Perlahan tapi pasti, cahaya baskara tertutupi oleh pekatnya awan hitam yang baru saja hadir. Tak menunggu hitungan menit, seluruh desa menjadi gelap gulita, dengan angin kencang yang berembus, menerpa semua tumbuhan yang ada, melayangkan dedaunan yang gugur dari inangnya.
Di tengah-tengah derasnya bising aliran sungai yang mengalir, kedua anak laki-laki itu duduk lemas, dengan napas yang kembang kempis. Hampir saja mereka kehilangan nyawa akibat dari banjir bandang yang lalu. Kini, keduanya hanya bisa menjunjung tinggi rasa syukur, berterima kasih kepada Tuhan karena telah memberikan kesempatan untuk hidup. Syukurlah, Danan sempat meraih gagang bambu sebelum tubuhnya terhempas.
"Alhamdulillah ... alhamdulillah ...." Danan berbaring di atas tanah. Tak ada area yang kering di tubuhnya, semuanya telah basah oleh air sungai. Kedua mata anak itu berwarna merah, menatap awan hitam yang ada di atas sana. Danan memejamkan mata, seluruh tubuhnya seperti mati rasa, terutama salah satu lengannya yang sakit akibat menahan berat badan tubuh Fajar yang lebih besar darinya.
"Huwaaa ...!" Tangisan anak laki-laki yang sangat tak enak didengar membuat Danan menjadi risi. Anak itu kembali mengambil posisi duduk, menatap Fajar yang tengah terisak. Dengan entengnya, Danan melayangkan tamparan kerasnya ke pipi Fajar.
plak!
"Cengeng! Bocah lanang ora keno nangis! Bocah lanang kui kudu kuat!" seru Danan. Bak sihir, Fajar langsung membungkam mulutnya, meski di kedua pelupuk matanya masih ada sisa-sisa air mata yang menempal. Anak itu memilih untuk menuruti perkataan dari sahabatnya itu, daripada harus mempersiapkan diri untuk tamparan selanjutnya.
Danan diam sejenak, mengalihkan pandangan ke arah sungai yang kini berubah seperti neraka baginya. Air semakin naik di setiap menit. Dalam seumur hidup, Danan belum pernah melihat sungai, tempatnya menuangkan hobi itu menjadi sangat mengerikan, yang mana hal itu mampu membuat rasa trauma terukir di hati Danan.
Namun, ada perasaan lain yang Danan rasakan, lebih besar dari trauma yang dirasakannya. Firasat yang sempat muncul dalam benak, kini menunjukkan eksistensinya kembali. Danan semakin yakin, ada sesuatu buruk yang akan menimpa desanya. Sesuatu yang jahat ... dan sangat berbahaya.
***
"Adi ...! Mrene rewangi Ibu, Di ...!" (Adi ...! Sini bantuin Ibu, Di ...!) Gema suara yang tak terbalaskan terlontar beberapa kali. Ibu Rumi mengernyitkan dahi, tak biasanya putranya itu mengabaikan panggilannya. Tak terlalu diindahkan, Ibu Rumi memilih untuk mengangkat jemuran seorang diri. Wanita paruh baya itu berjalan ke arah halaman belakang, tampak angin yang begitu kencang menerpa wajahnya ketika pintu baru saja dibuka. Ibu Rumi memekarkan telapak tangan untuk menutupi wajah.
"Astagfirullah ...," ucapnya tatkala melihat beberapa baju yang telah berada di atas tanah. Tak salah lagi, penyebabnya ialah badai kecil yang tengah menari-nari. Dengan pakaian daster yang berkibar, Ibu Rumi segera memunguti beberapa baju yang tergeletak, juga mengambil sisanya yang masih tergantung. "Ya Allah ... percuma aku ngumbahi," (Ya Allah ... percuma aku mencuci) keluhnya.
Setelah semua pakaian berada di tangannya, Ibu Rumi segera masuk ke dalam rumah, tak lupa kembali menutup pintu belakang agar debu-debu yang berterbangan tak ikut bertamu ke dalam. Ibu Rumi lantas meletakkan semua pakaian ke atas sofa ruang tamu. "Adi ...!"
Kembali dipanggilnya anak tertua. Ibu Rumi heran, mengapa Adi sama sekali tak hadir hadapannya? Apa yang sebenarnya sedang ia lakukan?
Bertepatan dengan pertanyaan yang muncul dari isi kepalanya itu, samar-samar Ibu Rumi mendengar suara bisikan dari arah sebuah kamar. Jantung wanita paruh baya itu mulai berdetak, menyadari jika suara itu berasal dari kamar putrinya, Lastri.
Satu tegukan air liur menjadi pembuka langkah kaki Ibu Rumi. Dengan penuh waspada, dirinya mendekat ke arah pintu kayu dengan ukiran nama dari sang pemilik. Tekadnya telah mantap, Ibu Rumi siap menghadapi apa pun di depan sana.
Tak terasa, Ibu Rumi berada di jarak satu jengkal dari pintu. Suara bisikan itu semakin jelas. Namun, Ibu Rumi masih belum bisa menerka apa yang tengah dibicarakan, yang jelas itu adalah suara anak laki-lakinya yang tengah berbicara dengan sesuatu. Penasaran, Ibu Rumi mencoba untuk menempelkan salah satu telinganya ke dinding pintu.
Sayangnya, belum sempat dirinya melakukan itu, tiba-tiba saja knop pintu bergerak, bersamaan dengan hadirnya seorang pria bertubuh tinggi yang menatap tak percaya akan kehadiran orang di hadapannya. "Ibu? Kenopo Ibu nang kene?" Pertanyaan itu langsung terlontar dari mulut Adi, membuat Ibu Rumi gelagapan.
"Ibu ... Ibu luru Adi mau, ora sengojo lewat kene. Ibu ... Ibu jaluk tolong rewangi angkat jemuran, tapi Adi ora teko-teko,"(Ibu ... Ibu mencari Adi tadi, tida sengaja lewat sini. Ibu ... Ibu minta tolong bantuin angkat jemuran, tapi Adi tidak datang-datang) jelas Ibu Rumi. Adi merenung, mencerna alasan yang Ibu Rumi berikan. Tak ada yang salah, semuanya terlihat masuk akal.
"Ah, iyo. Ngapurone, Bu, Adi ora krungu, he-he-he ...." (Ah, Iyo. Ngapurone, Bu, Adi ora krungu, he-he-he ....) Gelagat Adi semakin terlihat aneh. Rasa kecurigaan semakin tumbuh membesar di hati Ibu Rumi. Wanita paruh baya itu mengernyitkan dahi, mendeteksi adanya sesuatu yang disembunyikan oleh putranya. "Yowes, Bu, Adi rewangi noto baju, yo." (Ya sudah, Bu, Adi bantuin menata baju, ya)
"Di!"
Langkah Adi terhenti, menoleh ke arah lengannya yang ditahan oleh ibunya. Pria itu membalas dengan wajah bertanya. "Mau nang kamar, Ibu krungu Adi iseh dongeng karo wong. Iku sopo, Di? Ora mungkin Lastri, 'kan? Ibu reti, suarane bedo." Tadi di kamar, Ibu dengar Adi masih berbicara sama seseorang. Itu siapa, Di? Tidak mungkin Lastri, 'kan? Ibu tahu, suaranya berbeda) Tanpa basa-basi, Ibu Rumi menumpahkan semua pertanyaannya. Kini, keadaan menjadi terbalik, Adi terlihat sangat gugup.
"Anu ... Bu, Adi ... Adi e ... ah, Adi moco-moco buku harian e Lastri seng nang mejo belajar. Adi penasaran, opo bae seng bocah kae tulis." Adi menjelaskan.
"Tapi ... Ibu krungu koyo ono wong liyo nang njero kamar? Ibu yakin, Adi ora dewe." (Tapi ... Ibu dengar seperti ada orang lain di dalam kamar? Ibu yakin, Adi tidak sendiria)
Adi bungkam, tak tahu harus menjawab apa lagi. Dari raut wajah Ibu Rumi, terlihat dengan jelas bahwa wanita paruh baya itu menaruh kecurigaan besar terhadap dirinya.
Tak juga mendapatkan balasan. Ibu Rumi menepuk kedua pundak Adi. "Di, jujur karo Ibu, sebener e rahasia opo seng Adi simpen? Akhir-akhir iki, tingkah e Adi aneh, sering mlebu kamar Lastri wayah wengi, ngomong dewe, karo iseh akeh maneh. Tolong jelaske, Di, kenopo ...?" (Di, jujur sama Ibu, sebenarnya rahasia apa yang Adi simpan? Akhir-akhir ini, tingkahnya Adi aneh, sering masuk kamar Lastri di malam hari, berbicara sendiri, dan masih banyak lagi. Tolong jelaskan, Di, kenapa ...?)
Adi menunduk, tak berani menatap mata ibunya dari jarak dekat. Hampir saja bibirnya menyeletuk. Namun, Adi menarik ucapannya kembali. Adi hanya menggelengkan kepala pelan. "M–maaf, Bu, Adi ... Adi ora biso jelasne. Saran Adi, Ibu ora usah ikut campur, iki Kabeh ben dadi urusan e Adi, yo, Bu ...."
Usai balasan itu terlontar, Adi segera meninggalkan ibunya bersama dengan segudang pertanyaan yang disimpan dalam isi kepala. Ibu Rumi hanya bisa mengelus dada. Sembari bergumam pelan, Ibu Rumi berjalan menyusul putranya itu.
"Bener-bener, yo, sifat bapak e seng pertama nurun."
SURAT DARI PENULIS (2) :
Hai, hai, hai ...! :)
Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan untuk menyapa para pembaca cerita saya yang sangat luar biasa. Tanpa adanya kalian, mungkin cerita Rogo Dedemit ini akan berhenti di tengah jalan. Percayalah, kalian adalah sumber penyemangat author dalam menulis. Terima kasih, terima kasih, dan terima kasih!!!!
(Tepuk tangan untuk kalian semua ...!!!)
Oh, ya, berhubungan cerita Rogo Dedemit ini sudah memasuki pertengahan bab, dan pastinya ditandai dengan konflik-konflik yang mulai mengental. Bersiap-siaplah, karena di atas bab 26 ini, teror Desa Guyub Makmur baru saja dimulai ....
By The Way, author penasaran, nih, apa saja teori liar yang ada di kepala kalian sepanjang jalannya cerita? Coba tulis di kolom komentar, ya ...!!!!
Sepertinya itu saja hal-hal yang ingin saya sampaikan di sesi sapa yang kedua ini. Jika ada kata atau kalimat yang kurang berkenan di hati, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya🙏🏻
Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya ...! :)
Salam manis,
Putra Anggara
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)
HorrorRank 1 in #horror (23 - 10 - 2023) Rank 1 in #horor (15 - 02 - 2023) "Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Suara itu meraung-raung hingga terdengar oleh satu penduduk desa. Para warga sontak berkumpul untuk mengobati rasa penasaran akan...