung, menenangkan dan mengucapkan belasungkawa kepada Ibu Sumi yang tak berhenti meratapi nasib. Dari suasana yang semula sunyi, menjadi ramai karena kabar duka yang menyebar luas itu.

~~•~~

Hujan bertambah lebat, menyerbu atap layos dari besi, membuat suara bising yang sangat keras, seiring dengan hari yang sebentar lagi akan berganti. Para warga masih berkumpul, berjaga di depan rumah dengan beberapa sajian kopi dan camilan yang menemani. Tak lupa sebatang rokok ada di setiap jari-jemari. Mereka berbincang-bincang, beberapa kali menyinggung almarhum dengan berbagai rasa iba yang diutarakan.

Tak lupa tentang putrinya, Lastri yang hilang secara misterius dan tak kunjung ditemukan untuk berbulan-bulan lamanya, juga tak bisa menghindar dari topik yang sedang dibahas. Keanehan demi keanehan dirasakan oleh mereka, apalagi saat polisi memutuskan untuk menunda kasus Lastri karena tak pernah ditemukan titik terang. Anak itu bagaikan hilang ditelan bumi, tak ada saksi, atau pun jejak yang diraih.

Mengingat tentang Lastri, Pak RT dan juga beberapa warga yang terlibat di dalam pencarian kala itu, memilih bungkam dan tak menyinggung sedikit pun kejadian mengerikan yang menimpa mereka. Tentu saja, itu semua atas arahan yang diberikan oleh sang pemimpin agar seluruh warga yang ada di desa tak merasakan apa yang dirasakan oleh mereka. Biarlah semua itu terkubur dalam-dalam, menjadi rahasia kelam di antara mereka.

Angin malam ini berembus dengan kencang, bercampur dengan air asin yang menerpa wajah. Karena kondisi yang tak kondusif, para warga memilih untuk berpindah ke tempat yang tak dijamah air. Beberapa dari mereka juga ada yang izin untuk pulang, berjanji akan datang lagi esok hari untuk membantu mengurus jenazah.

Kini tinggallah beberapa orang warga saja yang hadir, termasuk Pak RT dan Pak Samad yang ikut bergabung bersama di teras. Mereka semua berbincang-bincang untuk beberapa saat, hingga Pak RT memutuskan untuk berpisah, menghampiri Adi yang ada di ruang tamu.

Pak RT memberi isyarat kepada Adi, memintanya agar berbicara empat mata dengannya. Adi menanggapi, menghampiri Pak RT. "Pripun, Pak?"

"Kamu sudah hubungi saudara-saudara di luar desa?" tanya Pak RT kepada putra dari almarhum.

Adi mengangguk, dengan bekas-bekas air mata yang menempel di pipinya, serta sepasang bola mata yang merah samar. "Sudah, Pak. Mereka sudah dalam perjalanan malam ini," balasnya.

Pak RT mengembuskan napas, tampak lega. "Alhamdulillah. Em ... maaf menganggu waktunya, karena besok pagi sekali, jenazah akan segera diurus, jadi saudara-saudaramu harus sampai di sini sebelum matahari terbit tinggi. Tidak baik lama-lama membiarkan jenazah," jelas Pak RT. Adi mengangguk, memahami apa yang dimaksud.

Setelah dirasa cukup, Pak RT pun membiarkan Adi untuk duduk di tempat semula, di hadapan jenazah Pak Joko yang kini telah dipindahkan di depan rumah tamu. Samar-samar amis yang sempat tercium masih setia menjadi pengharum ruangan. Namun, Pak RT memutuskan tak menghiraukan hal tersebut dan langsung bergabung dengan warga di teras.

"Bagaimana, Pak?" tanya Pak Samad, ditujukan kepada rekannya itu.

Pak RT mengangguk pelan. "Alhamdulillah, aman," katanya kemudian. Pak RT duduk di antara mereka semua, mulai menyeruput kopi panas yang tinggal setengah itu. Namun, belum sampai cairan hitam itu ke dalam kerongkongan, tiba-tiba sesuatu yang baru, terjadi.

Tep!

Dalam sekejap, kegelapan menjajah rumah keluarga Pak Joko. Kedua pria itu saling bertatapan, Pak RT dan Pak Samad merasa bingung dengan apa yang terjadi.

