Bab 3

1.1K 88 3
                                    

Kini, semua orang telah berkumpul di depan rumah Pak RT, lengkap dengan peralatan untuk mencari orang yang hilang, yakni obor, beberapa benda tajam untuk berjaga-jaga, alat-alat dapur, dan masih banyak lagi yang ada di tangan mereka. Suasana ricuh pun terasa, dengan berbagai dugaan yang terlontar dari mulut para warga. Tentu, semua dugaan itu lebih meranah ke sisi negatif.

Semua warga berencana untuk mencari Lastri di sebuah hutan yang ada di ujung sawah. Tempat itu menjadi satu-satunya tempat yang mungkin menjadi titik keberadaan Lastri saat itu, mengingat seluruh tempat yang ada di desa telah dijelajahi. Namun, anak gadis bernama Lastri itu tak kunjung dijumpai.

Pak Joko, terduduk lemas di kursi ruang tamu rumah Pak RT. Di sampingnya, Ibu Sumi tak berhenti meneteskan air mata, merasa khawatir kepada anak bontotnya itu. "Pak, apa sebaiknya saya ikut pencarian ini?" ucap Pak Joko tiba-tiba, memohon kepada orang yang duduk di depannya.

Pak RT menatap iba. "Maaf, Pak Joko. Mengingat kondisi Pak Joko, tidak memungkinkan Pak Joko untuk ikut bersama kami. Saya khawatir, Pak Joko kenapa-napa waktu dalam perjalanan," jelasnya kemudian. "Pak Joko yang tenang, saya bersama para warga akan melakukan sisir hutan dengan rata. Dengan begitu, pencarian Lastri kemungkinan besar membuahkan hasil."

"Tapi Pak, yang hilang itu anak saya! Gak mungkin saya cuma duduk-duduk santai di sini, saya harus ikut cari!" Pak Joko bersikeras, menatap Pak RT dengan wajah serius. Laki-laki yang ditatapnya itu mengembuskan napas kasar.

"Ya sudah, jika Pak Joko ingin bergabung, apa boleh buat. Saya juga turut prihatin atas rasa kehilangan yang Bapak rasakan. Jadi, saya tidak hak untuk melarang Bapak untuk ikut mencari," ucap Pak RT.

Sementara itu, suasana di halaman rumah semakin ramai saja. Banyak para warga tambahan yang ikut serta ke dalam tim, membuat mereka berdesak-desakan. Di antara mereka semua, Danan dan Fajar turut serta ikut dalam menyaksikan keramaian itu. Hanya mereka berdua lah satu-satunya anak di bawah umur yang ada di sana.

"Heh, cah cilik! Bali mono, ora usah melu-melu! Urusan iki ben dadi urusan wong tuo!" (Heh, anak kecil! Pulang sana, tidak ucap ikut campur! Urusan ini biar jadi urusan orang dewasa!) ucap seorang laki-laki paruh baya, menatap tajam ke arah dua anak itu. Dua anak itu memandangi satu sama lain, lalu kembali mengarahkan sorot mata ke arah laki-laki paruh baya itu.

"Ngapurone, Pakde, kene entuk melu, yo? Aku Karo Fajar iku koncone Lastri, dadi kene pengin weruh keadaan e Lastri," (Maaf, Paman, kita boleh ikut, ya? aku sama Fajar itu temannya Lastri, jadi kita ingin lihat keadaan Lastri) ucap Danan mewakili.

"Halah, ora usah gaya! Bali o, bahaya, mengko nek koe-koe podo gantian diculik demit, malah repot." (Halah, tidak usah banyak gaya! Pulang, bahaya, nanti kalau kalian gantian diculik setan, malah repot).

"Tapi Pakde ...."

"Wes, ora usah tapi-tapi, bali!"

Karena usiran itu, Danan dan Fajar pun melenggang pergi, meninggalkan kerumunan dengan berat hati. Mereka berdua ingin sekali terlibat dalam pencarian. Mau bagaimana pun, rasa bersalah yang ada di dalam diri mereka membuat sebuah dorongan di hati Danan dan Fajar untuk menebus tindakan yang mereka perbuat.

