48

57 6 0
                                    

Permaisuri Pasupati menatap suaminya. Raja Pasupati langsung memerintahkan orang-orang untuk merapikan daluang.

Laporan daerah itu hal kecil. Yang sesungguhnya diperhatikan adalah hal lain.

Setiap daerah, setiap rombongan, terutama dari wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, akan ada satu anggota Bhayangkara yang rahasia dan tersembunyi.

Mempercayai pejabat adalah satu hal. Mengetahui keadaan di lapangan adalah keharusan demi kekuatan absolut tanpa intervensi dari pihak lain.

Selama para prajuritnya tidak menekankan suatu berita, tempat mereka memantau; aman dan damai.

Maka selama dua puluh tahun, tidak pernah ada konflik antar daerah.

Saudara-saudari satu ayah berbeda ibu dari Raja Pasupati, tidak memiliki kesempatan membentuk komplotan untuk membuat masalah.

Candramawa masuk setelah diberitakan.

Candramawa masuk berjalan dengan dua lututnya.

Badannya tegap dan penuh rasa hormat, namun tubuhnya sangat kurus hingga tampak tulang di lengan dan kakinya yang terekspos.

"Candramawa, anggota kedelapan, pasukan hitam, memberi salam pada Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Permaisuri."

"Bangunlah."

Raja Pasupati memberi perintah. Candramawa bangun, namun tetap menundukkan kepala, melihat jemari kaki telanjangnya di atas lantai kuning mengkilap.

Kaki kanan Candramawa mundur ke belakang, sedikit menempel pada kaki kirinya. Dua lulutnya sedikit berlekuk. Bahunya maju ke depan. Dua tangannya tertangkup di atas kepala.

Postur yang asalnya mudah dan terbiasa dilakukan, namun agak menyakitkan setelah lama terbujur di atas ranjang.

Candramawa menggertakkan gigi dan mulai berbicara dengan suara normal, yang diusahakannya terdengar normal seperti biasa.

"Saya meminta ampun kepada Yang Mulia Permaisuri atas kegagalan tugas yang diberikan Yang Mulia Permaisuri pada hamba."

Permaisuri Pasupati menatap dengan tenang orang yang masih memberikan postur hormat, cenderung memohon.

Candramawa memahami dan tidak mengeluh dalam hati.

Hal kecil ini bukannya tidak bisa ditahan!

"Tujuh bulan yang lalu hamba menemani Tuan Adi ke wilayah Watek Batujaya di Nagara Buni. Setelah berdagang dua puluh hari, Wiyasa Batujaya mengundang kami untuk mengungkapkan terima kasih atas pasar baru yang terbuka atas barang dagangan kami."

Candramawa menjeda. Mencoba mendengar balasan dua Yang Mulia.

Tetapi tidak ada suara. Jadi dia melanjutkan.

"Sampai saat kami minum, hamba merasakan sesuatu yang tidak beres. Orang-orang di sekitar jatuh tidak sadarkan diri. Hamba teringat tumbuhan yang bisa menyembuhkan mereka di gunung belakang balai watek. Sebelum sampai... hamba mendengar dan melihat..."

Sayangnya Candramawa tidak sempat mengambil tanaman untuk menyembuhkan rekan-rekannya.

Dia sendiri selalu memiliki beberapa obat yang dibutuhkan dan selalu dibawa pada setiap misi.

Namun waktu telah berlalu dan tabib yang mampu dan memiliki tanaman yang baik, hampir semuanya ada di ibu kota.

Di watek tempat Desa Adi berada, Candramawa tidak dapat bertemu tabib atau tukang jamu yang dapat meramu obat-obatan yang biasa dibuatnya.

Hanya satu tempat tabib yang direkomendasikan oleh pemimpinnya. Jauh. Berada dalam perjalanan dua hari.

Candramawa hanya memiliki satu porsi bubuk kesadaran yang dapat menyadarkan dari segala mabuk dan bius.

Kamu Poligami Aku Poliandri, adil kan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang