Penginapan kecil tidak memiliki layanan untuk masak pribadi.
Mereka mengandalkan rumah makan di sekitar, membuka sebuah aula di dekat pintu masuk dan menggelar tikar untuk dijadikan tempat makan bersama.
Dayang di bawah Giyantri membeli cukup makanan untuknya dan beberapa potong kue kecil untuk diri mereka sendiri.
Mungkin karena makan terlalu kenyang, mungkin karena begadang terlalu larut, Giyantri akhirnya membuka mata saat matahari sudah meninggi.
Tiga dayang langsung membantu Giyantri bersiap.
Giyantri mengulum senyum mengingat hari yang mendebarkan.
Saat itu terdengar suara gemerisik yang jelas di tengah ketenangan.
Salah satu dayang berwajah merah. Perutnya berbunyi terlalu keras.
Giyantri teringat kalau semalam gadis-gadis ini hanya makan sedikit dan mungkin saja pagi ini belum makan apa pun!
"Saya lapar. Pesankan lontong dan daging."
Wajah dayang yang berbunyi perutnya makin memerah. Dia mengajukan diri dan langsung berlari pergi.
Mengingat perjalanan yang mungkin lebih panjang dari biasanya, Giyantri menyuruh mereka makan kenyang lebih dahulu.
"Kalian harus makan. Hari ini ada laporan rutin para pejabat, tidak jelas kapan waktu bubarnya."
Selama kangmasnya ada di keraton, laporan rutin para pejabat bisa selesai lebih cepat atau lebih lembat.
Selain tidak tahu kangmasnya ada di keraton atau tidak. Saat kangmasnya, Pangeran Mahkota, ikut memeriksa laporan rutin, Pangeran Mahkota kadang memeriksa sangat rinci dan kadang hanya membaca sekilas dan langsung memutuskan.
Ayahandanya lebih suka membaca garis besar dan hal-hal besar yang harus diputuskan olehnya sebagai seorang Raja.
Ayahandanya memiliki kemampuan mengendalikan orang dan kepercayaan pada orang-orang pilihannya.
Sementara Pangeran Mahkota adalah individu yang berbeda dari ayahandanya.
Orang-orang ini adalah orang Raja, bukan orang Putra Mahkota.
Beberapa detail yang tidak jelas akan diminta untuk dijelaskan.
Sedangkan Raja mengabaikannya dan langsung menilai garis besarnya.
Maka jika hanya ada ayahandanya, laporan rutin para pejabat akan selalu berakhir pada tengah hari.
Menunggu beberapa saat, giliran makanan Giyantri dan rombongan disajikan.
Kulit Giyantri kecokelatan karena panas. Kain abu-abu yang menutupi tubuhnya tampak seperti kain kasar yang umum digunakan.
Ketika keempatnya datang dan duduk, tidak ada yang memperhatikan. Orang-orang yang hadir hanya melirik sekilas dan mengabaikannya bagai angin lewat.
Memang jarang bagi sekelompok wanita menginap tanpa pendamping pria, tapi tidak cukup aneh.
"Pangeran Karta yang membuka jalur perdagangan di wilayah baru?"
Saat duduk meleseh di atas tikar, telinga Giyantri langsung menegak saat nama suaminya disebut-sebut.
"Ya! Adik perempuanku bekerja di rumah calon pengantin Pangeran Karta. Semalam mereka menurunkan banyak hadiah. Hadiahnya sangat berharga! Begitu berkilau di bawah cahaya lentera."
"Berkilau?"
"Emas? Perak? Mutiara?"
"Hari-hari selanjutnya akan banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Calon istri Pangeran Karta bukan dari ibu kota. Mereka membutuhkan banyak tenaga kerja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Poligami Aku Poliandri, adil kan?
Ficción GeneralSatu tahun tidak bertemu, kehadirannya membawa sesak. Kebahagiaan Giyantri dalam menyambut kepulangan suaminya, berakhir ketika sesosok wanita berjalan sangat dekat dengan sang suami. Adi Barja tidak berdaya untuk memperkenalkan madu istrinya di saa...