Puluhan tahun yang lalu ....
Seorang pemuda berlari tunggang-langgang, menapak ribuan daun layu yang telah gugur, menghasilkan bunyi menggerisik yang terus terdengar. Beberapa langkah lainnya ada di belakang, mengejar dirinya dengan aura membunuh yang sangat pekat. Pemuda itu tak pernah berhenti berlari, meski dirinya telah mendapatkan luka-luka kecil akibat lemparan batu yang tepat sasaran.
"Mendek koe, menungso bejat!!!" Seruan itu terdengar mengerikan. Pemuda itu menoleh ke arah belakang, sekumpulan warga masih ada di belakangnya dengan mata yang berapi-api. Dari sorot setiap pasang, dapat dipastikan jika mereka sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkan raga pemuda itu. Rasa lelah akibat berlari tak akan pernah dirasakan oleh mereka, semuanya tertutupi oleh dendam yang membara.
"Mlayune tambah kenceng!" umpat salah seorang warga, menyadari jarak antara dirinya dan pemuda itu yang semakin menjauh. Tak mau kalah, mereka semua turut menambah kecepatan berlari. Kejar-kejaran berlanjut hingga energi yang dimiliki oleh pemuda itu kian menipis, membuat kelajuan larinya menjadi berkurang. Namun, karena kondisi ini menentukan nasib hidup atau mati, pemuda itu tak akan pernah menyerah.
Tepat sepuluh langkah pemuda itu berlari, sebuah balok kayu besar mendarat tepat di atas kepalanya, membuat pemuda itu jatuh tersungkur dengan luka fatal yang ada di kepalanya. Dalam seketika, pandangannya menjadi remang-remang, seluruh kepalanya menjadi pusing dalam sekejap hingga akhirnya pemuda itu pun rubuh.
Pelaku yang melakukan ini semua tak lain adalah salah seorang warga yang bersembunyi di antara balik pohon, mencegat jalan pelarian buronannya, lalu melumpuhkannya ketika ia lengah. Belum puas, balok kayu yag msih berada di genggamannya, kembali diayunkan bertubi-tubi ke tubuh yang tak berdaya itu. Beberapa warga lain yang baru saja tiba di tempat, melakukan hal yang sama kepada pemuda itu.
Memukul, mencekik, menginjak, bahkan membenturkan kepalanya berkali-kali di atas sebuah batu. Beribu-ribu kata umpatan terdengar samar di telinganya yang mulai redup, bersamaan dengan saraf-saraf di sekujur tubuh yang mati rasa. Pemuda itu meringkik kesakitan, memohon kepada para warga untuk menghentikan aksi penghakiman itu. Rentetan kalimat ia ucapkan secara berulang-ulang, kalimat yang sama sekali tak bisa dicerna.
"Ampun ...! Ampun ...! Aku cuma ... cuma bantu warga kene ...."
"Ono ... ono getih, ono ... ono beras putih! Ono getih ... ono beras pu–"
"Meneng!!!" Sebuah bogeman keras dari orang bertubuh besar, berhasil kembali membungkam mulut pemuda itu. Ia tak lagi meracau seperti sebelumnya. Yang tersisa dari dirinya hanyalah rasa sakit karena penyiksaan yang tak berujung ini. Namun, di antara semua rasa sakit itu, sama sekali tak ada penyesalan akibat membunuh seorang gadis yang tak berdosa.
Setelah beberapa menit berada di ambang kesadarannya, akhirnya tak ada lagi yang ia rasakan. Tepat ketika pandangannya mulai hilang, pemuda itu menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sudah tak berbentuk. Melihat seorang gadis manis yang berdiri di belakang orang-orang yang mengerumuninya, pemuda itu seolah mendapatkan ketenangan, rasa bangga karena telah menyelesaikan tugas yang diberikan.
Perlahan, gadis manis itu membalas senyumannya, sebelum kemanisan di wajahnya itu tertutupi oleh luka-luka bakar yang menyelimutinya, lengkap dengan api-api yang masih menyala kecil di wajahnya. Gadis itu mendekat, keberadaannya benar-benar tak disadari oleh yang lainnya.
Setelah memiliki jarak yang cukup dekat, wajah gosong itu merapatkan diri dengan lawan bicaranya hingga tercium aroma daging terbakar yang sangat pekat. Bibir mungilnya bergerak, mengucapkan kalimat yang menggema di pikiran pemuda itu.
"Ngabdi o karo aku tekan mati, bakal tak turuti kabeh hajatmu ...."
***
Pemuda yang sempat membuat geger Desa Guyub Makmur telah diamankan. Interogasi berulang-ulang dilakukan. Namun, tak ada kejelasan sama sekali tentang motif dari si pelaku itu sendiri. Usai diselidiki dengan lebih lanjut, ternyata pemuda itu sama sekali tak memiliki hubungan apa pun dengan anak yang ia culik. Selain itu, anak gadis malang itu juga berasal dari desa lain, bukan di desanya sendiri.
Pemuda itu mengaku melakukan ini semua demi menghapus kesengsaraan yang ada di desanya. Sungguh, alasan yang sama sekali tidak masuk akal, membunuh seorang demi mendapatkan keuntungan yang tidak pasti. Tak juga mendapat kecerahan, pada akhirnya pemuda itu ditahan dalam jangka waktu yang sangat lama.
Satu minggu telah berlalu. Seperti rutinitas pada umumnya, para petani pergi berangkat ke sawah untuk mengurus bibit-bibit padi yang tak kunjung subur. Mereka berangkat dengan wajah lesu, seolah tahu apa yang akan mereka hadapi di depan sana, yang tak lain adalah sekumpulan panen yang telah layu, itulah yang membuat semangat mereka kian memudar setiap harinya.
Namun, siapa sangka, salah satu petani yang mendadak menghentikan langkahnya, menarik perhatian kawan-kawan yang bersamanya. Seluruh perhatian berpusat kepada salah seorang petani yang memasang ekspresi tak percaya, menatap lurus ke depan sana. Perlahan, petani-petani lain mengikuti arah pandangan dari rekannya itu.
Sontak seluruh pasang mata menyorot persis ke arah sebuah tanah lapang yang dipenuhi dengan bibit-bibit yang tumbuh hijau. Seketika seluruh badan mereka bergetar hebat, beberapa di antaranya ada yang terjatuh tersungkur akibat kaki yang mendadak melemas. Salah seorang petani berbalik arah, berlari dan melompat-lompat kecil sembari berteriak dengan sangat gembira.
"Sawah e subur! Sawah e subur!!!"
Kurang dari lima menit, para penduduk desa telah berkumpul di titik yang digegerkan. Ada banyak pertanyaan yang muncul dari benak mereka. Bagaimana tidak, ratusan bibit dapat tumbuh hijau di tengah-tengah ladang yang kering, sungguh hal yang sangat tidak masuk akal.
Para warga percaya, ini semua merupakan keajaiban yang diturunkan kepada mereka. Para warga lantas mengucapkan banyak kata syukur atas kemakmuran yang menimpa mereka semua. Namun, nyatanya ada satu orang warga yang tak ikut terpengaruh dengan kabar gembira ini.
Seorang pria tua dengan postur tubuhnya yang mulai digerogoti usai, menatap setiap bibit yang ada di sana dengan wajah khawatir. Pria itu menajamkan penglihatannya, mencoba memperjelas aura-aura hitam yang menyelimuti seisi sawah. Pria itu menggeleng pelan, menyadari sesuatu yang berbahaya, sama sekali tak diketahui oleh yang lainnya.
Samar-samar di antara aura-aura hitam itu, berdirilah seorang gadis manis yang tengah tersenyum ke arahnya. Gadis itu melambaikan tangannya, seolah mengajak pria tua itu untuk menghampiri dirinya. Tak juga mendapat respons darinya, senyuman gadis itu lenyap dalam sekejap, berubah menjadi raut wajah marah yang sangat mengerikan, seiring dengan perubahan wajahnya ke titik di mana semuanya tak lagi berbentuk.
Gadis itu mengacungkan jari telunjuknya dengan tajam, ke arah satu-satunya orang yang bisa melihatnya. Tanpa diduga, telunjuknya itu tak hanya mengarah kepadanya, melainkan para warga yang ada di sana. Kemudian, bibir gadis itu bergerak naik turun, dengan tatapannya yang kian menyorot serius.
"Pangan o beras-beras iki, iku berarti koe-koe podo ngabdi karo aku. Ojo sampek lali karo ganjaran seng kudu dibayar. Eling, aku ora bakal ngampuni wong-wong seng ingkar janji, bakal tak bales ... sampek mati, khi-khi-khi-khi ...!"
SURAT DARI PENULIS :
Terima kasih banyak saya ucapkan kepada semua pembaca yang telah sampai di bab 19 ini. Saya sebagai penulis sangat senang akan kehadiran kalian. Keberadaan kalian semua (para pembaca) memberikan semangat yang besar bagi saya untuk melanjutkan cerita ini hingga selesai. Itulah kenapa kalian sangatlah penting bagi saya😊😊😊🙏🏻
Oh, ya, saya juga meminta maaf kepada kalian semua karena saya tidak bisa memberikan update bab dengan cepat seperti kebanyakan penulis lain, itu dikarenakan kesibukan saya yang saat ini sedang menjalankan program PKL. Tapi kalian tenang saja, saya akan tetap berusaha semaksimal mungkin demi para pembaca tercinta🙌
Sekian, terima kasih😊
Salam manis,
Putra Anggara
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)
HorrorRank 1 in #horror (23 - 10 - 2023) Rank 1 in #horor (15 - 02 - 2023) "Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Suara itu meraung-raung hingga terdengar oleh satu penduduk desa. Para warga sontak berkumpul untuk mengobati rasa penasaran akan...