Bab 33

217 37 2
                                    

Duk!

Hantaman keras tongkat kayu mendarat mulus di tengkuk Pak Sada, membuat tubuhnya melemas hingga pria paruh baya itu pun terjatuh. Para warga mulai mengelilingi tubuhnya, termasuk dengan sang kepala desa yang berlutut di hadapannya, mengangkat dagu Pak Sada. "Tenang, Pak Sada, iki demi kebaikan e wong akeh," ucapnya dengan lirih.

Pak Sada yang masih memiliki sedikit tenaga, membalas dengan air mata yang menetes dari kedua matanya. "Dadi ... dadi iki alesan kenopo koe-koe podo ora tau nang mushola! Koe-koe kabeh sesat!" seru Pak Sada dengan tangis yang pecah.

Pak Jalu menggeleng dengan cepat, menanggapi umpatan yang Pak Sada berikan. "Aku wes ngomong, Pak, iki kabeh demi urip e wong deso, termasuk anak lan bojone sampean," (Saya sudah bilang, Pak, ini semua demi kehidupan semua orang desa, termasuk anak dan istrinya anda) balasnya. Pak Sada tak bisa berkata-kata lagi, tak kuasa menahan rasa kecewa. Pak Sada hanya bisa meringkuk kesakitan, tubuhnya semakin melemas, pandangannya mengabur. Sesaat sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya, samar-samar Pak Sada mendengar penuturan dari salah satu warga.

"Pie, Pak? Sisan dibakar bae ora opo-opo, 'kan?" (Bagaimana, Pak? Langsung dibakar saja tidak apa-apa, 'kan?)

***

Pak Sada terbangun di sebuah hutan yang lebat. Dengan rasa sakit yang masih menguasai tubuhnya, Pak Sada bangkit berdiri dengan hati-hati, memandangi area sekitar yang tampak asing baginya.

Tak ada secercah cahaya yang masuk ke dalam kornea matanya, Pak Sada hanya melihat kegelapan di sana sini, membuat napasnya menjadi sesak. Dengan penuh kebingungan, pria paruh baya itu berjalan, menyibak semak belukar dengan tinggi yang mencapai lututnya. Dingin, sakit, gelisah, menjadi satu.

"Tolong ...!!!!" Gema suara berhasil ia lontarkan, meski dalam keadaan yang kurang prima. Merasa tak ada respons, Pak Sada kembali menggemakan seruan yang sama, berharap ada yang mengetahui akan keberadaannya.

Namun, nihil, semua usaha yang Pak Sada lakukan sia-sia. Merasa jika tenaganya sudah di ambang batas, Pak Sada memilih untuk mengistirahatkan kakinya di sebuah batu besar yang ada di sana. Perlahan, Pak Sada terpejam, mengatur napasnya yang mulai menderu.

"Hah ... hah ... hah ...."

"Assalamualaikum!"

Pak Sada terperanjat, segera bangkit dan menyisir lingkungan sekitarnya. Baru saja ia mendengar suara seseorang di dekatnya. Oleh karena itulah, dengan penuh antusias Pak Sada mencari sang pemilik suara. "Wa–waalaikumsalam!" balasnya.

Pak Sada mengernyitkan dahi. Entah kenapa, di sekitarnya sangatlah sunyi, tak ada tanda-tanda kehadiran manusia selain dirinya. Di tengah-tengah kebingungan, Pak Sada mulai berpikir jika itu hanyalah imajinasinya belaka. Namun, seolah menjawab kebingungannya itu, suara seseorang yang tadi terulang kembali.

"Sada, sedulurku."

Dengan refleks, Pak Sada menoleh ke belakang, mendapati seorang pria dengan pakaian adat Jawa yang lengkap, tengah menaiki seekor kuda putih dengan gagahnya. Dilihat dari postur tubuh, pria itu memiliki umur yang lebih tua dari Pak Sada.

"S–sinten?" (Siapa?) tanya Pak Sada. Pria itu tersenyum,  lalu turun dari kendaraannya.

"Aswasada," jawab pria itu sembari mengulurkan tangannya, menunggu Pak Sada membalas. Pak Sada akhirnya menautkan tangannya dengan pria itu, merasa masih tak percaya dengan kehadirannya. Sedari tadi, Pak Sada sama sekali tak mendengar adanya suara tapak kaki kuda.

"Aku reti, jenangan bingung kenopo aku ono nang kene," (Aku tahu, Anda bingung kenapa aku ada di sini) ucap pria itu, seolah bisa membaca pikiran Pak Sada. Dengan penuturannya barusan, Pak Sada sadar jika pria itu pun mengakui keanehan yang terjadi. Sebenarnya, siapa pria itu?