"Jar." Danan menahan tangan Fajar yang hendak melangkah pergi, memamerkan seringainya. "Aku due ide."

~~~•~~~

Setelah berdiskusi lama untuk membahas rencana pencarian selama satu jam. Akhirnya, kegiatan pun dimulai dengan para warga yang berbondong-bondong melangkahkan kaki menuju ke hutan. Tak lupa alat-alat dapur yang mereka bawa dipukul, menghasilkan suara bising yang konon bisa membuat anak kecil yang terculik oleh setan segera ditemukan.

Para warga dipecah menjadi tiga kelompok, terbagi menjadi kelompok satu, dua, dan tiga. Kelompok satu bertugas untuk menyisir daerah persawahan desa yang sangat luas, dua kelompok lainnya menelusuri hutan di bagian kanan dan kiri.

"Lastri! Lastri! Lastri!" Sebuah nama yang tak henti-hentinya diteriakkan dengan lantang, berharap anak pemilik nama mendengar suara itu. Namun, semua itu tetap tak menghasilkan apa pun.

Tak menyerah, para warga terus-menerus melakukan hal yang sama, yakni memanggil Lastri dan memukuli beberapa alat yang mereka bawa. Hal itu terus dilakukan hingga tibalah semua warga di ambang hutan.

Suasana tempat itu sangat mencekam, terlebih dengan keadaan yang gelap gulita, bahkan rembulan pun tak memancarkan cahayanya malam ini. Para warga mulai berpencar, mencari di kedalaman hutan.

Pak Joko dan Pak RT, mereka berdua berada di dalam satu kelompok yang sama. Beberapa kali Pak Joko berteriak sangat kencang, melebihi yang lainnya. "Lastri! Bali o, nduk! Melaske Bapak karo Ibumu!" ucapnya dengan harapan yang tinggi. Lagi-lagi, teriakannya itu tak membuat Lastri menampakkan batang hidungnya.

Mereka terus mencari hingga titik yang paling dalam di tempat itu. Tiba-tiba saja angin kencang menerpa, membuat beberapa pepohonan yang ada terombang-ambing. Daun-daun berguguran, mengenai para warga yang ada di bawahnya. Tak lama kemudian, gemuruh petir terdengar dari angkasa.

"Pak RT, sepertinya sebentar lagi mau hujan, apa lebih baik kita meneduh dulu?" ucap salah seorang warga. Tentu, Pak RT segera mengiyakan ujaran tersebut, mengingat rintikan air hujan mulai membasahi mereka perlahan.

Tak ada tempat yang bisa dijadikan berteduh kecuali sebuah gua yang ada di pinggir sungai. Pak RT mengajak para warganya untuk mengungsi terlebih dahulu ke sana, menunggu hujan reda untuk kembali memulai pencarian. Pak RT berfirasat bahwa tetesan deras air akan menghujani bumi sebentar lagi.

Benar saja, beberapa menit setelah berteduh, ribuan air jatuh dari langit dengan kencang, membuat suasana menjadi riuh oleh alam. Pak Joko, berdiri di ambang gua dengan wajah khawatir, memikirkan nasib anaknya saat ini. Beberapa warga berusaha menenangkannya. Namun, semua itu tak cukup untuk membuat hatinya merasa lega. Mau bagaimana pun, satu-satunya yang menjadi obat rasa gelisah itu hanyalah kabar keberadaan Lastri.

"Sing tenang, nggih, Pak. Insyaallah, Lastri bakal ketemu." Lama berdiri, kini Pak Joko pun menurut untuk ikut duduk di batu-batu yang ada di gua. Pak RT memijat-mijat punggungnya, berusaha untuk mencairkan kegelisahan.

Siapa sangka, hal selanjutnya yang terjadi benar-benar membuat semuanya terperangah. Para warga berkumpul di ambang gua, memandang ngeri ke beberapa pohon yang diterpa hujan itu. Namun, bukan itu yang membuat perhatian mereka terkumpul.

"Aaaaaaa!!!!"

Pekikan kencang yang menggema di seluruh penjuru hutan. Tak salah lagi, suara itu milik seorang gadis bernama Lestari. Wajah-wajah yang semula dihiasi rasa kekhawatiran, kini menjadi raut kengerian ketika mendengar nada dari suara tersebut, seakan sedang dilanda kesakitan yang luar biasa.

"Pak Joko!" Pak RT berlari, mengejar pria paruh baya itu yang langsung keluar dari dalam gua, mencari sumber suara tersebut. Di bawah jajahan air, para warga mengikuti keduanya sembari memasang ekspresi yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

"Aaaaaa!!!!!"

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang