15

402 21 2
                                    

"Raden, silakan."

"Anda terlalu sopan. Duduk saja. Temani Raden ini."

Adi Barja tersenyum sopan namun mengikuti keinginan Tuan Besar ini.

Duduk di seberangnya dan makan dengan tenang.

Gayanya agak buruk tapi untungnya tidak berantakan.

Orang ningrat di seberangnya cukup puas dengan semua pengaturan dan sikapnya.

"Kalau begitu, saya mengundurkan diri. Kalau Raden masih mencari delima, Anda bisa datang ke rumah kami."

Adi Barja melihat kepuasan di matanya. Dan menarik batas dengan jelas.

Tidak semua niat bisa dinyatakan dengan jelas.

Tidak di saat hubungan masih dangkal.

Raden Bimo Pangarsa.

Satu-satunya keponakan Raja Pasupati yang memiliki izin memasuki Ibu Kota dan tinggal di dalamnya.

Juga salah seorang yang selalu mengikuti setiap upacara dan kegiatan besar Keraton.

Kadang Raja memanggilnya secara pribadi.

Meski tidak punya gelar di dalam Keraton, Raden Bimo Pangarsa memiliki kekuatan di atas ratusan orang.

Ayahnya seorang pemimpin militer.

Ibunya adalah saudari kandung Raja Pasupati.

Kendatipun Raja Pasupati tidak mengatakan apa-apa seperti Dekrit Raja pada anak keturunan Pangeran dan Putri lainnya, sang ibu tetap sadar diri dan menarik batas yang jelas.

Bisa dibilang Raden Bimo Pangarsa adalah seorang pengangguran kelas atas.

Tidak perlu bekerja, sudah memiliki uang.

Hidupnya cenderung aman karena ayahnya telah lama berkecimpung dalam dunia militer dan memiliki pasukan kepercayaannya sendiri.

Dan karena ibunya, Raja Pasupati memiliki kesan dan perasaan terhadapnya.

Adi Barja mendapat informasi ini setelah satu bulan menanti.

Di Aula Rembulan, Giyantri dan Adipati Sukma sedang berdiri memerintah orang merapikan bagian kosong dengan meja kerja dan lemari kerja.

Keduanya memandang puas saat bagian sekat lipat telah dipasang.

"Bagaimana kalau meja kita disekat juga? Nanti kertas kita tercampur baur."

"Tidak mungkin."

Giyantri mendengus kesal ketika Adipati Sukma menampilkan senyum menawan.

Jika dia adalah seorang pekerja yang suka menghamburkan kertas; membaginya dalam berkelompok-kelompok.

Adipati Sukma memiliki kebiasaan menyortir berkas yang mendesak dan berkas yang bisa ditunggu.

Mejanya bersih. Tidak ada daluang yang berserak.

Daluang berdulang laporan tertumpuk di tengah meja.

Atau tergulung rapi di lemari sudut.

Sementara mejanya...

Giyantri melambaikan tangannya. Menyerah.

Sejak suaminya berangkat menuju kota perdagangan selanjutnya, dia tidak bisa berleha-leha.

Harus memutar otak dalam membaca kondisi kota selanjutnya, kondisi barang yang tinggi penjualannya, juga ketahanan barang-barang dalam perjalanan berpekan lamanya.

Pasar daerah sekitar sudah disasar.

Kebanyakan orang yang mencari kerajinan dan bumbu yang khas, baik bumbu dapur atau bumbu kecantikan, berdatangan sendiri ke desa mereka.

Kamu Poligami Aku Poliandri, adil kan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang