"Yang Mulia Pangeran Karta, Yang Mulia Baginda Permaisuri meminta kehadiran Yang Mulia di Keputren."
Pangeran Karta mengernyit mendengar penuturan pelayan kediamannya.
Baru sampai kediaman dan bahkan belum selesai menelusuri separuh kediaman, Keraton sudah menerima berita kedatangan.
Padahal dia datang dengan cara rendah hati.
Pengawal gapura ibu kota tidak sesenggang itu untuk melaporkan kedatangan pejabat yang adil!
Belum lagi... kenapa harus masuk ke bagian dalam keraton?
Tempat tinggal para wanita..
Meski banyak pertanyaan, Pangeran Karta menyelesaikan urusan pengaturan rumah sebaik mungkin dalam waktu tercepat, lalu ia mengikuti abdi ndalem yang sabar menunggu.
"Nyonya, tolong kosongkan kamar."
"Kami sudah membayar penuh."
"Ini... pelanggan tetap kami menginginkan kamar terbaik."
"Kamar ini kamar khusus untuknya? Kalau begitu kenapa memberikannya pada kami?!"
"Ini..."
"Sangat lamban! Tuan Muda sudah lama menunggu!"
Giyantri sedang duduk dan bersiap tidur siang ketika suara debat di pintu kamar tidak lagi bisa diabaikan.
Benar saja, sedetik setelah Giyantri mengenakan luaran, pintu dibuka dengan paksa.
Dayang di luar langsung berlari masuk, menutupi tubuhnya dan melenggak dengan marah,"Berani sekali!"
Giyantri menepuk pundak dayang. Menyuruhnya bersabar.
Tiga tahun sudah berlalu. Giyantri tidak mengetahui situasi umum ibu kota.
Selain itu, Giyantri juga tidak mau repot membuat keributan.
Hanya perlu tinggal dan beristirahat sampai siang hari, dia akan menemui kedua orang tuanya.
Tidak perlu kehebohan.
Di belakang pengawal di antara kerumunan pengawal, berdiri seorang pemuda dengan sikap ceroboh.
Matanya yang memikat tampak tidak sabar. Alisnya melengkung dengan kerutan di ujungnya.
Kerutan di alisnya berangsur menghilang saat sosok lain di kamar perlahan muncul.
"Kami akan pindah. Bayarannya berikan saja pada yang membutuhkan."
Sudut mulut Giyantri terangkat melihat wajah yang masih memiliki banyak jejak kekanakan.
Pembuat onar ibu kota, Raden Bagus Agus Panji Dermawan.
Pria ini selalu berebut kamar dengan dirinya dan sekarang masih saja suka merebut kamar.
Sayangnya dia, Giyantri, sudah sadar dan tidak akan berbuat konyol!
Jadi rombongan Giyantri pergi begitu saja.
Kotak-kotak hadiah telah dibawa pergi ke gerbang keraton.
Giyantri hanya membawa satu tas kain dan dayangnya membawa sebuah kotak.
Melihat tubuh yang akhirnya hilang di pintu masuk, pupil hitam Raden Bagus Panji perlahan mengecil.
Sosok itu...
"Sangat gosong," gumam Raden Bagus Panji.
Walau mulutnya menghina, ujung telinga Raden Bagus Panji memerah.
Kulit kecokelatan wanita itu bukan hanya tidak merusak penampilannya, kulitnya memberikan kesan eksotis yang memabukkan.
Giyantri tidak tahu yang dipikirkan musuh bebuyutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Poligami Aku Poliandri, adil kan?
General FictionSatu tahun tidak bertemu, kehadirannya membawa sesak. Kebahagiaan Giyantri dalam menyambut kepulangan suaminya, berakhir ketika sesosok wanita berjalan sangat dekat dengan sang suami. Adi Barja tidak berdaya untuk memperkenalkan madu istrinya di saa...