04

1K 39 2
                                    

Seseorang terduduk di tengah kursi terbayang oleh sinar rembulan. Diam tidak bergerak.

Ketenangannya memancarkan aura dingin yang kuat.

Suami yang dicintainya..

Pria yang membuatnya melepas segala kenyamanan hidup..

Pria itu hanya berusaha di pagi buta lalu seharian tinggal membersamai gundiknya.

Hati Sang Putri terlalu sakit hingga terlalu sulit menyebar senyum seperti biasanya.

Dia tidak bisa menahan sifat kejinya.

Hanya bisa menjauh untuk keselamatan semua orang.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka.

Dalam mata dinginnya, berkilat sebuah harapan.

Harapan yang langsung terhapus ketika sosok itu sempurna terlihat.

Tubuh berotot dan tinggi besar di bawah sinar rembulan, bukanlah milik suaminya.

Adipati Sukma berjalan lurus tanpa berbalik.

Pintu tertutup rapat melalui tamparan udara dari satu hentakan kakinya.

Giyantri tidak lagi tertarik menghadap pintu masuk.

Dia menarik mata memandangi rembulan yang sendiri di atas langit.

Sama seperti dirinya.

Tamu tak diundang, duduk tanpa izin.

Tubuh tegaknya memancarkan aura keagungan.

Giyantri mencibir dalam hati.

Sama sekali tidak ada kesopanan!

Seperti masa muda mereka, pria ini selalu saja mendatangi istananya.

Mengganggu waktu tidurnya di pagi hari untuk belajar bersama.

"Benar-benar pengganggu."

Suara serak basah akibat menangis semalaman, mengguncang jiwa yang terkekang.

Jakun Adipati Sukma bergulir di dalam tenggorokan.

Posisi Putri ini sangat menantang.

Rebah di kursi malas. Membiarkan pakaiannya turun dan sedikit terbuka.

Tubuh yang telah dilatih sopan santun selama belasan tahun, sangat tidak sopan menaikkan kakinya ke atas kursi.

Saling menumpuk di atas kakinya yang lain.

Memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih.

Bagaimana pun, ini malam pertama mereka.

Adipati Sukma berharap melaksanakannya setelah perayaan, wanita ini malah mengeluarkan suara emasnya.

"Saya tidak tahu jika Putri kami sangat sensual."

Adipati Sukma sangat santai berucap. Sejurus kemudian berjingkat kaget kala sosok lain di dalam ruangan yang sama dengannya, mendekatinya, mendudukinya.

Giyantri duduk di depan pusaka yang diharapkan dan didambakan banyak putri pejabat.

Wajah datar Adipati Sukma, yang bahkan tak berubah ketika meminta pernikahan, kini merah dan gelisah.

Kali ini Giyantri yang berwajah datar. Tidak mengubah ekspresinya.

Sebagai seorang wanita yang sudah menikah, bagian yang mengganjal di belakang tubuhnya sudah tidak asing buatnya.

Giyantri menarik tubuhnya. Mencondongkan tubuhnya tanpa mengubah ekspresi.

"Adipati ingin malam pertama?"

Kamu Poligami Aku Poliandri, adil kan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang