"Nyonya... ada surat dari Adipati Sukma."
Giyantri, wanita yang baru saja meletakkan topi capingnya, mendengus mendengar suara seseorang yang sudah sepekan lamanya diam membisu.
Giyantri hanya menatap datar pada nampan yang tepat di depan wajahnya.
Ada banyak tanya di kepala. Namun ada hal yang lebih penting dari semua pembicaraan yang akan terjadi.
Dia lekas meninggalkan seseorang yang di belakangnya langsung menurunkan nampan itu dan mengikuti arah ke mana dia pergi.
"Anda yakin tidak akan membalasnya?"
Giyantri menghentikan langkah sejenak. Tanpa menoleh dia melanjutkan langkahnya.
Mandi berendam di dalam air yang telah tercampur dengan wangi bunga.
Pantulan di atas air menggambarkan sosok wanita pekerja keras yang terbakar sinar mentari.
Giyantri tersenyum. Dia sama sekali tidak menyesalkan pilihannya.
Wanita yang kulitnya kecokelatan karena sinar mentari itu, sangat berani menampakkan keindahannya dalam balutan warna yang banyak dihindari orang sepertinya.
Giyantri mengenakan kain serba putih. Dia bahkan mengenakan riasan bulu ayam berwarna putih.
Duduk dengan sabar di ruang tamu.
Tak lama, suara lekingan kuda ramai terdengar di depan rumahnya.
Langkah kaki nan tegas pun terdengar saling beriringan.
Para pelayan rumah lantas menyiramkan air pada kaki dan kepala pada semua orang yang hendak masuk ke dalam rumah.
"Nyonya.. Adipati Sukma sudah berada di gerbang desa."
Giyantri ingin sekali memukul kepala Kencono, tangan kanan kepercayaannya.
Sedari tadi tak terlihat, Giyantri mengira Kencono sudah sibuk dengan berbagai urusan di Rumah Batik.
Rumah produksi batik dan kain jarik yang berkembang pesat sejak pertama kali dibangun, tiga tahun lalu.
Tanpa menjawab Kencono, Giyantri lekas berdiri.
Giyantri tersenyum pada bawahan suaminya yang mulai masuk ke dalam rumah.
Tepatnya tiga orang kepercayaan dia dan suami, yang sudah membersamai dari titik nol.
Meski agaknya membingungkan karena seharusnya sang suami yang lebih dahulu menyapa, Giyantri tetap menerima hadiah dari ketiga bawahannya.
"Nyonya, maafkan saya. Saya ... tak kuasa."
Setelah berucap dengan ambigu, ketiganya pergi menuju kantor utama, yang memang berada dalam satu halaman rumah.
Ketiganya berbondong-bondong pergi ke samping rumah, melewati pintu besar yang terbuka lebar.
Giyantri belum sempat bereaksi ketika sosok yang telah membuatnya jatuh hati sejatuh-jatuhnya, memasuki ruangan.
Giyantri meraih tangannya. Menciumnya dengan khidmat.
Giyantri mengulas senyum ketika suaminya, Adi Barja, mengusap pucuk kepalanya.
Ujung mata wanita itu menangkap sosok wanita sedang memegang ujung pakaian suaminya.
Pemikiran-pemikiran buruk mulai muncul di kepala Giyantri.
Namun sebab suaminya menarik tangannya lembut, Giyantri tak lagi fokus.
Mata Giyantri sempat merekam wajah yang menunduk itu.
Dia akan bertanya setelah semuanya beres.
Namun Giyantri seolah terlupa dengan semua itu, ketika sang suami menunjukkan perhatiannya yang tiada berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Poligami Aku Poliandri, adil kan?
General FictionSatu tahun tidak bertemu, kehadirannya membawa sesak. Kebahagiaan Giyantri dalam menyambut kepulangan suaminya, berakhir ketika sesosok wanita berjalan sangat dekat dengan sang suami. Adi Barja tidak berdaya untuk memperkenalkan madu istrinya di saa...