Duar ..!
Dentuman yang terdengar di angkasa, merambat dengan cepat hingga ke telinga gadis itu. Mendadak, suasana di sekitar menjadi gelap gulita, tak ada secercah cahaya lagi yang menerangi malam ini. Entah apa yang disambar oleh petir itu hingga semua aliran listrik yang menuju ke desa menjadi terputus.
Tut ...!
Nayla berdecak kesal, menatap ponsel miliknya yang tiba-tiba saja tanpa sinyal, padahal Nayla sedang berbincang-bincang dengan sang bapak, Pak Samad. Nayla menatap ke arah kiri atas di layar ponselnya, tak ada jaringan sedikit pun yang diperoleh olehnya. Nayla menggelengkan kepala, menatap lesu karena ia tak bisa lagi saling terhubung dengan orang tuanya itu.
"Duh ...! Ono-ono wae ...," (Duh, ada-ada saja) gumamnya. Nayla menyisir sekitar. Kemudian, ia mengaktifkan penerang di ponselnya, menyorotkannya sebagai pembantu dirinya dalam mencari sebuah lilin. Pada akhirnya, benda itu bisa ia dapatkan di sebuah lemari yang ada di dapur. Nayla segera memungut benda yang ia cari, lalu segera pergi dari ruangan belakang itu, menuju ke kamarnya sendiri. Tak lupa, sebelum itu dirinya sempat menyalakan kompor, menyalurkan api dari sana menuju ke sumbu lilin.
Nayla berjalan dengan sangat hati-hati. Membawa sebuah api kecil bisa saja menjadi sumber masalah besar bilamana Nayla dengan ceroboh menjatuhkannya dan mengenai interior yang mudah terbakar. Oleh karena itulah, Nayla berjalan dengan sangat pelan.
Dak! Dak! Dak!
Alunan benda keras yang saling beradu terdengar. Nayla menghentikan langkahnya tepat di depan kamarnya. Gadis itu membalikkan badan, mengikuti asal suara tersebut. Benar saja, di ruang tamu, Nayla lupa menutup jendela, membuat penutupnya terhentak beberapa kali karena angin yang berembus.
Nayla meletakkan lilin di atas meja, berlari kecil untuk mengunci jendela itu. Sayangnya, Nayla terlambat dikarenakan gorden dan juga lantai di sana telah basah akibat diterpa oleh cipratan air hujan. Namun, Nayla tak teralalu memedulikan hal itu, memilih untuk langsung menutupnya. Namun, hal yang tak terduga membuat dirinya terpatung.
Nayla memasang telingannya dengan saksama, menguraikan suara derasnya hujan dengan gema asing yang ia dengar. Tak disangka, kenyataan yang Nayla dapatkan sungguh mengerikan. Baru disadari jika itu merupakan suara dari seseorang yang meminta tolong, meraung-raung di tengah badai yang menerjang. Nayla mengatupkan bibir, melebarkan matanya. Kini, suara itu terdengar semakin jelas, sangat jelas hingga sanggup menggambarkan betapa mengerikannya ketakutan yang orang itu alami.
"TOLONG ...!!!!!!!"
***
"Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Tampaknya, seorang pria paruh baya itu berhasil memancing semua orang untuk keluar dari dalam rumah. Dengan tenaganya yang terkuras banyak, Dodo terdudul lesu, di bawah jutaan tetesan air yang jatuh. Tubuhnya bergetar hebat, matanya tak berhenti melotot. Ketakutan yang dirasakannya begitu besar.
Dalam sekejap, para warga mengelilingi pria itu, menginterogasinya. Namun, Dodo hanya menggelengkan kepala, tak sanggup lagi untuk mengeluarkan satu kata pun. Wajahnya mendadak pucat pasi. "Do, koe weruh opo, Do?! Jawab, Do?" (Do, kamu lihat apa, Do?! Jawab, Do?) Beberapa kali tamparan mendarat di pipinya, menyadarkan pria itu yang mulai kehilangan akal sehat. Dodo tiba-tiba saja menangis, menjerit layaknya tak seperti seorang pria.
Semua orang mulai penasaran, apalagi saat Dodo merentangkan salah satu lengannya, mengarahkan jari telunjuknya ke arah sawah. Awalnya, orang-orang tak paham akan tempat yang Dodo maksud. Namun, pada akhirnya Dodo menyembutkan sebuah kalimat yang membuat siapa saja merinding hebat. "K-kuburan e ... P-Pak J-Joko!"
Rasa penasaran mengalahkan rasa takut dalam benak. Meski sempat ragu, para warga berhasil meruntuhkan itu, berbondong-bondong menuju ke tempat peristirahatam terakhir. Puluhan senter dan payung telah siap, begitu juga dengan senjata tajam sebagai pelindung diri. Semua pasang kaki itu berjalan beriringan, menyibak misteri tentang rasa takut yang Dodo alami.
Setelah menempuh perjalanan pendek, saat ini di hadapan mereka semua, beberapa batu nisan telah terlihat, dihiasi oleh nuansa mengerikan dari tempat itu. Baru sampai di pintu masuk saja, ada banyak orang yang telah mengurungkan niat, memilih untuk kembali saja. Namun, tak sedikit juga para warga yang memiliki tekad tinggi, pantang mundur dan memilih tetap melanjutkan langkah untuk menelusur lebih dalam.
Cahaya senter menyorot ke beberapa arah, mencari-cari kuburan baru yang terletak paling pojok. Namun, sama sekali tak mereka temukan gundukan tanah yang masih tinggi, yang mana itu merupakan tanda kuburan tersebut masih belum lama. "Pak, kuburan e seng ngendi, yo? Sak kelinganku nang kene, tapi ... kok, ora ono lemah seng duwur?" (Pak, kuburannya yang mana, ya? Seingatku di sini, tapi ... kok, tidak ada gundukan tanah?) ucap salah seorang warga, menyoroti bagian yang menjadi keyakinanya bahwa itu adalah letak kuburan Pak Joko.
Kini, semuanya berdiri di belakang orang itu, memperhatikan hal yang sama. Selama beberapa menit, akhirnya seluruh tubuh mereka menegang, dengan sebuah fakta yang berhasil menyambar pikiran mereka masing-masing, layaknya kemampuan telepati. "Salah seorang warga menyeletuk dengan getar. "I-iku ... iku memang kuburan e Pak Joko. Aku ... aku re-reti kenopo ora ono gundukan e. A-asale ...." (I-itu ... itu memang kuburannya Pak Joko. Aku ... aku ta-tahu kenapa tidak ada gundukannya, karena ....).
Belum selesai berbicara, perkataannya disambung warga yang lain, dengan nada suara yang sama. "Kuburan e ... kuburan e wes digali ...." (Kuburannya ... kuburannya sudah digali ....) Bersamaan dengan itu, sebuah objek putih yang tak jauh dari sana, tersorot oleh senter. Para warga berpandangan satu sama lain, memiliki dugaan yang sama persis. Untuk memastikan, mereka semua tetap mengambil langkah kaki untuk mendekatinya. Kemudian, hal yang terjadi selanjutkan membuat mereka sangat menyesal karena telah mengambil keputusan yang salah. Apa yang ditemukan sungguh mencengangkan.
Jasad Pak Joko tergeletak di sana. Wajah setengah busuk dengan warna kebiruan menghadap ke arah para warga. Kedua bola mata jasad itu menatap kosong, seolah meminta pertolongan kepada mereka semua tentang apa yang ia alami.
Namun, semua itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan tetelan-tetelan daging yang berserakan di atas tanah, berasal dari perut jasad malang itu yang telah berlubang, menghasilkan bau bangkai yang sangat pusing, mampu membuat kepala menjadi pusing bila sekali menghirupnya.
Berlanjut dengan cahaya senter yang mengikuti ke arah jejak daging-daging itu. Tak disangka, titik pemberhentiannya tak jauh dari sana. Seorang anak gadis yang tengah membelakangi mereka semua, tak sengaja terkena cahaya senter itu, membuatnya menyadari kedatangan orang lain. Anak gadis itu menjeda kegiatannya, berdiri tegak, lalu menoleh ke semua orang secara perlahan.
Kaki, wajah, dan tangan gadis itu dipenuhi dengan darah. Tatapannya yang tajam berhasil membuat semua orang mundur, menjerit histeris saking tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Lastri, lagi-lagi memamerkan senyuman ramahnya kepada semua orang. Kali ini, senyuman yang ia berikan berbeda karena ada salah satu organ panjang yang menggantung di mulutnya.
Lastri melepaskan gigitannya dari santapan. Baginya, beberapa orang yang datang lebih membuatnnya tertarik. Berjalan perlahan sembari bersenandung, Lastri menunjukkan ekspresi riangnya, menikmati raut wajah kesetanan dari para warga. Lastri tertawa terbahak-bahak. Setelahnya, Lastri menyeru, seolah memberi kabar kepada teman-temannya. Sembari menunjuk, sebuah suara dengan intonasi tinggi terlontar dari dalam mulutnya.
"PARA PENGABDIKU! JUPUK EN CALON-CALON ROGOMU! Khi-khi-khi-khi ...!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)
HorrorRank 1 in #horror (23 - 10 - 2023) Rank 1 in #horor (15 - 02 - 2023) "Tolong ...! Tolong ...! Kuburan e Pak Joko ...!" Suara itu meraung-raung hingga terdengar oleh satu penduduk desa. Para warga sontak berkumpul untuk mengobati rasa penasaran akan...