Bab 30

464 42 12
                                    

"Nan!" Danan terperanjat dari lamunannya. Ya, sekarang Danan tahu maksud dari Lastri. Satu-satunya yang bisa berkomunikasi dengan kuda putih itu hanyalah dirinya. Itu berarti, hanya Danan saja yang bisa mencari jawaban atas semua misteri yang terjadi. Namun, Danan masih ragu dengan kemampuan spesial miliknya.

Ia masih tak tahu cara untuk memanggil dan berkomunikasi dengan kuda putih itu. Danan berdecak kesal, menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

"Lho, Nan, kenopo?" Fajar menatap aneh temannya itu. Danan melirik sekilas, menggelengkan kepala.

"Ora opo-opo, Jar. Aku ... cuma iseh mumet," (Tidak apa-apa, Jar. Aku ... hanya lagi pusing) ucapnya.

"Mumet-mumet, kerjo yo durung, wes mumet,"  (Pusing-pusing, kerja juga belum udah pusing) balas Fajar. Danan sama sekali tak menggubris ucapannya. Entah kenapa, sepasang telinganya lebih peka terhadap suara-suara yang ada di luar sana. Suara derap langkah kaki puluhan orang, berjalan secara beriringan dengan ritme pelan.

Danan membekap mulut Fajar yang hendak melontarkan kalimat lain, berdesis kepadanya. Fajar yang tak tahu apa-apa hanya menurut, membuat ruangan di sekitar menjadi sunyi. Di saat itulah, mata Fajar terbelalak, menyadari maksud dari temannya itu.

"Nan ...?"

Danan berjalan pelan menuju ke arah jendela, menyibak sedikit gorden untuk melihat keadaan luar. Benar saja, Danan menyaksikan puluhan warga kampung yang berjalan melewati rumahnya. Namun, anehnya, mimik wajah mereka datar, pucat, seolah tak ada kehidupan yang terpancar dari sana.

Tak mau ketinggalan, Fajar menyelinap dan ikut bergabung di sebelah Danan. Sama seperti reaksi sang teman, Fajar merasakan hawa kengerian yang dihasilkan oleh aura orang-orang itu. Fajar merasa sangat asing dengan mereka, meski semua orang itu dikenal olehnya. Entah apa alasannya.

"Nan, wong-wong iku ...." (Nan, orang-orang itu ....)

"Aneh!" sambung Danan. "Delok, Jar, wajah e do pakem, karo cara jalan e aneh, dudu koyo wong biasa. Opo jangan-jangan ...." (Lihat, Jar, wajahnya pada datar, dan cara jalannya aneh, bukan seperti orang biasa. Apa jangan-jangan ....) Sebuah tebakan buruk terbesit di benak Danan, tetapi ia segera menepisnya. "Ah, ora mungkin!"

"Opo seng ora mungkin, Nan?" (Apa yang tidak mungkin, Nan?) Kini, giliran Fajar yang kembali membuka suara. "Aku biso reti ... opo seng koe pikirke ...." (Aku bisa tahu ... apa yang kamu pikirkan ....) Fajar diam sejenak, juga merasa ragu dengan tebakannya itu. Namun, berbeda dari anak di sebelahnya, Fajar mampu mengungkapkan itu secara gamblang. "Tingkah e wong-wong iku aneh, koyo dudu wong normal. Ojo-ojo ... wong-wong iku ...." (Tingkahnya orang-orang itu aneh, seperti bukan manusia normal. Jangan-jangan, orang-orang itu ....) Fajar menelan ludah, merasa berat mengucapkan sebuah kata terakhir.

"Kesurupan."

Danan menggelengkan kepala, berusaha menganggap bahwa semua itu salah. "Ora mungkin, Jar, kepie carane ...." (Tidak mungkin, Jar, bagaimana caranya ....)

Deg!

Kedua anak itu mematung. Atas kecerobohan mereka yang terlalu fokus, tak sadar ada seorang warga yang tengah menatap lurus ke arah mereka berdua. Danan dan Fajar gugup, tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah menutup kembali gorden itu dengan sigap. Tentu saja, seseorang yang melakukan itu adalah Danan.

"Edan! Kenopo kene ora sadar nek ono seng weruh!" (Gila! Kenapa kita tidak sadar kalau ada yang lihat!) umpat Fajar dengan nada lirih. Danan duduk membelakangi jendela, begitu pun dengan Fajar yang tak lama mengikutinya. Kini, keringat dingin mengucur di setiap pori-pori. Detak jantung yang berdebar tak terdengar, terkalahkan oleh derasnya air hujan bercampur gemuruh petir yang masih setia menerjang.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang