Bab 20. Terciduk

347K 9.5K 508
                                    

Jam berapa kalian baca Bab ini?

Mataku udah sepet banget 😌

Selamat membaca

.

"Bernapas, Ay, senyum. Orang tua kamu nggak akan marah, saya jamin."

Meski Bara mencoba menenangkannya, Kelaya tak sepenuhnya dapat tenang. Raut wajahnya tak bisa berbohong kalau ia takut akibat tertangkap basah tengah berpelukan dengan Bara. Bagaimana kalau orang tuanya marah?

Gadis itu menarik ujung baju Bara dengan gugup. Mendapati senyum menangkan Bara saat menatapnya, kegugupan Kelaya tak berkurang sama sekali. Sial.

Akan tetapi, tanpa sepengetahuan Kelaya, Bara menyimpan kekhawatirannya dengan rapi dibalik wajahnya yang tenang. Lelaki itu siap menghadapi apa pun konsekuensi—jika seandainya orang tua Kelaya marah karena mereka berpelukan seperti tadi.

"Pelukan termasuk macam-macam nggak sih, Bang?" Kelaya berbisik pelan. Bibirnya mencoba tersenyum semanis mungkin saat mendapati kedua orang tuanya turun dari mobil.

Bara hanya berkata, "Semua akan baik-baik saja, Ay." Sebagai respons dari pertanyaan Kelaya.

Sepertinya apa yang Bara katakan benar adanya. Dibanding marah, orang tua Kelaya lebih terlihat senang? Hana bahkan berjalan semangat ke arah mereka dan memeluk singkat Bara.

Kelaya menatap Hana dengan padangan tak percaya, yang anak di sini, Kelaya atau Bara sih?!

"Ya ampun, calon mantu Tante." Manis sekali raut muka Hana saat menepuk lengan calon menantu kebanggaannya itu. "Kenapa Bara nggak dibawa masuk ke rumah, Ay? Kenapa malah makan di luar? Kalau masuk angin gimana?"

Kelaya meringis dalam hati, masuk ke rumah lebih bahaya dari masuk angin, Ma.

"Ma udah, anaknya cemburu tuh." Entah kapan Kaivan bergabung dengan mereka, lelaki itu menyalami Bara dan menepuk kecil pundak pacar sang anak. "Kalian beli jagung yang di dekat pertigaan itu, Bar?"

"Iya, Om, tadi kami minjam sepeda ke sana."

"Oh, ya?" Lelaki itu terlihat antusias. "Siapa yang bonceng? Kelaya?" kemudian ia mengerling kepada putrinya. Lalu gelak tawa terdengar nyaring setelahnya, suami istri itu memang kompak sekali kalau soal menggoda Kelaya.

"Itu sepeda kesayangan Kelaya loh, Bar. Dia pakai sepeda itu dari kelas enam SD sampai SMP." Dimulailah cerita singkat Hana. "Terus waktu masuk SMA, karena jauh, dia mau ke sekolah pakai motor. Tapi ujung-ujungnya nggak jadi kar—"

"Mamah ..."

Protesan Kelaya membuat Hana menghentikan ceritanya. Wanita itu tersenyum tanpa rasa bersalah pada Kelaya. "Iya, Sayang?"

Bara tersenyum sambil menatapi interaksi keluarga kecil itu. Inilah yang ia suka dari keluarga Kelaya. Hangat dan nyaman. Poin plusnya—orang tuanya sudah lumayan akrab dengan orang tua Kelaya. Jadi tak terlalu sulit untuk menyatukan keluarga mereka nantinya.

"Kelaya nggak suka setiap kali mamanya cerita dia pernah jatuh dari motor." Perkataan Kaivan membuat Kelaya mendelik. Percuma dia menghentikan mamanya, kalau papanya satu kubu dalam menceritakan masa lalu Kelaya. "Padahal jatuh dari motor hal yang wajar. Iya, kan, Bar?"

"Iya, Om."

Kelaya diam-diam menghela napas, masalahnya adalah dia tidak hanya jatuh dari motor tapi—ah lupakan. Kelaya tak ingin lagi mengingat kenangan memalukan itu. Lebih baik bersyukur karena orang tuanya hanya mengatakan: Kelaya pernah jatuh dari motor. Tak lebih dari itu. Mungkin nanti ia akan menceritakan sendiri kisah itu pada Bara—setelah Kelaya siap.

Oh My Doctor (21+) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang