24

333 21 2
                                    

Kinanti meletakkan asal surat-surat yang dibukanya, kembali ke dalam kotak.

Kinanti tergesa menjauh dari meja.

Bersikap normal di hadapan beberapa pria yang memasuki ruangan.

Pria-pria itu memberi hormat pada Kinanti yang berjalan pergi tanpa melihat mereka.

Apalagi membalas sapaan.

"Sangat sombong."

"Hanya putri pejabat. Bukan dia yang pejabat."

"Nah. Apa kontribusi buat Tuan?"

"Kudengar tempat asalnya tidak terlalu menghargai keindahan dan hanya tahu tentang barang-barang sederhana."

"Ya. Tempat asalnya tidak memberi jalan untuk membuka jalan Tuan. Kenapa bisa merasa besar?"

"Ayahnya pejabat besar di satu daerah. Bukan daerah ini. Wiyasa, penguasa Watek, bahkan memberi muka pada keluarga tuan, seberapa besar ayah nyai ini? Begitu arogan."

Kinanti mendengar bisikan-bisikan itu. Tak menghiraukan karena jantungnya berdebar kencang.

Setelah sadar, barulah Kinanti merenggut.

Dia sama sekali tidak berbuat salah!

Matanya muram.

Kemerahan karena amarah ketika memikirkan bisikan-bisikan busuk.

Orang-orang ini pasti akan makin meremehkannya!

Cewok terkekeh. Ia memberikan sepotong kain untuk mengusap kening dan mau tidak mau menggodanya.

"Nona tidak sedang mencuri perak Tuan."

"Diam!"

Cewok tersenyum tak berdaya dan mengikuti jejak kepergian nonanya.

Kinanti berdiri di depan ruang dengan penataan yang mirip dengan Balai Layang yang dikepalai Kencono.

Bedanya, ruangan ini lebih kecil dan berada di kedalaman rumah besar Adi Barja.

Putra, seorang abdi yang selalu membersamai Adi Barja dalam perjalanannya.

Kinanti mengingatnya.

Meski tak selalu tampil di sisi Adi Barja, Putra selalu dipanggil di awal dan akhir penjualan.

Adi Barja mempercayakan akta dan segala surat penting pribadi kepadanya.

Sebelum kemudian menyerahkannya pada Kencono.

Kinanti selalu berada di dalam kamar yang sama dengan Adi Barja.

Dia mengingat banyak akta tanah dan toko baru, satu persatu diberikan pada Putra.

Itulah mengapa. Ia seorang putri yang dimanjakan, mau berletih-letih mengembara selama beberapa bulan, sebelum akhirnya ikut pulang ke kampung halaman suaminya.

Rumah dan tempat tinggal selama masa kerja tidak sebaik rumah Keluarga Adi.

Entah untuk menyembunyikan kekayaan atau alasan lainnya, Adi Barja sering tinggal di sebuah rumah dalam gang sempit yang tidak terkenal.

Kinanti hampir tidak mampu menahan diri untuk tetap berada di tempat kumuh, ketika ia melihat satu persatu akta penting yang sangat berharga dikeluarkan suaminya dari balik tumpukan tas yang tampak tidak berharga.

Saat tuan dan pelayan berbicara, mereka berbincang dan memperlakukan akta dengan entengnya.

Seperti bisikan yang diucapkan salah seorang pria dalam ruang kerja suaminya.

Dia adalah putri pejabat, bukan pejabat itu sendiri.

Ketika menikah, pernikahannya akan begitu megah dengan berbagai hasil bumi yang menggunung serta bergulung-gulung kain tenun terbaik di tempat ayahnya.

Kamu Poligami Aku Poliandri, adil kan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang