"Badan lo tambah panas."
Kelaya hanya pasrah ketika Bintang kembali meletakkan telapak tangan di dahinya. Sahabatnya itu bahkan lebih panik ketimbang Kelaya yang demam.
"Kita mampir di apart Abang gue ya, Ay. Dia bilang dia ada di apart, tapi setengah jam lagi harus pergi ke rumah sakit." Bintang mengutak atik ponselnya sejenak. "Kita ke apart Abang gue ya. Dia bilang mau kok ngobatin elo."
Meta Kelaya terbuka, menggeleng pelan sebagai jawaban ajakan Bintang. "Nggak mau, gue mau pulang ke rumah saja."
"Di rumah lo nggak ada siapa-siapa anjir. Mending ke apart Abang gue dari pada mampir ke apotik." Bintang menyimpan ponselnya ke dalam saku. "Pak Maman, kita mampir di apartemen Bang Bara ya, Pak."
Permintaan Bintang tentu saja langsung di sanggupi oleh Pak Maman. "Siap, Non."
"Ngebut ya, Pak," pinta Bintang.
Sadar protesannya tak akan mempan, Kelaya akhirnya pasrah saja ketika lima belas menit kemudian mobil yang mereka tumpangi akhirnya berhenti dan sampai di tempat tujuan.
Pak Maman membukakan pintu belakang, membantu Bintang keluar dengan Kelaya. Lelaki paruh baya itu memegangi Kelaya untuk sejenak sebelum kemudian melepaskannya ketika Kelaya telah bisa berdiri dengan baik.
"Nggak usah dipegangin, Bin. Gue bisa jalan sendiri kok."
"Gue takut lo pinsan, Ay."
"Gue nggak sakit parah, gue cuman demam." Kelaya menjauhkan tangannya dari rangkulan Bintang.
Namun, bukan Bintang namanya kalau tidak keras kepala. Dia tetap bersikeras merangkul Kelaya hingga sahabatnya itu menyerah untuk melepaskan diri. "Di sekolah tadi, lo bilang lo pusing."
"Sudah nggak lagi."
"Sudahlah Non, kalau kata saya, Non Kelaya nurut aja sama Non Bintang. Muka Non Kelaya nggak bisa bohong kalau Non masih pusing." Pak Maman mencoba menengahi.
"Nah itu, bener apa yang Pak Maman bilang. Lo nggak usah bandel Ay, nurut saja sama gue. Gue sebagai bestie lo akan menjaga lo dengan sebaik-baiknya." Kali ini, Kelaya tak lagi mencoba menarik tangannya.Gadis itu akhirnya menurut saja di ketika Bintang membantunya berjalan masuki area apartemen.
"Kalau ada apa-apa, telpon Pak Maman ya, Non." Teriak Pak Maman di kejauhan.
"Siap, Pak!" jawab Bintang tanpa menoleh ke belakang.
Kelaya menghela napas, dia merasa seperti orang sakit parah, padahal dia tak sesakit itu. Nasib punya bestie yang suka berlebihan ya begini. Tapi ada untungnya juga sih, Bintang sangat peduli denganya. "Abang lo beneran nggak keberatan 'kan ngobatin gue?"
Bintang berdecak. "Lo tenang aja, meski kadang nyebelin, Abang gue orangnya baik kok."
Yah, Kelaya harap apa yang dikatakan Bintang benar. Karena menurut Kelaya yang jarang bertemu Bara—Meski kelewat tampan, Abang Bintang itu sedikit menyeramkan.
***
Kelaya gugup bukan main ketika Bara membukakan pintu apartemen untuk mereka. Lelaki matang berusia nyaris tiga puluh tahun itu telah terlihat rapi dengan kemeja berwarna biru langit, lelaki itu sudah pasti siap berangkat ke rumah sakit.
Tanpa berkata apa pun, setelah membukakan mereka pintu, Bara masuk lebih dulu, membiarkan Bintang menutup kembali pintu apartemen. Lalu, lelaki itu menuntun mereka memasuki salah satu ruangan—yang ternyata merupakan sebuah kamar. Kelaya awalnya ingin mundur, tapi Bintang mendorongnya masuk. Menyeret Kelaya untuk duduk di sisi kasur.
"Bin, sebenarnya gue nggak harus diobati di sini. Di sofa depan pun gue juga nggak masalah." Kelaya berbisik pelan, takut Bara yang tengah mengambil stetoskop itu mendengar perkataannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Doctor (21+) [END]
Romance"Bantuin ngebuktiin kalau Abang gue masih normal, Ay. Mau ya ... ya mau ya? Please, nggak bakal yang macam-macam kok caranya, lo tenang saja." *** Bagi Kelaya yang jarang terlibat hubungan romantis, menyetujui misi dari Bintang untuk menggoda Bara a...