"Lastri ...!" Pak Joko berlarian di tengah hutan, menerjang jutaan air yang mendarat itu. Pak RT bersama para warga berbondong-bondong mengikuti dari belakang, mencari di mana sumber suara tersebut berasal.
Rasa ngeri masih terus menggerayangi hati mereka, terbayang-bayang akan betapa ngerinya teriakan yang dilontarkan oleh Lastri itu, seakan saat ini ia sangat menderita. Hal itu juga membuat semuanya menjadi khawatir, takut bilamana Lestari dalam bahaya. Oleh karena itu, pikiran-pikiran negatif tentang hal di luar nalar dikesampingkan, demi menyelamatkan bocah itu.
"Pak Joko, alon-alon, Pak!" (Pak Joko, pelan-pelan, Pak!) Pak RT, berteriak di belakang pria paruh baya itu, memperingatinya agar berhati-hati. Namun, ucapannya sama sekali tak diindahkan oleh Pak Joko yang masih saja berlari dengan kecepatan yang sama seperti sebelumnya.
Hujan mengguyur semakin deras, beberapa ranting berjatuhan, mengenai warga-warga itu. Dari ranting yang paling terkecil hingga besar, menyebabkan goresan luka-luka pada setiap tubuh. Tak jarang juga beberapa di antara mereka tersandung, terpeleset, hingga menabrak batang pohon karena minimnya cahaya yang ada di situ.
Satu-satunya penerangan mereka adalah senter-senter dengan baterai yang tinggal setengah dan juga kilat petir yang menampakkan diri berkali-kali. Sayangnya, obor yang mereka bawa tak berguna sama sekali di cuaca yang ekstrem ini.
"P–Pak!!!" Tepat angin kencang membuat salah satu ranting besar ambruk, Pak RT segera menarik tubuh Pak Joko mundur, menghindari ranting yang jatuh di hadapannya.
Seluruh langkah warga terhenti, menyaksikan kejadian mengerikan yang hampir saja terjadi. Beberapa di antara mereka membantu kedua orang itu untuk berdiri. Pak Joko dan Pak RT menatap ranting besar itu. Namun, pandangan mereka berdua beralih kepada sesuatu yang ada di depan sana.
Kini semua tercengang, melihat aliran sungai yang sangat deras di bawah sana. Tanpa sadar, mereka semua telah berlari hingga tiba di tepi jurang. Pak Joko memberontak, hendak meneruskan tindakannya. Namun, Pak RT bersama para warga berhasil menahannya agar tak gegabah.
Seluruh tubuh Pak Joko terkunci, tak memberinya ruang untuk bergerak lagi. Pria paruh baya itu hanya bisa menangis di dalam pelukan Pak RT, hingga perlahan tubuhnya menjadi lemas. Tak lama kemudian, ia pun kehilangan kesadarannya. "Cepat, bantuin bawa Pak Joko pulang!" ucap Pak RT.
"Tapi Pak, bagaimana dengan pencarian ini? Bagaimana dengan suara itu?" tanya salah seorang warga, mewakili warga lainnya.
"Sudah, kita teruskan ketika kondisi sudah aman, baru kita selidiki lagi," jelas Pak RT, mengambil keputusan bijak. Walaupun keadaan yang terjadi sangat genting, ia tak mau membahayakan seluruh warganya dengan pencarian di bawah cuaca buruk ini.
Langkah yang paling aman adalah menunggu semua keadaan menjadi normal kembali untuk bisa melakukan tindakan selanjutnya. "Lagi pula, untuk selanjutnya saya akan menghubungi polisi dan beberapa tim lainnya untuk ikut serta dalam pencarian ini," sambungnya.
Dengan napas di dalam tubuh Pak Joko yang semakin melemah, Pak RT meminta agar semuanya bergegas sebelum terlambat. Pak Joko harus mendapatkan pertolongan secepatnya.
Para warga berbalik, hendak meninggalkan tempat itu. Namun, lagi-lagi semua napas tercekat, semua buku kuduk meremang, semua orang bergetar ketakutan ketika suara itu menggema lagi. Kali ini, asalnya persis berada di seberang sungai.
"Bapak ...! Aaaa ...!"
Namun, yang terdengar kali ini jauh lebih mengerikan. Perlahan tetapi pasti, suara meraung-raung kesakitan itu, berubah menjadi cekikikan yang sangat keras. Baru disadari bahwa suara yang awal mula terdengar seperti Lestari, berubah menjadi seorang wanita dewasa, tepatnya khas kuntilanak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)
HorrorRank 1 in #horror (23 - 10 - 2023) Rank 1 in #horor (15 - 02 - 2023) "Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Suara itu meraung-raung hingga terdengar oleh satu penduduk desa. Para warga sontak berkumpul untuk mengobati rasa penasaran akan...