"Mati lampu, Pak?" Kini Adi telah berdiri di ambang pintu, terlihat bingung dengan kondisi saat ini. Ditatapnya rumah-rumah tetangga yang masih mengalirkan listrik, membuat cahayanya sampai di rumah Adi yang gelap gulita.

Suara ricuh terdengar dari dalam rumah, berasal dari ibu-ibu desa. Para warga yang lainnya bingung, mengapa hanya rumah ini saja yang mengalami padam listrik. Melihat raut wajah khawatir dari beberapa orang, disertai dengan gumaman-gumaman, membuat Pak RT pada akhirnya memecah kecemasan itu. "Tenang, tenang, mungkin ada yang bermasalah dengan saklar listrik."

Pak RT menatap Adi. "Mas Adi, boleh tahu di mana letak sakelar listriknya? Biar saya yang cek," tanyanya.

Adi mengangguk. "Letaknya di belakang rumah, Pak, samping lawang mburi," jelas Adi, memberi tahu letak sakelar yang biasanya berada di depan rumah itu, tetapi tak berlaku dengan rumahnya. "Biar saya temani, ya, Pak."

"Ora usah, saya bisa sendiri. Kamu bisa ambil lilin biar gak gelap."

"Iya, Pak." Tanpa pikir panjang, Pak RT pergi mengitari rumah, menuju ke tempat di mana saklar ditempelkan. Selama perjalanan menuju ke sana, entah kenapa perasaannya tak enak, seperti ada yang mengawasinya dari belakang, membuat tengkuk lehernya menjadi tidak nyaman.

Walau begitu, Pak RT tetap berjalan maju, diiringi doa-doa yang ia ucapkan melalui batinnya. Akhirnya, ia pun melihat sebuah benda yang menempel di sana, yang kemungkinan besar adalah sakelar lampu.

Benar saja, benda itu adalah yang sedang dicarinya. Pak RT membuka penutup sakelar, memastikan keadaan di sana. Namun, apa yang dilihatnya aneh, yakni tombol sakelar dalam posisi off, yang mana bisa saja ada seseorang yang melakukan hal ini. Opini itu diperkuat dengan susunan kabel yang ada, semuanya tampak baik-baik saja, tak ada tanda-tanda bagian yang gosong karena korsleting atau sejenisnya. Hal itulah yang membuat Pak RT merasa kebingungan.

Menggelengkan kepala, Pak RT sangat menyayangkan orang iseng yang sengaja melakukan ini. Tak berselang lama, ia pun mengembalikan tombol ke arah on. Lampu kembali dialiri oleh listrik, membuat kegelapan sirna begitu saja. Setelah selesai menjalankan tugas, Pak RT berjalan kembali ke arah teras depan, karena ia merasa tak sopan bila langsung melalui pintu belakang yang ada di sana.

Berbeda dari yang sebelumnya, perasaan Pak RT kembali tenang ketika berjalan di antara cahaya lampu, membuat rasa waswas yang tadi hilang.

Siapa sangka, semua itu belum berakhir. Sebuah jeritan keras didengarnya dari jendela di samping rumah, membuat Pak RT mempercepat langkahnya, seiring dengan detak jantung yang kian cepat. Setibanya di depan teras, semua warga telah memasuki rumah, berkumpul di ambang pintu kamar di sana, dengan wajah-wajahnya yang mengekspresikan rasa terkejut.

Pak RT memasuki rumah, berjalan menuju kamar itu dan menerobos para warga yang berkumpul di depan pintu. Selanjutnya, apa yang dilihatnya sungguh di luar perkiraan.

Seorang gadis dengan pakaian yang terkoyak-koyak dengan warnanya yang sangat lusuh, menatap kosong ke arah mereka sembari duduk di ranjang yang sempat ditempati oleh Pak Joko. Perlahan tapi pasti, senyumannya mengembang lebar, memamerkan beberapa giginya yang telah copot dengan darah yang mengalir dari sana. Dengan ragu, Ibu sumi berjalan mendekatinya, mengusap-usap pipinya, lalu memeluknya.

Kemudian, tangis kembali pecah, menggema di seluruh ruangan. Tatapan bingung bercampur ketakutan masih setia menyorot pemandangan itu, terlebih ke arah seorang anak gadis yang hilang beberapa bulan yang lalu. Dan kini ... entah bagaimana caranya ia bisa kembali dengan keadaan selamat.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang