.
.
"Bin, sumpah. Gue nggak punya muka buat ketemu Abang lo. Nggak usah hari ini ya? Kapan-kapan aja, sampai rasa malu gue ilang."
Pagi ini, saat Kelaya menceritakan apa yang terjadi padanya tadi malam—berharap Bintang akan mengerti dan mengurungkan niatnya—Bintang malah semakin bersemangat melancarkan misi : membuktikan kalau seorang Bara Ady Pratama masihlah punya ketertarikan pada perempuan dan normal.
"Gue penasaran Ay. Abang gue ngomong begitu ke elo, karna emang niatnya mau lindungin elo, atau dia terganggu—dalam artian, penampilan lo mengguncang jiwa laki-lakinya. Lo paham 'kan maksud gue 'kan, Ay?" Menggebu-gebu, Bintang bertutur demikian. "Fiks, niat baik kita nggak boleh ditunda-tunda."
Kelaya merosot duduk di atas lantai. "Nggak mau gue, maluuu."
Bitang berjongkok, lantas kedua tangannya memegang bahu Kelaya dengan mantap. "Ay, demi kebaikan bersama, lo harus membuang jauh-jauh rasa malu lo. Toh ini cuman Abang gue dan dia maklum dengan penampilan lo tadi malam."
"Demi kebaikan bersama bagaimana?"
"Kebaikan bersama, lah. Satu, gue dan mak bapak gue nggak perlu khawatir lagi kalau-kalau Bang Bara tiba-tiba membuat pengakuan kalau dia nggak normal. Dua, gue senang punya ipar bestie sendiri. Tiga, orang tua gue bahagia dapat menantu. Empat, lo nggak bakal rugi punya suami abang gue. Lima, Bang Bara nggak perlu repot-repot cari calon istri. Kan ada elo yang bersedia menjadi calon istrinya."
"Semprul!" Kelaya menoyor kepala Bintang. Ringan sekali sahabatnya itu berucap demikian, padahal kalau Bintang ada di posisi Kelaya, belum tentu dia bisa berucap demikian. "Pokoknya gue nggak mau. Titik."
"Ih kok begitu. Pleasee lah Ay, jangan titik. Koma aja, supaya gue bisa nawar. Ya, ya, ya, please ... nggak bakal aneh-aneh kok. Dikiiit aja, dikit." Kedua telapak tangan Bintang menyatu di depan wajahnya, memohon dengan wajah paling menyedihkan yang bisa dia buat. "Gue janji Abang gue nggak bakal curiga kalau lo coba ngegoda dia. Kita pakai cara paling halus dan mulus."
Kelaya tak bereaksi apa pun.
"Please ya ... gue janji deh, ini yang pertama dan terakhir."
Kelaya menghela napas. "Oke, jangan yang macam-macam."
"Yes!" Langsung saja Bintang menghambur memeluk Kelaya. "Terima kasih, Beb. Sayang banget deh gue sama lo."
Kelaya pasrah saja dipeluk Bintang erat-erat. Sebelah tangannya bahkan menepuk-nepuk punggung Bintang dengan ringan. "Iya sama-sama, tapi caranya gimana? Gimana cara yang nggak aneh-aneh?"
Pertanyaan Kelaya kontan membuat Bintang memberi jarak pelukan mereka. Senyumnya terkembang lebar. "Begini Ay ..."
***
"Mak Bapak lo beneran lagi di halaman 'kan Bin? Nggak akan tiba-tiba masuk ke dapur?"
Dua sahabat itu berdempetan berdiri di balik dinding yang berjarak cukup jauh dari dapur. Mengintip Bara yang tengah duduk tenang menikmati kopi sambil bermain ponsel. Mereka telah siap mengeksekusi ide Bintang—lebih tepatnya, Kelaya siap mengeksekusi ide yang Bintang berikan.
"Nggak akan, Ay. Nggak bakal kemari kok, mereka kalau udah asyik ngobrol, dunia seakan milik berdua. Gue sama Bang Bara saja mereka lupain. Pokoknya lo tenang aja." Bintang menepuk pundak Kelaya meyakinkan.
Meski telah berulang kali diyakinkan oleh Bintang, Kelaya tetap saja gugup. Ia tak pernah berpengalaman menggoda seseorang, kini disuruh menggoda Bara. Ya walaupun nggak terlalu yang aneh-aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Doctor (21+) [END]
Roman d'amour"Bantuin ngebuktiin kalau Abang gue masih normal, Ay. Mau ya ... ya mau ya? Please, nggak bakal yang macam-macam kok caranya, lo tenang saja." *** Bagi Kelaya yang jarang terlibat hubungan romantis, menyetujui misi dari Bintang untuk menggoda Bara a...