Ingin rasanya Pak Sada melontarkan banyak pertanyaan kepada pria itu. Namun, tenggorokannya terasa terkecat, tak sanggup melontarkan bahkan satu kata pun. Pria bernama Aswasada itu mendekatinya, menepuk pundak pria itu sebanyak tiga kali.

"Ora usah bingung. Sak iki, tugas e jenengan iku nyelametke desone jenengan. Para warga wes kehasut karo demit iku. Cepet opo lambat, kabeh warga deso bakalan ngelakoni hal-hal seng paling jahat. Tolong, jenengan seng biso nompo opo seng aku kei. Jenengan wong sing terpilih. Cuma darah keturunan e jenengan sing biso ngalahke iblis iku." (Tidak usah bingung. Sekarang, tugasnya Anda itu menyelamatkan desa. Para warga sudah terhasut oleh demit itu. Cepat atau lambat, semua warga desa akan melakukan hal-hal yang paling jahat. Tolong, Anda yang bisa menerima apa yang aku berikan. Anda orang yang terpilih. Hanya darah keturunan Anda yang bisa mengalahkan iblis itu)

Pria itu kembali melontarkan senyuman ramah, sebelum ia menunggangi kembali kudanya. Dengan tubuh yang masih terpaku, Pak Sada belum bisa mencerna semua yang dikatakan olehnya. Semuanya terasa sangat abu-abu.

"Jenengan bakalan reti dewe jawaban e, Sada ...." (Anda akan mengerti sendiri, Sada ....)

Tepat setelah mengatakan hal itu, lingkungan di sekitar menjadi hitam pekat. Pak Sada sama sekali tak melihat apa pun, merasakan apa pun yang ada di sana, semuanya terganti dengan rasa dingin yang Pak Sada nikmati.

Perlahan, sepasang mata pria itu terbuka. Kali ini, bukan lagi pemandangan hutan gelap yang Pak Sada lihat, melainkan sebuah ruangan dengan ukuran yang sangat kecil, dengan banyak sarang laba-laba yang menempel di setiap sudutnya.

Pak Sada terduduk, kepalanya terasa sangat sakit. Baru ia sadari jika ia hanya bertelanjang dada saja, membuat hawa dingin lebih mudah merasuk ke dalam tulang.

Pak Sada bangkit, menuju ke arah pintu kayu yang ada di depannya. Dengan sekuat tenaga, pria paruh baya itu menggebrak-gebrak pintu, memaksanya untuk terbuka. Pintu yang terkunci dengan kuat tak bisa dibobol dengan mudah. Oleh karena itulah, Pak Sada hanya membuang-buang energi saja.

Samar-samar dari luar sana, terdengar jeritan gadis kecil yang meminta tolong. Namun, dalam sekejap suara itu hilang, diiringi dengan bunyi pukulan yang sangat keras. Pak Sada yang mendengar hal itu hanya bisa menangis, menyalahkan dirinya sendiri yang tidak bisa menolong anak yang tak berdosa itu.

Pak Sada meringkuk di belakang pintu kayu, sepasang telinganya tak pernah luput dari suara perbincangan para iblis berwujud manusia itu. Kalimat demi kalimat yang dilontarkan mampu membuat hati Pak Sada tersayat.

"Ayo, cepet gowo bocah iki areng Nyai. Wengi iki juga, kudu ono tumbal ben sawah e kene subur," (Ayo, cepat bawa anak ini ke Nyai. Malam ini juga, harus ada tumbal supaya sawahnya kita subur) ucap salah satu dari mereka, menyinggung sesuatu yang tak dipahami oleh Pak Sada.

Puluhan suara langkah kaki menjauh, pertanda jika orang-orang itu mulai bergerak. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Pak Sada. Mengetahui nasib anak malang itu untuk ke depannya, Pak Sada tak kuasa menahan banjir air mata. Sekilas, ia teringat dengan istri dan anaknya yang berada di rumah.

Entah kenapa, sebuah kalimat yang diucapkan oleh Aswasada, membuat Pak Sada merasa sangat khawatir. Ini adalah awal dari semua musibah yang akan menimpa desanya. Para warga telah meninggalkan rasa kemanusiaan mereka, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang makmur.

Pak Sada memukul pintu kayu itu beberapa kali hingga tangannya berdarah. Mau bagaimana pun, Pak Sada harus keluar dari tempat ini, menyelamatkan semua orang yang belum terkontaminasi oleh kebejatan iblis berwujud manusia itu. Jika terlambat, maka Pak Sada akan kehilangan semuanya.

Rogo Dedemit (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang